Merujuk KBBI (Kamus besar bahasa Indonesia 2008), pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya). Hal ini perlu dipertegas bahwa menerima kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan.
Menerima perbedaan bukan berarti mennyamaratakan, tetapi justru mengakui bahwa ada hal atau ada hal-hal yang tidak sama. Menerima kemajemukan (misalnya dalam bidang agama) bukanlah berarti bahwa membuat “penggabungan gado-gado”, di mana kekhasan masing-masing terlebur atau hilang. Kemajemukan juga bukan berarti “tercampur baur” dalam satu “frame” atau “adonan”.
Justru, di dalam pluralisme atau kemajemukan, kekhasan yang membedakan hal (agama) yang satu dengan yang lain tetap ada dan tetap dipertahankan sebagaimana mekanisme dan sistem ideologi dan pandangan yang mereka ketahui.
Belakangan ini, Indonesia cukup ramai dilanda persoalan toleransi agama dan ideologi. Banyak intelektual, ulama, dan politisi yang rela menghabiskan waktunya untuk ngopi membicarakan hal ini. Katanya, "Indonesia dalam bentuk republik lahir atas kesepakatan masyarakatnya yang majemuk, tetapi apa-apa diamuk; bangsa yang mencita-citakan adil makmur, tetapi segalanya dari hasil prospek MLM dan disadur."
Memahami pluralisme bukan hanya pada rentetatan dogmatis bahwa masyarakat Indonesia itu majemuk, tetapi perlu dipertegas pada perbedaan dan sejarah panjang ideologi yang ada di belakangnya.
Cak Nur dalam Islam, Doktrin, dan Peradaban mengatakan:
"Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak bole dipahami sekadar kebaikan negatif, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban."
Dalam pahaman penulis, kita bersatu dalam Bhinneka Tunggal Ika dan beradab pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Persoalan pluralisme tidak hanya selesai sesaat setalah menjadi bahan utama dalam diskusi warung kopi maupun sudut-sudut ruang kota megapolitan (studio televisi swasta dan nasional), tetapi bagaimana seduhan utama tersebut dicerna dan mendarah daging.
Tidak hanya sekadar alakadarnya menu penutup makan malam yang setelah disantap (wacana pluralisme) berakhir dan tak meninggalkan rasa di lidah, yang katanya masyarakat modern sangat menjunjung tinggi rasionalitas dan upaya standarisasi ilmiah dalam setiap sendi-sendi kehidupan, pun seolah latah ketika pluralisme menjadi upaya rasionalisasi dalam menjelaskan kejadian atau peristiwa sosial masyarakat.
Sebagai contoh, “fenomena Saiful Jamil”. Kehadiran sosok kontroversial ini dalam kehidupan sosial masyarakat cukup sedikit menjelaskan bagaimana masyarakat modern hari ini, apakah telah dapat menerima keberagaman individu dalam kesatuan masyarakat ataukah tidak. Karena fenomena menjelaskan bagaimana hujatan dan cemoohan menjadi simbol kebenaran dalam ruang-ruang publik.
Dan publik hanya bisa nyiyir karena kita dipaksa kusir dalam keadaan tersebut. Begitu pun ketika kita coba bergesar pada fenomena public service (pelayanan kesehatan), tak jarang petugas kesehatan, saat memberikan pelayanan, rasionalitas tugas fungsi terkadang terabaikan.
Terikat nilai identitas sosial (komunitas profesi, kelompok, etnik, dan keluarga) terkadang menjadi kekuatan untuk mengintervensi keputusan pemberian pelayanan, sehingga yang terjelaskan dari kondisi ini bahwa hal tersebut menjadi rasionalisasi dan jalan kelaziman (kekuatan kebenaran).
Kelemahan kita memang selalu mengadopsi dan mengeklaim apa saja yang sesuai dengan keuntungan pribadi atau kelompok tanpa memikirkan yang abadi. Mirisnya lagi adalah saat kita menggunakannya sebagai dasar untuk menghukum, mencaci, dan menghujat dengan jalan pluralisme.
Toleransi hadir bukan dari rentetan teori, bukan paham yang berasal dari kelompok tertentu, pun dari negara tertentu, tetapi murni berasal dari perut bumi nusantara kita ini, lahir dari rahim ibu pertiwi NKRI, seperti saat kita melawan penjajahan dalam golongan, ras, dan agama bersama-sama mengangkat senjata juga dalam hal menuntaskan kemiskinan dan korupsi.
Plural sejak dalam pikiran mesti termanifestasi ke segala lini kehidupan agar tak ada lagi kelompok yang menggunakan ayat suci untuk membenarkan kepentingannya dengan cara kasar maupun halus. Kita selalu merasa bahwa tameng untuk melakukan sesuatu adalah demokrasi. Padahal dalam penggunaan demokrasi selalu diganggu dengan fundamentalis dan akhirnya pluralisme hanya dapat digunakan oleh fundamentalis dan mayoritas.
Ahmad Wahib pernah mengatakan, “Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan Westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya.”
Dalam persepsi sosial bahwa untuk menjadi plural adalah bagaimana kita menerima keberagaman identitas dalam setiap interaksi dan mempertahankan keberagaman serta multikultural dalam setiap intervensi, atau kita anggap saja ini adalah penegasan dari toleransi.