Gurauan dari Presiden RI ke-5 cukup menggelitik jagat cyber, pasalnya gurauan tersebut disampaikan saat masyarakat sedang dipusingkan dengan harga minyak goreng yang melambung. Namun, negara justru melepaskan harga minyak goreng selain minyak curah ke harga pasar. Bahasa lain adalah konsumen dibiarkan menelan mentah-mentah harga yang diberikan oleh para mafia minyak goreng di pasar, dan negara lepas tangan.
Gurauan yang dianggap menghibur, justru semakin menambah beban masyarakat dalam memikul sulitnya ekonomi hari ini yang belum pulih dari jebakan pandemi. Anggapan penulis bahwa gurauan untuk stimulus supaya kita tidak panic buying dalam menghadapi polemic minyak goreng. Namun menjadi ironis saat gurauan yang seharusnya diganti dengan upaya kongkrit dari negara melindungi warganya jauh lebih menghibur rakyat.
Pasalnya, beliau yang notabene bagian dari elemen penguasa dan memiliki kaki tangan di eksekutif yang sangat mungkin bisa memberikan masukan dan solusi pada para kader politiknya dalam membantu menyelesaikan lara rakyat dari harga minyak goreng yang melambung.
Tercatat mulai akhir tahun 2021 hingga Januari 2022 lalu harga minyak per liternya sempat tembus di harga Rp 24.000,-. Lalu pemerintah mengambil kebijakan satu harga dengan HET (Harga Eceran Tertinggi) untuk minyak goreng yang berlaku mulai per 01 Februari 2022 kemaren diantaranya harga minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500/liter, sedangkan kemasan premium sebesar Rp 14.000/liter.
Sialnya, setelah HET tersebut diberlakukan, minyak goreng menjadi langka di pasaran. Kalaupun ada maka para penjual melepaskan ke konsumen dengan harga di atas HET. Seolah para spekulan minyak goreng menguatkan posisinya dalam melawan kebijakan HET pemerintah. Hingga tidak sampai 1 bulan, pemerintah kemudian mengumumkan kembali bahwa harga minyak goreng dilepas ke pasar.
Namun, pasca pemerintah melepas HET minyak goreng, pasokan minyak goreng di pasar mulai ada dan melimpah. Tarik ulur harga minyak goreng ini seolah drama politik kuasa antara pemerintah dan spekulan.
Sebenarnya bukan karena minyak gorengnya sendiri, namun dampak dari kenaikan harga minyak goreng adalah meningkatnya biaya produksi bagi UMKM kuliner yang menggunakan minyak goreng sebagai bahan baku produksinya menjadi korban utama atas tidak hadirnya negara dalam kemelut harga minyak goreng. Jadi apa sebercanda itu harga Minyak Goreng di depan kalian?
Kendalikan Harga
Di tengah fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia yang berasal dari Pulau Sumatra dan Kalimantan. Data tersebut sesuai dengan catatan Buku statistik perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit Tahun 2018-2020 dan statistic perkebunan unggulan Nasional 2019-2021 yang diterbitkan oleh Kementrian Pertanian (Kementan). Berdasarkan rata-rata produksi kelapa sawit di 9 provinsi penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia berkontribusi sebesar 87,46 persen terhadap total produksi sawit di Indonesia. Persentase tersebut tentu harusnya menunjukkan potensi besar Indonesia dalam terlibat aktif menentukan harga minyak hasil olahan kelapa sawit di pasar.
Kondisi sebaliknya menunjukkan bahwa, melambungnya harga minyak goreng terjadi di negara kita, penghasil sawit terbesar di dunia. Sialnya, ditambah dengan inkonsistensi kebijakan harga yang ditetapkan oleh pemerintah dalam merespon kisruhnya pasar minyak goreng di akar rumput.
Jika jelas-jelas letak persoalannya bukan karena kendala pasokan hingga persoalan dalam permintaan dan penawaran, maka praduga atas adanya beberapa pihak yang dengan sengaja memainkan harga pasar perlu ditindak tegas oleh pemerintah melalui kementrian perdagangan dan pihak-pihak lain yang terkait.
Kondisi kelangkaan hingga melambungnya harga minyak goreng, yang merupakan salah satu bahan pokok warga akibat ulah dari pedagang ‘nakal’, salah satunya melakukan penimbunan barang selain faktor manipulasi dalam rantai pendistribusian minyak goreng hingga ampai ke tangan konsumen. Maka perlu ada kebijakan tegas dan terintegrasi dalam menyelesaikan persoalan ekonomi ini melalui kebijakan pengendalian harga.
Adapun beberapa kebijakan pengendalian harga diantaranya; Penetapan harga bahan-bahan pokok dan kebutuhan mendesak lainnya dalam harga yang terjangkau, termasuk untuk harga bahan dasar yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup (misal sayuran, buah-buahan, kedelai, sepatu, ayam dan sapi dsb). Sehingga tidak membuat biaya produksi meningkat yang berakibat matinya produksi masyarakat. Optimalisasi lumbung pangan dalam menampung bahan kebutuhan pokok terutama gandum untuk memastikan pemenuhan stok aman bahan pokok. Menindak tegas praktek Penimbunan dan para perantara (broker) di pasar yang menyebabkan harga barang di pasar melambung tinggi,
Idealnya, penetapan harga dalam pasar diserahkan oleh keseimbangan harga dari tarik menarik permintaan dan penawaran di pasar. Namun, menurut Imam Yahya bin Umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi pasar, kecuali dalam dua hal, yaitu; para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentunya yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehungga dapat menimbulkan kemudaratan serta merusak mekanisme pasar. Dan para pedagang melakukan praktek banting harga (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga pasar.
Namun, kedua klausul pengecualian tersebut yang mendominasi dalam balada minyak goreng hari ini, mengharuskan Pemerintah supaya tegas dalam pengendalian harga untuk memproteksi baik produsen maupun konsumen sehingga perekonomian negara terselamatkan.
Dari Moral Hazard sampai Kebijakan Terintegratif
Kondisi yang kompleks antara persoalan sosial dan politik yang memberikan dampak pada kericuhan di pasar baik berupa penimbunan barang-barang pokok dan praktek-praktek moral hazard lainnya.
Adanya moral hazard dalam pasar menimbulkan permasalahan lain yaitu: Pertama, hilang atau berkurangnya tingkat kesejahteraan konsumen (volume produksi lebih kecil daripada volume output optimum, menimbulkan inefisiensi sehingga kesejahteraan konsumen berkurang). Kedua, menimbulkan eksploitasi terhadap konsumen dan pemilik faktor produksi. Ketiga, menimbulkan kondisi makroekonomi negara memburuk, karena output riil industri lebih kecil daripada kemampuan sebenarnya karena motif tertentu.
Di Indonesia, tindak penyelewengan di pasar oleh oknum mengakibatkan melambungnya harga minyak goreng mengerek pula harga-harga bahan pokok lain yang tentu menyusahkan masyarakat. Terlebih dengan pemerintah melepas harga minyak goreng ke pasar, para spekulan semakin gencar meninggikan harga minyak goreng dan menyusahkan masyarakat.
Seharusnya pemerintah bertindak tegas kepada para trouble maker yang memainkan harga di pasar dengan memberi sanksi berat. Selain itu, mencari sumber masalah dari hulu sampai ke hilir dan menawarkan solusinya melalui kebijakan tegas dan kebijakan terintegratif. Yakni dibarengi kebijakan lain diantaranya dengan melembagakan lumbung pangan negara (aturan, tempat dan petugas distributornya) termasuk aturan pungutan dan pemungut pajaknya.
Dengan dipayungi segala aturan yang tegas baik prosedur maupun bagi pelakunya. Dilanjutkan dengan memilih aparat berintegritas untuk pengawasan pasar dan pola pelaporan yang baik (good governance) pada setiap tahapan pendistribusian barang-barang pokok dari hulu ke hilir.