Matryoska adalah boneka khas dari Rusia. Boneka ini memiliki keunikan yang tersendiri. Dalam tubuh satu boneka, terdapat tubuh yang lain di dalamnya. Semakin kecil dan kecil. Dan karakternya yang terdapat di dalamnya juga berbeda. 

Boneka ini bisa dibilang populer pada akhir abad ke-19 yang dibuat pertama kali oleh pelukis Sergey Malyutin dan juga pemahat kayu Vasily Zvyozdockhin. Gaya seniman itu dipengaruhi oleh epos Art Nouvaeu sebagai seni tradisi timur waktu itu. Boneka ini identik dengan sesosok ibu-ibu yang memakai baju khas Rusia, yaitu Sarafan, dan kepalanya memakai pelindung seperti kerudung. Banyak orang Rusia menggambarkan orang ini sebagai lambang kesuburan dan juga kekeluargaan.

Nah, sekarang kita akan mencoba merepresentasikan boneka ini dengan iklim pemilu di negeri ini. Mari kita lihat lagi bagaimana fenomena tahunan pesta demokrasi kita, dari tingkat paling bawah sampai ke tingkat paling atas. 

Sering kita melihat baliho, banner, dan juga alat-alat media lainnya untuk mempromosikan calon perwakilan rakyat atau pemimpin rakyat. Kita bisa melihat tidak hanya figur calon saja yang dilampirkan, tapi ada juga beberapa tokoh yang dilampirkan di situ, mulai dari presiden sebelumnya, gubernur sebelumnya, walikota sebelumnya, hingga bupati sebelumnya. 

Orang-orang yang mencalonkan dirinya seolah-olah menjadi representasi dari tokoh-tokoh yang dia lampirkan di banner atau baliho tersebut. Bukan melampirkan kondisi rakyat yang akan dia wakilkan atau yang akan dia pimpin. Dari situlah terlihat paradoks politikus kita. Mereka ingin mewakilkan rakyat atau memimpinnya, tapi di belakangnya terdapat sosok yang seakan-akan menjadi legitimasi mereka dan juga terkadang yang mereka abdikan, seperti ketua partai, kader partai, atau yang lain sebagainya.

Terkadang dengan mereka melampirkan figur yang mereka kagumi, seolah-olah figur itu juga ikut mendukungnya, padahal belum pasti visi dan misi mereka sama. Minim ide dan kreativitas sehingga mereka perlu untuk menampilkan sesosok orang yang dulu berpengaruh untuk ikut mendukung mereka. 

Kita bisa melihat orang-orang seperti Soekarno, M. Hatta, Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari, dan tokoh-tokoh lainnya seakan-akan ikut pemilu lagi. Jikalau dulu, orang-orang yang telah saya sebutkan tadi, menggunakan ide-ide mereka; visi dan misi mereka; perjuangan mereka untuk bangsa, kini para generasi penerusnya hanya cukup menggunakan penampakan-penampakan mereka untuk melegitimasi visi dan misi mereka.

Hal ini tidak berlaku hanya untuk personal politik tapi juga partainya. Dalam beberapa fenomena, visi dan misi partai juga dilampirkan foto-foto orang yang dulunya dianggap penting juga. Partai bukan lagi sebagai representasi dari rakyat, tapi lebih menjadi representasi dari beberapa personel. 

Memang itu sudah menjadi suatu habit yang sedang populer, tapi kita bisa melihat ada suatu masalah psikologis dengan semua itu. Apalagi kalau sosok calon yang akan dipilih gambarnya lebih kecil daripada sosok yang dilampirkan hanya sebagai lagitimasi calon yang akan dipilih.

Dari segi psikoanalisis, kita bisa menilai bahwa perwujudan tokoh-tokoh penting dalam sejarah menunjukkan bahwa penggunaan ini dikarenakan para politikus atau partai tertentu tidak mempunyai visi dan misi yang kurang menjual sehingga membutuhkan support yang lebih kuat untuk mendukungnya. 

Kondisi ini sebenarnya tidak terlalu disadari. Akan tetapi, jika kita melihat dari teori psikoanalisis Sigmund Freud, kondisi alam bawah sadar yang menjadi suatu dorongan akan ambisi-ambisi pribadi tidak bisa menyampingkan faktor-faktor itu. Jika dalam kondisi sadar, faktor-faktor yang membentuk persepsi dari internal atau eksternal bisa dideteksi dengan panca indera dan juga akal. Dalam kondisi alam bawah sadar, pembentukan persepsi ini mendapatkan gejolak tentang penolakan dan juga pengakuan.

Dengan adanya kemajuan teknologi di bidang media dalam komunikasi politik, menjadikan politik media massa juga semakin berkembang. Dan pemakaian “penampakan-penampakan” orang terdahulu yang telah kita bahas di atas, yang seperti boneka khas Rusia, Matryoskha, menjadikan conscious mind atau alam sadar kita yang berisi available mind (kenangan yang tersedia), menjadi suatu pandangan yang berada dalam alam bawah sadar kita atau unconscious mind. 

Kita antara menyadari dan tidak bahwa sebenarnya legitimasi tokoh yang dilampirkan dalam media seperti baliho, banner, atau media massa lainnya terkadang tidak mempunyai relasi yang pas karena kondisi zaman dan juga iklim politiknya sudah berbeda. Apalagi dengan jumlah kuantitas dan juga interval dalam penyajiannya. Persepsi masyarakat akan mudah terbentuk walaupun realitasnya tidaklah sama.

Oleh karena itu, kita sebagai warga negara yang berdemokratis harusnya tidak hanya menggunakan hak pilih kita saja dalam partisipasi pemilihan, tapi juga menggunakan akal dan juga hati kita dalam memilih seorang calon wakil rakyat atau pemimpin masyarakat. Kita fokuskan dalam melihat visi dan misi yang mereka tawarkan terlebih dahulu, bukan melihat orang-orang yang ada di belakangnya. 

Karena terkadang itu semua hanyalah seperti boneka Matryoskha tadi. Figur yang di luar belum tentu merepresentasikan figur yang ada di baliknya. Suatu ingatan yang kita sadari akan bisa dipelintir oleh pesan-pesan politik alam bawah sadar kita sehingga kemampuan kita dalam melakukan analisis juga bisa dipengaruhi oleh hal-hal tersebut.