“Kita harus benar-benar bisa menjauhkan diri dari nilai ganda (double standar), nilai ganda yang memihak umat Islam maupun nilai ganda yang memihak bukan Islam.” Begitulah kira-kira yang ditulis oleh Ahmad Wahib dalam catatan hariannya. Sang Cendekiawan Muslim yang mati muda itu, menulisnya pada 3 Agustus 1969. 48 tahun setelahnya, kita tetap mengamininya.
Ujaran itu, membuktikan bahwa Ahmad Wahib sebal sekali pada mereka yang senantiasa memakai standard ganda, demi tujuan apapun. Karena secara tak langsung, Ahmad Wahib juga tentu sadar dan paham bahwa standar ganda adalah senjata bagi mereka yang berkepentingan. Senjata ini, seringkali digunakan oleh siapapun, mereka dari golongan intelektual maupun dari golongan politikus. Bahkan ulama.
Akhir-akhir ini tentu saja kita bisa melihat senjata standar ganda itu di waktu-waktu jelang Pilkada Jakarta. Sebuah ajang pemilihan pemimpin yang menurut saya tak kalah riuh dengan Pilpres 2014. Sama-sama riuh. Riuh memperebutkan kepentingan masing-masing. Sejatinya Pilkada Jakarta ini masih memiliki benang merah yang kuat dengan Pilpres 2014. Dan senjata yang digunakan tetaplah sama: fitnah dan standar ganda.
Standar ganda itu sudah digunakan sejak Ahok di demo habis-habisan pada Demo 411 dan dem0 212, karena di duga menista Agama. Ahok melontarkan pendapatnya bahwa ayat 51 Al-Maidah sering digunakan alat untuk melakukan kampanye hitam. Saya tak habis pikir. Jika memang Ahok menista Al-Quran dan layak untuk dijatuhi hukuman, rasanya Demo bergelombang-gelombang itu tak perlu.
Energi umat Islam terlalu sayang untuk diboroskan dalam issue kabur semacam itu. Pada akhirnya yang tertangkap justru kesan politis yang begitu kental. Lantas, kita tentu ingat pada tahun 2005 Ahmad Dhani juga pernah diduga menghina Islam. Karena sampul album dewa 19 memakai lafadz kaligrafi Allah SWT. Bahkan Dhani memakainya sebagai latar panggung konser. Tapi, masalah itu pun bisa.
Lalu, mengapa Ahmad Dhani juga tak didemo dengan massa sebesar itu pula? Justru yang ada kini Ahmad Dhani malah bergabung dalam laskar islam untuk menuntut Ahok.
Saya bukan pendukung Ahok. Saya bahkan memusuhinya karena kebijakan penggusurannya yang serampangan itu. Namun, rasanya tak adil jika Ahok harus diadili dengan isu-isu agama. Agama terlalu kudus untuk hal-hal politis semacam itu.
Pemanfaatan standar ganda kedua adalah ketika kasus Sidang Ahok bergulir. Pada saat itu KH Ma’ruf Amin selaku ketua MUI dimintai keterangannya sebagai saksi. Ketika KH Ma’ruf Amin memberikan keterangannya, beliau terkesan memberikan keterangan yang kabur. Sehingga Ahok dan Kuasa Hukumnya berusaha membela diri. Dan inilah yang jadi pangkal masalah: pembelaan diri itu memberi kesan melecehkan marwah KH Ma’ruf Amin sebagai ulama dan kiai sepuh.
Mereka pun muncul dengan senjata standar gandanya. Aa’ Gym misalnya, berkicau dengan tweet-nya bahwa peristiwa sidang Ahok itu benar-benar membuat hatinya sakit. Belum lagi dari laskar-laskar Islam lainnya yang sudah bersiap-siap ingin membela Islam lagi.
Kemudian, yang paling lucu menurut saya adalah bergabungnya Ulil Abshar Abdalla dalm barisan kubu penyerang Ahok sembari dengan rajin mengampanyekan paslon lainnya. Semua itu terjadi setelah kejadian sidang Ahok. Soal menikungnya Ulil ini sudah dipaparkan secara apik oleh Muhidin D Dahlan dan Citta Irlanie.
Saya juga baru-baru dibuat ngilu oleh sebuah foto Agus Yudhoyono yang didoakan oleh para pendeta. Lalu, ke mana para laskar yang gemar melontarkan seruan “kafir” itu? Mengapa mereka tak melakukan hujatan seperti ketika melihat Gus Dur didoakan oleh para Pendeta? Apakah lagi-lagi mereka menggunakan standar ganda? Rasanya, kebungkaman mereka adalah senjata itu sendiri: standar ganda.
Dan yang paling terkini adalah kasus pembakaran tenda-tenda para aktivis kendeng, Rembang yang mati-matian kerakusan Pabrik Semen Indonesia. Tenda dan musala kecil mereka dibakar. Di musala kecil itu juga tersimpan Alquran dan perangkat salat. Sang pembakar diduga adalah para pihak dari PT Semen Indonesia. Apakah mereka menista agama Islam? Lalu, ke manakah para bijak bestari itu pergi?
Oh ya, saya lupa bahwa mereka sibuk dengan Jakarta. Mereka sibuk membela berhala mereka masing-masing.
Akhirnya, biarkanlah saya menyitir kalimat dari Voltaire, filsuf terkemuka Perancis, dengan sedikit modifikasi: “Di hadapan politik, semua agama orang sama.”