Suatu hari, di sela-sela kekosongan pergantian mata kuliah. Sembari menunggu dosen tiba, tanganku disenggol oleh seorang teman, kita sebut saja Budi namanya.
Entah bagaimana ceritanya, ujug-ujug tanpa bermukadimah, dia langsung menawarkan sebuah pekerjaan kepadaku. Katanya, “Eh mujeki (nama panggilanku di kuliah), lu mau kerja nggak? Jangan khawatir, ini kerjaan nggak kaleng-kaleng. Beneran dah. Udahlah kerjaannya simpel, untungnya gede, waktu ngerjainnya ya paling sebulanan doang lah. Rugi banget deh kalo nggak diambil.”
“Plis deh Jek,” kembali lanjutnya, “Lu nggak usah ngekhawatirin berapa untungnya, untungnya itu gile gile gile, gede banget dah pokoknya. Gimana bisa? Ya soalnya ini ada jaminan konsumen dari orang-orang kaya, makanya ini kerjaan bisa untung sampe puluhan juta, bro.” Ucapnya penuh antusias.
“Nah, lu mau ambil nggak nih?” Tanyanya serius.
Mendengar itu, aku pun kaget dan terdiam, dan berpikir berulang-ulang.
Aku—sedikit pun—tidak ragu dengan apa yang diucapkan si Budi ini. Karena dia, memang terkenal sebagai pembisnis hebat yang punya link di mana-mana. Jadi untuk mendapatkan kerjaan-kerjaan dahsyat semisal ini, ya aku pun memakluminya, tanpa perlu membesitkan rasa ragu.
Terlintas dalam benakku untuk menerima tawaran itu dan mengatakan 'ya' kepadanya. Tetapi sayangnya pikiranku berkelahi.
Karena, pada waktu itu aku sedang berambisi untuk menyelesaikan target-target belajarku. Sederhananya, ada banyak majelis ilmu yang ingin aku kejar, dengan guru-guru yang ingin kutemui. Tetapi di sisi lain, aku pun sedang butuh uang untuk membeli sesuatu (walaupun orang tuaku masih dengan senang hati untuk mengirimkan uang jajan di setiap bulan).
“Tunggu sampai lusa, Bud. Baru nanti aku kasih keputusannya bagaimana.” Jawabku akan pertanyaan Budi.
Setelah beberapa hari kemudian. Budi dan aku tiba-tiba kebetulan berjumpa kembali di suatu tempat. Ketika mata kami saling bertatap, aku terkaget dan dia pun terkinjat.
“Hoi Jek, gimana kabar? Jadi mau nggak ambil tawaran kemarin? Soalnya gua udah nyari-nyari orang, cuman elu yang bakal cocok di kerjaan ini. Lu kan jago berorasi ngambil hati orang gitu, hahaha.”
“Hahaha, ngawur lu Bud, wek.”
Aku, di saat melihat keseriusan Budi yang betul-betul antusias nge-guide keahlianku yang 'katanya' jago berorasi. Jujur, waktu itu adalah hari terbimbang yang pernah kualami. Aku belum pernah merasakan dilema yang sedahsyat ini.
Di satu sisi, aku ingin kerja, mencari uang lalu membeli sesuatu yang kuinginkan, tetapi di sisi lain aku sudah berazam untuk menyelesaikan target belajar. Jika majelis ini tidak aku selesaikan sekarang, maka besok harus menunggu bertahun-tahun lagi agar majelis ini kembali terulang. Karena guruku akan bersafar ke negeri Yaman dalam waktu yang tidak sebentar.
Akhirnya, setelah melakukan perenungan panjang. Dengan ucapan bismillah, aku katakan 'tidak', sebagai bentuk penolakan terhadap tawaran menggiurkan dari temanku sang pembisnis andal ini, Budi.
Singkat cerita, setelah beberapa bulan kemudian, aku pun kembali berjumpa dengan Budi. Dengan wajah yang segar, dia menyapaku penuh hangat.
“Hoi Jek ... Rugi banget lu nggak ngambil tawaran kerja gua kemarin. Untungnya gede banget nget nget nget. Nyesel lu kan. Gua bilangin apa coba kemarin itu, huffttt ...” Sapanya semringah.
Melihat semangatnya itu, aku pun penasaran lalu bertanya,
“Lah, emangnya kemarin dapet berapaan, Bud?”
“Hehehe, kite untungnya enam puluh jeteee, Bosssssssque! Untung bersiiihhhh." Jawabnya sambil ngeledek.
Sontak aku pun kaget. Tidak menyangka. Bahwa ternyata, waktu tiga bulan yang aku gunakan untuk ngaji kitab Syarh al-Waraqat fii Ushul al-Fiqh, kemudian Kharidah al-Bahiyah bersama Syaikh Husaam. Lalu menyelesaikan kitab Hasyiah an-Nafahaat ala Syarh al-Waraqat dengan diskusi bareng teman-teman.
Ternyata, dari sekian kegiatan 'thalabul ilmi' yang aku lakukan ini, sebenarnya Allah sedang mengingatkanku: bahwa ngajiku yang selama tiga bulan itu, adalah seharga enam puluh juta!
Sama sekali aku tidak menyesal terhadap keputusan yang aku buat. Bahkan, aku berterima kasih besar kepada Budi, karena telah menyadarkanku akan hal-hal sederhana semisal ini.
Setelah menghela napas yang cukup panjang lalu menghembuskannya secara perlahan, sembari memegang pundak si Budi aku pun penuh semringah mengatakan di hadapannya,
"Alhamdulillaaaah. Thanks Bud! :)"
***
Guru saya pernah mengatakan, bahwa waktu belajar selama di Mesir ini, harganya mahal. Anda tidak akan mampu menggantinya dengan apa pun. Selama Anda masih mampu berkehidupan dengan tenang, dan punya beasiswa serta kiriman bulanan dari kampung halaman, maka sesekali jangan tergiur dengan kerjaan. Cukup fokuskan diri untuk belajar saja. Sebab posisi Anda di Mesir ini adalah sebagai pembelajar, bukan pekerja atau pencari cuan!
Waktu itu mahal. Orang-orang di kampung halaman sudah mempercayakan Anda untuk mengkaji ilmu agama. Lalu tahunya, ketika Anda berada di sini, Anda malah sibuk-sibukan bekerja dan teralihkan fokusnya. Tentu jika sudah begitu, berbahaya, sebab Anda telah menyia-nyiakan amanah terbesar yang telah mereka sandangkan di pundak Anda.
Waktu itu seperti pedang, kata Imam Syafi'i, jika Anda tidak mampu menguasainya maka dia yang akan menguasai Anda. Jika Anda tidak gunakan ia untuk menyerang, maka Anda yang akan terserang akibat kelalaian Anda saat menggunakan pedang. Begitu juga dengan waktu.
Kita perlu belajar, dengan metode orang-orang hebat dahulu saat bermuamalah terhadap waktu mereka. Setiap mereka yang dianggap sebagai intelektual, cendekiawan, alim ulama, tokoh perubahan, dan sebagainya, pasti adalah mereka yang selalu manfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Bahkan, sejarah—sampai sekarang pun—tidak pernah menuliskan, bahwa orang-orang sukses di dunia ini berasal dari orang-orang yang lalai terhadap waktu mereka.
Coba lihat ulama-ulama terdahulu, misalnya Imam Abd al-Hayyi al-Likwani, dengan usianya yang berujung pada angka 39 saja, sudah berhasil menelurkan karya sebanyak 109 kitab. Dan ingat, satu judul kitab itu bisa berisi jumlahan jilid yang beragam-ragam banyaknya.
Atau bahkan, kita bisa lihat sejarah Imam an-Nawawi, yang konon diceritakan, adalah seorang ulama yang nyaris tidak pernah menyentuh kasur saat masa belajarnya. Tidurnya itu ya hanya selayang ketika belajar, lalu saat kemudian ia terjaga, ia kembali mengkaji apa yang tengah ia baca.
Juga dikisahkan, bahwa selama hidup Imam an-Nawawi menghadiri sebanyak 13 majelis ilmu dalam sehari. Perhatikan, 13 majelis ilmu dalam sehari. Tentu ini adalah jumlah yang 'bisa dibilang' tidak mungkin untuk diterapkan di era kita sekarang. Ini baru Imam an-Nawawi, belum lagi Imam Syafi'i, Imam Maliki, dan para ulama pencetus mazhab yang lebih luar biasa lagi tentunya.
Untuk teladan di era kita sekarang, kita ambil saja contohnya Abbas el-Akkad sang intelektual dari Mesir. Kemasyhuran ia dalam berliterasi berhasil membuat kita tertegun-tegun tak kepalang. Dia bangun dari tidur dua jam sebelum subuh. Lalu memulai harinya dengan aktivitas membaca. Kegiatan itu terus berlangsung sampai pagi. Lalu tembus siang sore sampai malam empat jam sebelum subuh baru tertidur. Abbas el-Akkad, cukup tertidur dengan interval waktu dua jam saja.
Semua kegiatannya, selama berstatus sebagai seorang pembelajar hanya sebatas berputar pada aktivitas; membaca, menulis, dan ibadah. Tidak ada yang lain. Tentu teruntuk era kita yang sekarang, sudah terkonotasi ‘sangat mengagumkan’ jika sampai ada yang berhasil melakukan hal demikian.
Oleh sebab itu, orang-orang terdahulu sudah lebih dulu memberikan contoh bagaimana sepatutnya kita saat bermuamalah dengan waktu. Pahami status kita. Sadari keberdirian kita—di satu tempat—sedang mencapai tujuan apa. Jangan pernah sama sekali kehilangan identitas.
Jika kita telah ditetapkan sebagai seorang pembelajar, maka manfaatkan itu sebaik-baiknya. Jangan teralihkan pada hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan aktivitas seorang pembelajar. Sebab, jika Anda kehilangan identitas dan tujuan. Sekali saja. Maka alamatlah kegagalan akan datang menyertai Anda. Sekian.
***
Jendela Inspirasi:
1. Allah menciptakan manusia untuk berperan sesuai dengan kedudukan yang telah diberikan. Peran itulah yang harus kita sadari, dan kemudian kita lakoni sepenuh hati.
2. Waktu adalah suatu hal yang mahal. Jika kita tidak memanfaatkannya sebaik mungkin, maka itu akan menjadi cerminan dasar bahwa di hari kemudian kita tidaklah manfaat di mata orang-orang.
3. Lingkungan itu ada dua, berupa; internal dan eksternal. Internal adalah sekumpulan rutinitas, mindset dan kesadaran. Lalu eksternal berupa pengaruh teman, guru, dan tempat. Jaga dan rawat baik-baik dua bentuk lingkungan tersebut agar tetap steril dari hal-hal kotor yang berpotensi mengontaminasinya.