Perbedaan dan keberagaman kehidupan bermasyarakat tidak serta merta menjadi permusuhan dan konflik yang tajam, namun perbedaan tersebut akan terasa lebih indah dengan konsep saling menjaga dan menghormati, sesuai dengan keyakinan masing-masing, sehingga keseragaman identitas perlu menjadi kajian berkelanjutan untuk menemukan titik temu di antara perbedaan.
Keberagaman agama yang ada di Indonesia merupakan aset kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, telah terjadi banyak kekerasan atas nama agama. Agama yang seharusnya tampil dengan kasih sayang, kini mulai menunjukkan kekerasan. Kasus kekerasan atas nama agama tidak pernah berhenti terjadi di Indonesia.
Fakta ini menunjukkan bahwa pluralisme agama yang berarti menghargai perbedaan pemeluk agama dalam masyarakat sudah mulai memudar. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengembangkan konsep pendidikan pluralisme, di mana pendidikan pluralisme ini setidaknya dapat meminimalisir potensi kekerasan atas nama agama. Pendidikan ini juga membutuhkan panutan yang memperjuangkan pluralisme.
Pengelolaan pluralisme ini tidak hanya terkait dengan penataan pluralisme itu sendiri yang benar, seperti mencegah timbulnya konflik dalam keberagaman yang mengancam keutuhan dan kemajuan bangsa, tetapi yang terpenting adalah membangun dan mengembangkan pluralisme dengan hak.
Postur sesuai dengan format republik ini, salah satu media yang sangat penting dalam membangun dan memperluas pluralisme adalah media pendidikan. Hal ini karena pendidikan merupakan sarana mencerdaskan anak bangsa untuk membangun masa depan bangsa dan negara.
Satu hal yang patut dicatat adalah kegagalan pembangunan bangsa ke depan dalam bidang apapun, terutama karena kegagalan paradigma pendidikan berbasis pluralisme. Jika kita ingin mewujudkan kehidupan bangsa yang adil dan damai yang menjunjung tinggi pluralisme, maka harus dimulai dari anak didik.
Gandhi berkata, “Jika kita ingin mencapai kedamaian sejati di dunia ini harus dimulai dari anak-anak”.
Sehingga pendidikan pluralisme harus mampu memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa. Jangan malah menjadi tempat berkembang biaknya paham-paham keagamaan sempit yang bisa membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Model pengajaran agama indoktrinatif kepada peserta didik sudah seharusnya tidak menjadi pilihan metode dalam pengajaran agama, baik di sekolah maupun perguruan tinggi.
Ingat bahwa pendidikan adalah proses sosial, maka pendidikan juga harus dipahami sebagai proses humanisasi; yaitu upaya agar segala sikap dan perilaku serta berbagai aktivitas seseorang bersifat manusiawi.
Humanisme sendiri merupakan suatu bentuk kerangka pluralitas, sehingga antara pluralisme dan humanisme memiliki hubungan yang erat, karena kedua hal tersebut merupakan majemuk namun sangat berbeda satu sama lain.
Nilai-nilai kemanusiaan merupakan inti dari penghargaan manusia terhadap sesama manusia, perbedaan merupakan wujud kekayaan pemikiran dan tindakan untuk menjadi teladan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kasus kekerasan atas nama agama, ras, kepercayaan, suku, merupakan bentuk tindakan yang jauh dari nilai kemanusiaan. Di sinilah peran dan fungsi pluralisme pendidikan, sebagai solusi alternatif penyelesaian berbagai persoalan secara dialogis.
Dikatakan pula bahwa pendidikan adalah suatu proses pembentukan manusia seutuhnya baik jasmani maupun rohani, dengan watak dan ciri khas bangsa yang kuat dan majemuk, sehingga dari situ anak didik dapat diarahkan untuk lebih mengenal dalam menghargai dan menjunjung berbagai macam nilai. dalam masyarakat seperti nilai pluralisme.
Pluralisme ini percaya bahwa berbagai agama dengan berbagai perbedaan mengarah pada satu tujuan. Ibarat seorang pendaki gunung, seseorang mungkin menempuh berbagai jalan dan akhirnya bertemu di puncak. Bahwa prinsip-prinsip agama adalah sama, meskipun sistem agama berbeda.
Di level intelektual, paham inklusivisme dan pluralisme agama masih bermasalah. Pendidikan merupakan infrastruktur yang dipandang paling mungkin digunakan dalam mencapai cita-cita transformasi masyarakat madani karena fungsinya sebagai instrumen perubahan, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sikap mental.
Pluralisme agama di negeri ini merupakan realitas empiris yang tidak bisa dipungkiri. Oleh karena itu, pluralisme selalu dikenal sebagai potensi kebangsaan dan kenegaraan sehingga founding fathers menetapkan negara ini bukan sebagai negara agama atau negara sekuler. Pilihannya tepat di tengah-tengah antara keduanya. Persoalannya adalah, siapa yang memperkenalkan, dan memaknai selanjutnya sehingga kenyataan pluralisme menjadi ruwet bak memendam dendam kesumat yang tidak ada hentinya.
Pluralisme pendidikan bukan sekedar wacana yang mudah diucapkan, namun lebih jauh dari itu pluralisme dalam dunia pendidikan harus menjadi sikap, baik bagi guru sebagai pelaku utama dalam pendidikan, maupun bagi siswa untuk terus meningkatkan kualitas dirinya dalam konteks tersebut dari dunia modern.
Pluralisme pendidikan sebagai alat dan pemahaman terhadap nilai-nilai toleransi terhadap keragaman budaya, ideologi, sosial politik, ekonomi dan agama, harus menjadi karakter pendidikan kita saat ini, sehingga perlunya pluralisme pendidikan menjadi salah satu kurikulum, agar dapat menghasilkan generasi yang berwawasan jauh lebih baik di masa yang akan datang.
UUD 1945, terlebih dahulu memahami prinsip-prinsip yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki banyak pulau, suku, agama, ras, budaya dan antar golongan akan membuat pluralisme.
Secara garis besar Pluralisme Pancasila berlandaskan pada konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Persatuan atau kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan. Secara filosofis kelima sila ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: sila 1 merupakan landasan ontologis pluralisme, sila 2,3,4 merupakan landasan epistemologis dan sila 5 merupakan landasan aksiologis.
Nilai pluralisme, nilai kebebasan dan pengakuan keberadaan agama lain, nilai keadilan serta nilai toleransi dan saling menghormati.
Dr (HC). KH. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur. Presiden ke-4 Indonesia ini sering disebut sebagai Bapak Pluralisme Indonesia karena begitu getolnya mengangkat tema toleransi dan mengumandangkan bahwa Indonesia milik seluruh elemen masyarakat, tanpa memandang ras, suku, bahasa, etnis, bahkan agama dan agama. Bagi Gus Dur, Pluralisme adalah menghargai adanya pluralitas yang merupakan Sunnatullah.
Gus dur berkata “Pluralitas harus diterima tanpa ada perbedaan”