Di zaman yang serba instan ini, tidak sulit untuk mencari apa yang diinginkan, termasuk berita atau jurnal. Hanya perlu bertanya ke mbah gugel (Norak ya), semuanya akan terpenuhi.
Tapi saat ini, sering kali saya, mungkin juga kalian, melihat kasus penulis mengcopas mentah tulisan penulis lain. Seperti yang baru-baru ini ramai di dunia per-grup-an Facebook (katanya). Penulis yang asli capek berpikir merangkai tulisan, keluar uang untuk beli rokok, lambung rusak karena kopi, eh malah dicomot sama penulis plagiat ini.
Lebih parahnya lagi si penulis plagiat ini lebih terkenal dibanding penulis asli, kalau kata anak zaman sekarang itu, “Sakit, tapi tidak berdarah.”. Ditambah lagi penulis plagiat tidak mau ngaku kalau itu hasil copas. Maksudku, hey, ayolah dewasa sedikit, udah pernah mimpi basah kan akui kesalahanmu, jangan ngeles. Ingat! Kamu manusia bukan bajaj.
Kelakuan seperti ini secara tidak langsung dipengaruhi oleh kebiasaan orang Indonesia yaitu menyontek. Kebiasaan loh ya, bukan budaya. Jadi jangan mengatakan budaya orang Indonesia itu menyontek. Seperti kata Komeng saat berbincang dengan Gofar Hilman di SekutFM, “Budaya itu hanya boleh disebut untuk hal-hal yang baik.” Memangnya nyontek hal yang baik? Ya tidaklah. Walaupun saya juga pernah menyontek. Hehe
Alasan saya menulis ini karena tergelitik oleh orang-orang yang sudah kepergok plagiat tapi tidak mau mengaku, ngeyel, jadinya ya greget toh. Gitu.
Lalu saya mencoba menyelami lembah dan membelah bukti bertanya ke orang yang saya anggap 'pinter' yang biasa saya panggil Bang Jon.
S: Bang, menurutmu apa alasan beberapa penulis melakukan plagiat atau copas tulisan?
J: Ya, mungkin saja si orang itu malas membaca tapi ingin dianggap penulis.
S: Loh, saya jadi teringat perkataan para mahasiswa ketika sedang unjuk rasa, Bang.
J: Apa itu?
S: Kalau malas membaca nanti jadi polisi. Nah, kenapa dia tidak jadi polisi saja kalau malas membaca?
J: Ya, mungkin karena dia tidak punya cukup biaya untuk menyogok supaya jadi polisi.
S: Sebentar dulu, Bang. Kok jadi nyenggol banyak pihak? Misalnya saya tuliskan ini di media sosial bisa dibully saya.
J: Ndaklah, masa kamu takut sama yang seperti itu. Kalau perlu, senggol semua yang kerjanya tidak bener, tapi disenggolnya menggunakan tulisan yo. Seperti kata Kating UNESA “Ospek untuk melatih mental” lah kalo penulis ya ospeknya gini. Kritis dan jangan plagiat!!
S: Waduh, kok jadi nyenggol terus, yasudahlah mending ngudud aja ya, Bang.
Nah, itu hasil perbincangan saya dengan Bang Jon. Sebenarnya saya juga takut untuk menulis seperti ini, takutnya pada tidak seneng, nanti aku disantet. Hiih.
Dari hasil percakapan tadi bisa disimpulkan penulis itu tidak boleh plagiat. Kalau ibarat agama, penulis melakukan plagiat itu sudah masuk neraka Jahannam. Tuh kan nyenggol lagi.
Memang, perkembangan perangkat teknologi dan internet yang cepat makin memudahkan copas dan aksi plagiat, beda dengan zaman dahulu. Menurut Bang Jon, pada zaman dahulu untuk meniru itu sulit, harus dicatat dahulu lalu diketik menggunakan mesin ketik yang suaranya cukup mengganggu di malam hari.
Saran dari Bang Jon untuk penulis plagiat, berhenti memplagiat karya orang lain, dan mencoba belajar dari para senior yang sudah terlebih dahulu merasakan pahit manis dunia kepenulisan. Tidak perlu terburu-buru mempunyai karya yang dikenal banyak orang, apalagi mengcopas tulisan orang lain mentah-mentah.
Lebih baik mempunyai karya sedikit dan tidak terkenal daripada punya banyak karya tapi memplagiat karya orang lain.
Tapi, menurut Bang Jon, kalau memang hanya untuk belajar dan tidak dipublikasikan ke mana pun itu tidak apa-apa. Nah, kebanyakan kasus yang terjadi, kan, sampai dipublikasikan, jadi tidak boleh.
Yasudahlah, tulisan ini mungkin tidak ada manfaatnya, tapi semoga para plagiat bisa terbuka bajunya pikirannya. Kalo belum terbuka, yo tidak apa-apa. Semoga bisa menyadarkan para plagiat bahwa bangga terhadap tulisan sendiri lebih baik daripada bangga karena menjiplak tulisan.
Sudah ya, saya mau lanjut ngobrol sama Mas Jon.