Sudah lebih dari setengah tahun lamanya berita pandemi Covid-19 menghiasi media massa di berbagai belahan dunia, termasuk di Eropa. Per 25 Juli 2020, kasus Covid-19 sudah menjangkiti hampir 3 juta kasus di Benua Biru dengan Rusia memimpin. Italia dan Spanyol menjadi negara anggota Uni Eropa (UE) dengan kasus Covid-19 tertinggi.

Selain informasi terkait penemuan vaksin virus tersebut, nyaris tidak ada berita menggembirakan bagi negara anggota UE. Menurut Komisi Eropa dan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), tingkat pengangguran di negara anggota UE akan mencapai 9.7% pada akhir tahun akibat resesi. Kabar-kabar negatif tersebut memukul hampir semua pihak, kecuali bagi Andrzej Duda.

Duda baru saja memenangkan kembali pemilihan umum presiden (pilpres) Polandia, mengalahkan pesaing utamanya dari kelompok liberal, Rafał Trzaskowski. Walikota Warsawa sekaligus mantan menteri luar negeri Polandia tersebut dikalahkan dengan selisih tipis, yakni 48.8% berbanding 51.2%. (Walter & Rankin, 2020) 

Sang petahana memenangkan pilpres dengan mengusung isu kesejahteraan keluarga dan anti kelompok lesbian-gay-biseks-transeksual-queer (LGBTQ).

Dengan membawa isu-isu tersebut, mengapa Duda berhasil memenangkan kontestasi? Apa saja implikasi terhadap masa depan politik Polandia serta Uni Eropa?

Strategi Duda

Duda dengan cerdik menggunakan strategi yang berbeda dengan Trzaskowski dalam aspek sosial dan ekonomi.

Pertama, dari aspek sosial, Duda berhasil mengeksploitasi peta kependudukan Polandia. Dilansir dari Badan Pusat Statistik Polandia, pada 2015, sebanyak 94.2% warga negara Polandia berafiliasi dengan institusi keagamaan dengan rincian 92.8% mengaku sebagai pengikut Katolik Roma dan sisanya mengikuti Gereja Ortodox, Saksi Yehuwa, Gereja Protestan, dan lainnya. 

Dengan statistik seperti itu, Polandia dilihat sebagai anomali di daratan Eropa karena sebagian besar negara di benua Eropa, utamanya anggota UE, berpandangan sekuler atau memisahkan urusan politik praktis dengan hal-hal spiritual dan keagamaan. Negara asal Karol Wotjyla atau Paus Yohanes Paulus II ini masih menggunakan Katolik Roma sebagai kendaraan politik. (Froesse & Pfaff, 2005)

Relatif berbeda dengan Gereja Katolik Roma di negara anggota UE lainnya, Partai Hukum dan Keadilan (PiS), partai tempat Duda bernaung, dikenal memiliki hubungan hangat dengan Gereja Katolik di Polandia. Simone Guerra (2016) melalui risetnya yang berjudul Eurosceptic Allies or Euroenthusiast Friends? The Political Discourse of the Roman Catholic Church in Poland mengamini hangatnya hubungan Gereja Katolik dan PiS.

Setidaknya ada empat hal yang membuktikan pernyataan di atas. Pertama, Perdana Menteri Polandia berpidato pada peringatan hari Katolik Roma April 2016 mengenai kritik terhadap ide-ide yang diadopsi sebagian negara anggota UE, secara spesifik, yakni mengenai hukum aborsi. 

Kedua, secara implisit, ide-ide konservatif Gereja Katolik diartikulasikan oleh PiS melalui kebijakan seperti kebijakan intensif bagi anak serta kebijakan yang berlawanan dengan pandangan kelompok LGBTQ.

Ketiga, Presiden Duda beberapa kali mengutip pernyataan dari ayat Alkitab (Scislowska & Gera, 2019). Contohnya ialah pidato kemenangan Duda. Terakhir, sebagian media massa Katolik di Polandia ikut menyuarakan manifesto PiS dan Duda.

Dalam aspek sosial, Andrzej Duda berhasil menggunakan pengaruh Gereja Katolik di Polandia yang kuat sehingga terjadi “hubungan mutualisme” antara Gereja dan PiS. Ditambah, Duda sukses memanfaatkan karakteristik warga Polandia di mana sebagian besar dari mereka masih berafiliasi dengan Gereja Katolik.

Pada aspek ekonomi, sang petahana mengeksploitasi isu kemiskinan pada keluarga, terutama di daerah rural. Duda dalam kampanyenya menjanjikan kebijakan untuk menyejahterakan keluarga yang memiliki anak. 

Undang-undang Keluarga (Family Act) yang direncanakan akan mengalokasikan 500 zloty atau setara sekitar 1.9 juta rupiah per bulan untuk anak tiap keluarga dari pasangan laki-laki dan perempuan. Rencana kebijakan ini juga secara implisit menyentuh aspek sosial karena menghalangi kelompok LGBTQ memperoleh hak insentif anak. (Easton, 2020)

Strategi Duda tersebut mampu menggabungkan aspek ekonomi dan sosial di mana penggabungan itu menguntungkan dia dari aspek politik. Juga, kesamaan dari strategi petahana ini ialah menarget kelompok-kelompok menengah ke bawah yang bermukim di daerah pedesaan.

Sementara, pesaingnya luput dalam menganalisis strategi Duda sehingga Trzaskowski hanya unggul di perkotaan. Ditambah, Duda melancarkan kampanyenya di daerah rural secara “senyap” sehingga kubu Trzaskowski salah melakukan perhitungan.

Pasca Pemilu

Mendatang, kondisi politik domestik Polandia kemungkinan akan relatif bergejolak mengingat Duda hanya menang dengan selisih tipis, tak lebih dari 5%. Secara implisit, hasil pemilu tersebut mengindikasikan keseimbangan antara masyarakat pendukung ide-ide konservatif dan progresif.

Bila ingin situasi politik stabil, Duda perlu mengakomodasi kepentingan kelompok liberal atau memecah dukungan elektoral terhadap pendukung Trzaskowski. Ewa Marchinak, seorang ahli politik dari Universitas Warsawa, mengatakan bahwa secara statistik memang Duda dan PiS menang, namun dari aspek sosial dan psikologis, Duda belum meraih kemenangan (Chadwick, 2020). 

Kegagalan Duda dalam merangkul oposisi dan pendukungnya bakal menyulitkan dirinya karena tuduhan anti-demokrasi terhadap dirinya bisa menjadi senjata ampuh untuk menghalangi langkah politik Duda. 

Petahana dituduh sengaja memaksa pemilu segera dilaksanakan, sementara pandemi Covid-19 masih berlangsung. Konsekuensi dari hal tersebut ialah tidak semua warga negara Polandia dapat menyumbangkan suaranya. (Ciobanu, 2020)

Dalam tataran regional, kembalinya Duda dalam kursi nomor satu di Polandia mengharuskan UE dan pendukungnya berpikir keras. Pasalnya, rezim kepemimpinan Duda yang pertama cukup keras dalam mengkritik kebijakan UE. 

Baru-baru ini, Polandia bersama blok penolak hibah Covid yakni Belanda, Austria, Denmark, Swedia, Finlandia, dan Hungaria mampu berdebat alot dengan UE beserta negara-negara blok pendukung. 

Meskipun pada akhirnya keputusan bersama berhasil dikeluarkan yaitu UE bersedia mengalokasikan 750 miliar Euro dengan rincian 390 miliar Euro berbentuk hibah dan sisanya berupa pinjaman, permasalahan stimulus Covid ini belum berakhir. 

UE belum menetapkan detail penagihan pinjaman di mana hal ini berpotensi menciptakan negosiasi alot antar-blok. Jika perdebatan gagal dikelola, hal ini berpotensi memecah UE yang pada akhirnya mengancam eksistensi UE itu sendiri.

Kesimpulannya, Andrzej Duda sukses memaksimalkan potensi-potensi yang terdapat pada kantong suara di daerah rural serta menyelaraskannya dengan pandangan konservatif. Sedangkan, agar persatuan terjaga, UE perlu mengintensifkan konsep saling bergantung (complex interdependence). 

Dengan negara anggota UE saling bergantung satu sama lain, UE diharapkan tetap menjadi wadah bagi mereka untuk menyalurkan kepentingannya dan Polandia di bawah rezim Duda, sebagai salah satu negara yang skeptis terhadap UE, mengedepankan persatuan Eropa terlepas dari isu apa pun yang menghadang.