Candi Prambanan merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-8 masehi. Candi ini terletak di Bokoharjo, Kec. Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada tahun 1991, Candi Prambanan ditetapkan sebagai salah satu World Heritage Sites oleh UNESCO. Penetapan tersebut menunjukan kemegahan karya nenek moyang bangsa Indonesia pada zaman dahulu.
Seiring perkembangan zaman, ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan hubungan Candi Prambanan dengan umat Hindu, tepatnya terkait akses mereka di Prambanan. Ketidakcocokan akan adanya peraturan dan terbenturnya keinginan umat Hindu dan pemerintah berdampak pada adanya polemik.
Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang memiliki kecenderungan menjadi menghambat umat Hindu dalam beribadah di Candi Prambanan. Selain itu, ditemukan fakta bahwa umat Hindu juga memiliki keresahan terkait akses mereka terhadap Candi Prambanan secara garis besar, seperti pengadaan event dalam bentuk upacara masal, perizinan masuk dan semacamnya.
Terkait aturan yang berlaku di Candi Prambanan, ketua Persada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Klaten, yaitu Hendrata Wisnu, mengungkapkan, “Di candi Prambanan sendiri tadi dikunjungi sekitar 120 orang dari Bali, tetapi tidak boleh melakukan ritual, tidak boleh membawa bunga, membakar dupa, dan lain-lain.”Hal tersebut dianggap secara tidak langsung memberi arahan bahwa Candi Prambanan memang tidak diperuntukan untuk ibadah.
Terkait akses pengadaan untuk upacara masal, seperti Abhiseka, salah satu pengelola Pura Wisnu Sakti di Klaten, yaitu Basuki, mengungkapkan sebagai berikut:
"Izinnya itu ribet. Yang pertama itu ke TWC (Taman Wisata Candi) dan yang kedua itu ke BPCB setempat sampai ke pusat. Itu pun pengizinannya tidak otomatis disetujui, kami membutuhkan kepastian yang lama. Ketika acara pun kita minta disterilkan untuk hanya untuk dua jam saja tidak bisa."
Kesulitan akses dan kurang mendukungnya peraturan yang ada di Candi Prambanan tersebut berpengaruh pada perubahan aspek fungsionalitas Candi Prambanan pada masa kini. Candi Prambanan yang pada awalnya dibangun untuk peribadatan umat Hindu, sekarang dirasa sudah memiliki fungsi yang berkebalikan dengan sulitnya akses dan adanya aturan-aturan yang condong pada pelarangan candi sebagai tempat ibadah. Hal tersebut yang dipermasalahkan dan masih menjadi polemik di Candi Prambanan.
Hendrata Wisnu selaku pemerjuang umat Hindu berpendapat bahwa harusnya terdapat tiga hal yang diadopsi dalam pengelolaan Candi Prambanan, yaitu pariwisata, budaya, dan religi. Penyeimbangan tiga hal dirasa dapat menjadi solusi dari permasalahan ini.
Pengusahaan akan hal tersebut dan kemudahan akses umat Hindu terhadap Candi Prambanan akan terus dilakukan oleh pihak umat Hindu, terutama PHDI Klaten. MoU (Memorandum of Understanding) terkait akses umat Hindu di Candi Prambanan dengan berbagai stakeholder merupakan target awal yang perlu dilakukan.
SOP (Standart Operation Operation Procedure) dan prostap (prosedur tetap) terkait hal teknis peribadatan dan alur wisatawan perlu dicari jalan tengahnya sehingga dapat mengakomodir kepentingan bersama. Menurutnya, semua hal tersebut dimaksudkan bukan untuk berniat mengurangi unsur pariwisata, melainkan menyeimbangkan penggunaan Candi Prambanan dengan semestinya, bahkan hal tersebut dirasa dapat menambah daya tarik Candi Prambanan sebagai wisata budaya.
Menilik UU Nomor 11 Tahun 2010 mengenai Cagar Budaya Pasal 64, pasal tersebut berbunyi: “Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62 harus memperhatikan pemanfaatannya bagi kepentingan sosial, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, agama, kebudayaan, dan/atau pariwisata.”
Sebagai Cagar Budaya, Candi Prambanan boleh memiliki aspek-aspek tersebut sehingga memang harusnya keinginan umat Hindu dapat diakomodasi karena hal tersebut masih sejalan dengan undang-undang, tetapi harus tetap dalam batasan yang wajar demi keberlangsungan candi. Selain itu, sisi positifnya, penambahan aspek agama dan budaya, apabila ditelusuri dari segi pariwisata, sebenarnya dapat menambah daya tarik wisata Candi Prambanan sebagai destinasi wisata budaya.
Secara garis besar, kedua belah pihak harusnya dapat mengakomodasi dan memperhatikan dua kepentingan, yaitu konservasi dan nilai agama-budaya. Pihak pengelola harus dapat mengaktualisasikan kebijakan yang sejalan dengan undang-undang terkait cagar budaya, ditambah lagi hal tersebut sejalan dengan pengembangan daya tarik wisata. Sedangkan, pihak agama Hindu tetap harus memperhatikan status Candi Prambanan sebagai cagar budaya dan world heritage site sehingga umat Hindu yang berkunjung ke Candi Prambanan tidak boleh memosisikan dirinya sama seperti ibadah ke pura seperti biasanya.
Hal tersebut perlu dilakukan karena ada fungsi lain yang berjalan bersamaan, seperti pariwisata dan konservasi. Hal tersebut juga sudah merupakan konsekuensi apabila ingin mengusahakan akses peribadatan di Candi Prambanan yang notabene sudah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional.
Oleh karena itu, perlu adanya SOP secara detail terkait umat Hindu dalam menjalankan ibadah supaya kegiatan peribadatan umat Hindu memiliki aturan yang tegas dan terstruktur. Seharusnya SOP tersebut juga mempertimbangkan hal-hal yang kompleks, seperti efek membakar dupa dan menaruh sesajen terhadap kondisi batu candi, alur masuk wisatawan di dekat candi, dan sebagainya.
Dengan begitu, SOP tersebut dapat menjadi justifikasi atau penguat bagi umat Hindu bahwa mereka tidak hanya mengedepankan kepentingan mereka ketika di Candi Prambanan dan tentunya hal tersebut dapat menjadi bukti bahwa umat Hindu memperhatikan banyak aspek dalam pengusahaan peribadatan mereka di Candi Prambanan sehingga sejalan juga dengan aspek konservasi.