Ketika NAZI memenangkan pemilihan umum federal di Jerman pada 1933, di tengah krisis dan keterhimpitan Jerman setelah depresi besar, pengangkatan Hitler sebagai kanselir yang menjanjikan perbaikan ekonomi dan retorika tingkat tinggi disambut gegap gempita seantero Jerman[1].
Cita-cita utopis Hitler berakhir antiklimaks dan NAZI dicap sebagai penjahat perang, bertanggung jawab atas perang dunia kedua[2], dan dianggap memalukan dan dijauhi oleh generasi Jerman selanjutnya[3], tapi gelora mewujudkan Jerman yang sejahtera tidak pernah padam dalam dada warga Jerman.
Generasi selanjutnya, dengan keahlian teknis yang dimiliki, bersatu padu untuk membangun ulang Jerman yang disebut banyak media pada zaman tersebut sebagai negara yang tidak memiliki masa depan. Terjadilah keajaiban pertumbuhan ekonomi Jerman pada tahun 1950-an, jamak dikenal dalam sejarah sebagai Wirtschaftswunder (Miracle of The Rhine), berkat kegigihan untuk bangkit dan bantuan Marshall Plan[4].
Hari ini, kita mengenal Jerman sebagai salah satu negara maju dan paling berpengaruh di Uni Eropa dan di dunia[5].
Kisah Jerman bukanlah yang pertama menunjukkan sukses keberhasilan proses politik yang seakan membalikkan takdir kehancuran, dan tak akan menjadi yang terakhir.
Entah masalah itu sebesar pembungkaman kebebasan berekspresi dan penumpukan harta pribadi kroni terdekat dan keluarganya selama 32 tahun menjabat[6], atau mulai dari hal-hal kecil layaknya karang taruna yang bersatu padu setelah melakukan rapat musyawarah untuk bergotong royong membersihan saluran air mengatasi sumbatan penyebab banjir.
Sejarah telah membuktikan, dan akan selalu menunjukkan, bahwa politik yang dikemudikan oleh kegigihan anak muda dapat memberikan solusi bagi segala permasalahan dunia, sekecil atau bahkan seburuk apapun permasalahannya.
Perjalanan dunia yang dinamis dalam mengiringi kehidupan manusia merupakan hal yang patut diapresiasi. Dan dalam dinamika, akan selalu ada kontroversi, serta solusi yang menyertai. Itulah kehidupan, dan demikianlah politik, yang akan selalu menyertai segala sendi kehidupan, yang didefinisikan Harold Lasswel sebagai siapa dapat apa, mengapa, dan bagaimana[7].
Sebagai seni saling memahami dan mencapai tujuan, politik akan menampilkan adanya era dimana kemanusiaan mengalami masa terkelam yang disebabkan proses politik yang menihilkan nilai nilai kemanusiaan, dan disitu pula ada anak muda dengan energi positif yang membara akan menginternalisasi nilai nilai kebaikan dalam berpolitik dan memperbaikinya.
Politik Sebagai Proses Perbaikan
Apa yang acap kali kita saksikan dalam media berkenaan dengan percaturan politik seringkali menyayat kalbu. Dibanding memperjuangkan rakyat, masih lazim kita temukan pejabat teras yang justru mengedepankan keuntungan pribadi, walau dengan cara-cara yang menyimpang. Disanalah kita lihat ada korupsi, ada kesewenang-wenangan, ada aspirasi yang tak tersampaikan karena bertentangan dengan kepentingan elit.
Dibanding beradu gagasan memperbaiki bangsa dan mempersembahkan pilihan pemimpin yang baik bagi masyarakat, justru lebih nyaman mempertontonkan aksi saling jegal, menyuarakan rasisme dan kebencian, adu lempar opini yang dekonstruktif, dan menimbulkan pergunjingan. Apatisme rakyat terhadap perpolitikan pun tidak terhindarkan, dengan statistik terbaru pemilih pada Pilkada Serentak 2015 yang hanya mencapai 64% dari daftar pemilih tetap[8].
Persentase yang bisa jadi lebih tinggi daripada jumlah asli orang yang benar benar memilih sesuai hati nurani, mengingat banyaknya masyarakat yang memilih karena terkait dengan proses politik uang atau menerima pemberian tertentu, alih alih menyuarakan aspirasinya[9].
Isu-isu supremasi kulit putih yang acapkali didengungkan Donald Trump dengan kebijakannya yang mendiskreditkan Muslim dan imigran, ataupun kebangkitan tokoh dan partai berhalauan kanan ekstrem di berbagai negara di Eropa layaknya Austria[10] dan Belanda[11].
Serta penyebaran paham Islamophobia yang mengalpakan nilai kemanusiaan dalam penanganan krisis pengungsi dari Suriah[12] pun seakan membuat politik sudah resmi menjadi kambing hitam atas kegagalan kita mengimplementasikan nilai nilai kebaikan di dalamnya. Dan sama dengan yang sejarah ajarkan, masih ada anak anak muda yang gigih memperjuangkan perbaikan saat ini, sesulit apapun konstelasinya.
Ketika semangat perjuangan rakyat oleh elit mulai sirna, muncul generasi pembaharu yang mendobrak tatanan kemapanan birokrasi elitis. Di Indonesia kita bisa melihat beragam pemimpin muda baru –atau yang tua tapi tetap bersemangat dan berpemikiran muda- yang merintis dobrakan pembaharuan dan memperbaiki daerahnya; entah sebagai gubernur, walikota, bupati, pengusaha, dan beragam profesi terhormat lainnya.
Di Amerika, kita bisa memahami fenomena generasi millennial yang berbondong-bondong mendukung revolusi politik ala Bernie Sanders yang mengedepankan persamaan, menolak lobbying dan intervensi pemegang modal dalam pengambilan kebijakan, serta mengatasi kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin yang acapkali kini terjadi[13].
Walaupun gagal mengantarkan sang empu menjadi pimpinan, nilai sosial kemanusiaan yang diperjuangkan dalam perbaikan proses berpolitik akan selalu berdengung dan beresonasi menginspirasi tokoh dan dimensi lain untuk melakukan pembenahan.
Demikian pula ketika politik hanya dimaknai sempit sebagai pemenangan kekuasaan dan pemuasan nafsu para elit, muncul para pemuda idealis yang khawatir dengan penjegalan pencalonan periode kedua Ahok sebagai Gubernur DKI dengan meledakkan semangat mengusung calon secara individu yang menjadi viral di linimassa media sosial maupun media massa, berhasil mengumpulkan satu juta KTP.
Walaupun pencalonan Ahok sebagai kandidat gubernur akhirnya diusung partai politik, Teman Ahok berhasil membuktikan bahwa masyarakat juga berhak punya peran dalam percaturan penentuan nasibnya, yang pada akhirnya menekan para elit untuk mendengarkan suara arus bawah[14].
Begitu pula dengan adanya mekanisme pengiriman petisi secara online yang jauh lebih mudah dari Era Petisi 50 ala Ali Sadikin dan 49 tokoh terkemuka lain pada zamannya[15], penyuaraan kritik saran via media sosial[16], maupun pemahaman politik yang semakin terbangun pada masyarakat agar tidak terjebak dalam isu sempit SARA dalam kehidupan berbangsa[17], juga menunjukkan bahwa perlahan kemanusiaan diantarkan ke arah yang lebih baik melalui proses berpolitik yang luhur.
Saling keterikatan sebagai sebuah bangsa maupun entitas masyarakat dunia yang terikat dalam nilai-nilai kemanusiaan membuat kita saling terhubung dan saling memahami satu sama lain. Terjadinya proses perdagangan yang saling menguntungkan, kerjasama pertukaran budaya, dan akses informasi yang begitu deras menembus batas antar negara, sudah selayaknya menjadikan kita semakin memahami satu sama lain.
Pada titik perbaikan ini, perlunya penekanan bagi seluruh lapisan masyarakat bahwa politik dapat digunakan sebagai mekanisme perbaikan. Tentu saja, penyadaran masyarakat tidak dapat dilakukan dengan sekadar melakukan pidato seremonial, pembuatan jargon-jargon, dan kegiatan simbolis lainnya. Era Harmoko menceramahi kita apa yang baik dan yang tidak atas petunjuk Bapak Presiden pun sudah terlampau usang, tapi bukan berarti layak untuk dilupakan.
Sejarah harus selalu menjadi pedoman setiap insan mempelajari keberhasilan maupun kegagalan yang telah dicapai para pendahulu, sembari mengimplementasikan hikmahnya dalam setiap denyut nadi. Satu hal yang pasti, bahwa masyarakat akan selalu memahami keteladanan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dan di mana pun peran dalam bermasyarakat, generasi muda harus selalu memegang teguh tugas berat yang dipikulnya sebagai agen pembaharu dan harapan bangsa.
Karena sejatinya, politik adalah sebuah kanvas kosong dimana nilai nilai kita menjadi tinta dan aksi perbuatan kita menjadi kuas yang menggoreskan kebaikan bagi sesama. Terkadang, lukisan itu pun pudar seiring waktu dan hembusan badai atau cipratan lumpur yang tak terhindarkan. Tapi nilai-nilai yang baik, akan selalu menemukan kanvas baru untuk dilukis dan dipercantik.
Begitu pula politik, yang akan selalu baik, walau dalam masa terkelamnya. Karena akan selalu ada orang orang baik dan generasi muda pembaharu yang tergugah hatinya untuk memperbaiki yang belum baik, sepelik apapun kondisinya.
[1] Richard J. Evans, The Third Reich in Power, 1933 – 1939, How the Nazis Won Over the Hearts and Minds of a Nation (London: The Penguin Press, 2005), https://books.google.co.id/books?id=EBD6KE MrY5sC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false.
[2] “The Sentencing and Execution of Nazi War Criminals, 1946,” Eyewitness to History, diakses pada 26 Agustus 2016, http://www.eyewitnesstohistory.com/nuremberg.htm.
[3] Tom Chivers, “Germany is 'filled with shame' over Nazi holocaust, Angela Merkel tells Israel,” The Telegraph, 18 Maret 2008, diakses pada 26 Agustus 2016, http://www.telegraph. co.uk/news/worldnews/1582102/Germany-is-filled-with-shame-over-Nazi-holocaust-Angela-Merkel-tells-Israel.html.
[4] David R. Henderson, “German Economic Miracle,” Library of Economics and Liberty, diakses pada 26 Agustus 2016, http://www.econlib.org/library/Enc/GermanEconomicMiracle.html.
[5] “Ibu Bangsa bagi Bavaria dan Uni Eropa,” Media Indonesia, 16 Agustus 2016, diakses pada 26 Agustus 2016, http://mediaindonesia.com/news/read/61758/ibu-bangsa-bagi-bavaria-dan-uni-eropa/2016-08-16.
[6] Wijayanto dan Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, Dan Prospek Pemberantasan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), p.439.
[7] Harold D. Laswell, Politics; Who Gets What, When, How (New York: Whittlesey House, 1936).
[8] Amriyono Prakoso, “Tingkat Partisipasi Pilkada Serentak Hanya Capai 64,02 Persen,” Tribun News, 16 Desember 2015, diakses pada 26 Agustus 2016, http://www.tribunnews.com/nasional
/2015/12/16/tingkat-partisipasi-pilkada-serentak-hanya-capai-6402-persen.
[9] “Pilkada 2015 masih diwarnai politik uang,” BBC Indonesia, 8 Desember 2015, diakses pada 26 Agustus 2016, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151208_live_pilkada_ 2015.
[10] J. Huggler, “Austria court orders presidential election re-run after far-Right challenge,” The Telegraph, 1 Juli 2016, diakses pada 26 Agustus 2016, http://www.telegraph.co.uk/news/2016/ 07/01/austria-court-orders-presidential-election-re-run-after-far-righ/.
[11] Alexandra Sims, “Far-Right Dutch Politician, Geert Wilders, Says Male Refugees Must be Kept In ‘Asylum Camps’ To Stop Sexual Jihad,” The Independents, 23 Januari 2016, diakses pada 26 Agustus 2015, http://www.independent.co.uk/news/world/europe/far-right-dutch-politician-geert-wilders-says-male-refugees-must-be-kept-in-asylum-camps-to-stop-a6828891.html.
[12] “The Refugee Crisis and Islamophobia,” Insight Turkey, April 2015, diakses pada 26 Agustus 2015, http://www.insightturkey.com/the-refugee-crisis-and-islamophobia/articles/7488.
[13] Zachary Karabell, “Why America’s Youth Loves Bernie,” The Politico, 10 Februari 2016, diakses 26 Agustus 2016, http://www.politico.com/magazine/story/2016/02/why-americas-youth-loves-bernie-213615.
[14] Amir Sodikin, “Fenomena "Teman Ahok", Saat Generasi Y Menolak Oligarki Parpol,” Kompas, 12 Maret 2016, diakses pada 26 Agustus 2016, http://nasional.kompas.com/read/2016 /03/12/10200331/Fenomena.Teman.Ahok.Saat.Generasi.Y.Menolak.Oligarki.Parpol
[15] Rusman Nurjaman, “Petisi Online, Cermin Kebangkitan Kaum Muda?,” 7 Maret 2013, diakses pada 26 Agustus 2016, http://intisari-online.com/read/petisi-online-cermin-kebangkitan-kaum-muda-.
[16] Ribut Lupiyanto, “Media Sosial untuk Kritik Sosial,” Harian Analisa Daily, 30 Maret 2015, diakses pada 26 Agustus 2016, http://harian.analisadaily.com/opini/news/media-sosial-untuk-kritik-sosial/120253/2015/03/30
[17] Arkhealus W, “Pilgub DKI, Pengamat: Kampanye Isu SARA Tidak Bakal Laku,” Tempo, 10 Mei 2016, diakses pada 26 Agustus 2016, https://m.tempo.co/read/news/2016/05/10/083769857/ pilgub-dki-pengamat-kampanye-isu-sara-tidak-bakal-laku.
#LombaEsaiPolitik