Dua isu utama yang tengah viral di jagad media sosial saat ini adalah sikap represif atas dugaan kembali berdirinya Partai Komunis Indonesia dan penyitaan paksa makanan di warteg ibu Eni oleh satpol PP Pemkot Serang. Bukan sebuah kesengajaan saya memilih dua isu tersebut karena ternyata ada kesamaan fondasi logika di sana. Di samping kesamaan lain, yaitu sama-sama dilakukan oleh aparat negara.

Saya akan memulainya dengan logika pertama: kebenaran pemegang otoritas diyakini sebagai kebenaran rakyat oleh otoritas tersebut.

Lho, saya tidak mengada-ada. Logika di atas adalah fakta yang terjadi saat ini, di mana pemegang otoritas negara dengan seluruh hierarkinya percaya bahwa mereka adalah pembuat kebijakan yang mewakili rakyat. Maka, sebagai konsekuensinya, apapun kebijakan yang diputuskan harus ditaati oleh seluruh rakyat. Karena kebijakan tersebut adalah produk hukum yang bersifat mengikat. Dan menurut mereka, kebijakan itu adalah kemauan rakyat. Apakah benar demikian? Anda bisa setuju, bisa juga tidak.

Sebuah kebijakan yang diambil memang harus terlebih dahulu melihat aspirasi rakyat. Tidak mungkin negara membuat UU, misalnya, yang tidak diinginkan karena justru mempersulit rakyatnya. Sebuah undang-undang dibuat karena ada faktor sebab-akibat. Legislatif dan eksekutif pastilah melihat dan menimbang faktor tersebut. Maka, dari sisi pemegang otoritas, kebijakan terkait dua isu di atas tentu sudah dikaji secara matang sebelum dieksekusi.

Sikap represif berupa penyitaan, pembakaran, atau pembredelan buku yang dianggap subversif adalah buah dari kebijakan tersebut. Walaupun hal ini memang masih debatable. Memang, secara logika, negara harus memiliki payung hukum terlebih dahulu untuk melakukan eksekusi di lapangan. Namun, yang menjadi pertanyaannya, mewakili rakyat yang manakah kebijakan tersebut?

Jika kita mau fair, ideologi-ideologi -yang dibungkus agama- yang menentang Pancasila pun saat ini sudah ada dan makin berkembang. Tapi, buku-bukunya tetap dibiarkan bebas berseliweran di luar sana. Itu untuk logika pertama. Logika kedua: negara ingin melindungi rakyat.

Penyitaan makanan di warteg bu Eni adalah salah satu contoh dari logika tersebut. Pemkot Serang ingin melindungi masyarakat muslim dari godaan-godaan yang membatalkan puasa. Maka, konsekuensi logisnya, warteg harus ditutup karena khawatir masyarakat akan tergoda. Logika ini juga yang dipakai untuk menutup tempat-tempat lain yang dianggap dapat menimbulkan mudharat.

Jika mau fair lagi, mengapa gerai-gerai makanan cepat saji tidak ditutup juga? Toh saya yakin, di dalamnya lebih banyak orang yang sedang menyantap makanan. Oh, atau pemerintah dapat berkilah, mungkin yang ada di sana sedang berhalangan puasa. Lantas, apa bedanya dengan warteg? Toh mungkin yang makan juga sedang berhalangan. 

Dugaan kemunculan kembali PKI juga memakai logika ini. Berdasarkan sejarah panjang -versi orde baru- PKI dan anggotanya adalah orang-orang yang subversif dan keji. Maka, negara harus melindungi rakyatnya jika sejarah tidak ingin terulang kembali. Perlindungan itu ditafsirkan secara sepihak oleh negara, salah satunya dengan cara memberangus semua buah pemikiran yang dianggap kiri. Lagi-lagi pertanyaannya, rakyat yang manakah yang ingin dilindungi negara?

Kedua logika tersebut berakar dari sebuah sifat: ketakutan. Kita selama ini disuguhkan ketakutan-ketakutan yang sebenarnya semu. Takut batal puasa, takut maksiat, takut memberontak, takut jadi pintar, dan takut-takut lainnya. Apakah ketakutan ini harus dipelihara? Apakah kadar keimanan seseorang yang berpuasa diukur dari seberapa banyak ia menutup warteg-warteg agar orang lain tidak tergoda?

Saya jadi teringat cerita seseorang yang mengatakan bahwa derajat pahala seseorang yang berpuasa di lingkungan bermayoritas tidak berpuasa lebih tinggi dibanding seseorang yang berpuasa di lingkungan yang mayoritas berpuasa. Terlepas dari valid tidaknya cerita tersebut, tersirat sebuah makna: bulan Ramadan seharusnya menjadi medan latihan masyarakat muslim untuk melatih kesabaran dan penerimaan terhadap perbedaan. 

Di ujung tulisan ini saya ingin mengakhiri dengan kalimat berikut. Sebagai seorang warga negara, saya meyakini negara menginginkan yang terbaik. Pertanyaannya, yang terbaik untuk siapa?