Pelaku Politik Buruk

            Politik satu kata ajaib yang telah banyak mengubah dunia, telah melahirkan dan menumbangkan banyak penguasa, dan tidak luput dari bermacam tragedi berdarah yang mengorbankan banyak nyawa. Sehingga politik itu bisa dikatakan buruk, juga bisa dikatakan baik. Tergantung bagaimana pelaku politiknya.

           Buruk dan Baik merupakan dua jenis sifat yang selalu hadir di tengah-tengah kehidupan manusia. Buruk memiliki ciri-ciri tersendiri begitu juga dengan baik, memiliki ciri-ciri tersendiri. Orang baik menganggap dirinya belum baik dan masih harus banyak belajar. Orang buruk menganggap dirinya paling baik dan paling bisa. Orang baik sering melupakan perbuatan baiknya. Orang buruk sering melupakan perbuatan buruknya.

            Manusia, sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan dengan mahluk yang lain. Sesungguhnya manusia memiliki akal, budi pekerti, pengetahuan, pikiran, terlebih juga moral. Mahluk ciptaan lain, sebut saja contohnya binatang tidak memiliki sifat seperti apa yang dimilki oleh manusia. Sekarang, sebahagian besar ada juga manusia yang bersifat dan berperilaku seperti tidak manusia . Melainkan berperilaku seperti binatang. Iya, binatang. Maaf jika terlalu kasar!

            Pelaku dalam politik itu adalah manusia. Sekarang banyak statement masyarakat bahwa politik itu buruk, politik itu penuh misteri, politik itu tipu muslihat, politik itu kotor,politik itu corruption (ladang korupsi), politik itu menghalalkan bermacam cara, politik itu membuat kawan menjadi lawan, politik itu menyulap budak menjadi tuan, politik itu merubah kemuliaan menjadi kehinaan, politik itu menjadikan yang dekat menjadi sekarat.

            Semua statement masyarakat tersebut benar adannya, karena mereka melihat dari kenyataan yang terjadi dari perilaku-perilaku pelaku politik sekarang. Sudah banyak pejabat Negara yang terkurung dalam jeruji besi. Baik itu dari Lembaga Pemerintah maupun Lembaga Non Pemerintah. Mereka tanpa berpikir dengan berlomba-lomba memperkaya diri sendiri, meng-aku-kan yang bukan menjadi bagian nya.

            Para tikus-tikus anggun, cerdik, tapi picik yang sudah tertangkap oleh KPK tidak lain adalah tikus-tikus besar yang menduduki jabatan terpenting dalam Lembaga Pemerintah. Tentu kita masih ingat dengan Irjen Djoko Susilo, bekas kepala korps lalu lintas Polri terjerembab lantaran kasus korupsi dalam proyek simulator ujian surat izin mengemudi. Dia dijebloskan ke penjara selama 18 tahun oleh Tipikor.

            Tikus selanjutnya yang  berhasil tertangkap KPK yaitu Luthfi Hasan Ishaaq. Dijemput dan ditahan KPK pada bulan Januari 2013 dengan dugaan menerima hadiah atau janji terkait dengan pengurusan kuota impor daging pada Kementrian Pertanian. Tikus ini di tangkap saat masih menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) divonis 16 tahun penjara. Tikus selanjutnya yaitu Miranda S Goeltom.

            Tikus yang satu ini, perempuan yang sudah malang melintang di Bank Indonesia resmi menjadi tersangka pada Januari 2012 dalam kasus suapcek pelawat buat anggota DPR. Duit tersebut dikucurkan selama berlangsungnya pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Periode 2004. Miranda kemudian divonis menginap tiga tahun di balik jeruji besi.

            Tikus selanjutnya Muhammad Nazaruddin. Tikus Ini ditangkap saat menjabat Bendahara Umum Partai Demokrat. Ia terjerat kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games. Setelah sempat melarikan diri, Nazaruddin akhirnya dibekuk di Cartagena, Kolombia. Dalam perkembangan kasusnya, pria ini divonis empat tahun sepuluh bulan penjara ini ikut menyeret nama-nama yang terlibat, Andi Malarangeng dan Anas Urbaningram.

            Akibat dari perilaku para politikus diatas dan yang lainnya, menjadikan masyarakat bersikap apatis terhadap politik. Mengucapakan statment yang buruk terhadap politik. Mengutuk politik. Padahal sesungguhnya bukan politik itu yang salah, tapi pelaku politiknya. Karena sesungguhnya politik itu sendiri baik, bahkan sangat baik. Sesungguhnya politik itu mengandung kebaikan.Tapi yang lahir kebanyakan memperburuk kesucian politik.

            Cerminan pelaku politik baik

            Seandainya, mari kita berandai-andai sejenak! Andailah pelaku politik bekerja sesuai dengan apa yang terkandung dalam politik, yaitu kebaikan. Bisa kita bayangkan Indonesia yang kaya ini pasti akan menjadi Negara yang paling kaya, paling makmur, paling sejahtera, paling maju bahkan paling teridaman oleh rakyatnya, bahkan juga oleh bangsa lain. Itu seandainya pelaku politik baik. Seandainya. Nah, kenyataan nya sekarang sangat begitu buruk. Sekali lagi buruk.

            Tentunya kebaikan politik bisa tercermin dari pelaku politik. Sekarang masih bisa di hitung pelaku politik yang baik, bahkan bisa di katakan dia tidak berpolitik, sebut saja Ahok. Seandainya Ahok mau “ berpolitik” , posisinya tidak akan serumit saat ini. Andai saja dia jinak dengan Gerindra, Fadly Zon akan menjadi malaikat pemujanya. Seandainya saja Ahok bersopan santun dengan Haji Lulung, Haji Lulung akan lugu-lugu saja.

            Ahok, dia adalah pejabat yang ogah berkompromi. Ahok tak mau partai menjadi tempat berhala. Lawan-lawan Ahok tak melihat kepribadian Ahok dari tindakannya. Mereka menilai kepribadiaan Ahok dari kata-katanya. Ahok jelas sekali kalah karena dia bukan orang yang suka mengukir kata-kata romantis,  penuh janji dan magis.

            Ahok sebagai pemimpin sangat dibutuhkan saat ini. Bila diperumpamakan sebagai perhiasan, Ahok ibarat berlian yang sedang diburu banyak orang. Meski sebagian orang tidak suka atau bahkan membenci keberadaan Ahok sebagai Gubernur DKI, itu adalah hal yang wajar saja, sebab tak ada seorang pejabat yang dicintai oleh seluruh warganya.

            Percayalah, Ahok adalah seorang yang sangat konsisten dan dapat dipercaya (amanah). Dimanapun dia berada dan diusung oleh pihak manapun,Ahok tetaplah Ahok. Tak ada satupun yang bisa mempengaruhi kerasnya semangat dalam memberantas korupsi dan tak akan mundur selangkah pun dalam membela kepentingan warga Jakarta dan mungkin juga seluruh Indonesia nantinya.

            Itu adalah sebagian cerminan pribadi Ahok, bahwa Ahok suka yang apa adanya. Dalam hal apapun juga, Ahok suka yang apa adanya. Juga ketika menjalankan tugasnya menjadi Gubernur DKI, Ahok selalu tampil dengan apa adanya. Tak ada yang ditutup-tutupi. Yang salah dibilang salah, yang benar ya benar. Sebab, memang Ahok ini figur pejabat yang transparan, jujur dan selalu tampil apa adanya, tak ada yang disembunyikan.

            Di tangan Ahok semua tradisi dirobek-robek. Jika selama ini seorang gubernur menyembah para DPRD, gubernur Ahok membanting DPRD ke dasar jurang. DPRD yang memang sudah menjadi sarang maling, berteriak lantang menyemprit Ahok. Tetapi Ahok lebih galak, ia meneriaki mereka lebih lantang, hingga semuanya menekuk ekor tak berkutik, bagai kucing ketakutan di pojok ruangan.

          Jika seorang pejabat selama ini harus menjadi contoh bagi publik bagaimana berperilaku santun, berkata lembut, sopan, bertutur kata ajaib, bermanis-manis dengan para koruptor dan penjarah tanah negara, uang negara dan hak orang lain, Ahok malah sebaliknya. Ia berkata kasar, menghantam, memaki para koruptor dan menghina mereka bagai manusia tak beradab. Seolah Ahok tidak peduli dijuluki manusia kasar, sombong dan pongah. Ia tetap menunjukkan karakternya sebagai seorang perobek tradisi.

        Ketika Gubernur sebelumnya berdamai dengan preman, mafia, ormas sangar dan para pejabat rakus terkait dengan lahan negara, Ahok sebaliknya. Ia merobek tradisi itu. Ia melawan para para ‘tikus-tikus’ itu dengan semangat heroik luar biasa. Jika para preman ingin membunuhnya dengan anak panah di Kalijodo, Ahok malah lebih galak mengancam. Ia menyerang preman dengan tank berteknologi laser.Ketika Ahok merobek-robek semua tradisi yang sudah ada, semua menjadi ribut, semua kebakaran jenggot. Benar, robekan tradisi yang dilakukan Ahok, tiba-tiba menimbulkan efek dahsyat luar biasa.

        Para politisi ribut tersinggung, para pemilik partai merasa dicampakkan, para pejabat seolah-olah disemprot dengan air panas, para pengamat merasa disepelekan. Lalu mereka satu suara, bagaikan koor bersuara bass, tenor, alto, baritone, sopran, lengserkan Ahok, lawan Ahok dengan cara apapun.

         Akan tetapi Ahok adalah pejuang anak bangsa yang hanya sedikit di republik ini. Ia adalah termasuk manusia langka yang hidup di zamannya. Ia tidak takut resiko, ia maju terus sampai akhir hayatnya. Ia siap menang, siap kalah. Ia siap dicampakkan oleh bangsanya sendiri. Namun tidak menyerah. Ia terus mati-matian berada pada rel kebenaran, kejujuran dan intgritas tinggi. Ia maju ke depan menentang bangsanya yang bermental korup.

       Menurut penulis, perilaku seperti yang dilakukan Ahok lah yang di sebut dengan politik baik. Berjuang untuk kepentingan rakyatnya, bukan berjuang untuk memperkaya diri sendiri. Seperti yang sudah disebutkan pada tulisan ini, banyak pejabat yang menjadi pejabat hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Menjadi koroptur. Seperti lirik lagu pada Iwan Fals” tikus-tikus kantor”. Ahok bukan koruptor melainkan penerkam koruptor.

            Mari para pelaku politik, sadar lah bahwa tugas yang dipercayakan rakyat untuk mu adalah tugas mulia. Jadi kerjakan lah penuh dengan kemuliaan. Untuk generasi penerus kedepan nya, yang pasti anak muda. Jika diberi kepercayaan menjadi pemimpin nantinya. Kerjakan lah seperti apa yang dikerjakan Ahok saat ini. Semoga pemimpin sekaliber Ahok lahir, lahir dan lahir lagi di berbagai tempat di Indonesia. #LombaEsaiPolitik