Beberapa hari yang lalu, ulama asal Aceh bersilahturahmi dengan Jokowi. Meski bertajuk silahturahmi, namun kita semua paham betapa penting simbol massa di tahun politik. Maknanya ada pembicaraan politik di istana negara dan output pertemuan akhirnya memunculkan polemik di ruang publik.

Suara ulama pasti didengar umat, meski tak sepenuhnya diikuti. Sebelumnya ulama-ulama juga pernah bermusyawarah dan sepakat mendukung Prabowo. Dua gerakan politik yang dilakukan ulama tersebut merupakan hal yang patut disyukuri. Saya riang ketika menyaksikan ulama kembali berpolitik. 

Pilpres 2019 menjadi panggung ulama. Ketika politik diisi personal berilmu dan beriman, maka politik mendapat 'angin segar'; udara yang kotor bisa sedikit bersih meski tak benar-benar bersih. 

Namun kita patut berharap banyak dengan hadirnya ulama di arena politik. Integritas ulama akan teruji ketika berhadapan dengan kepentingan politik.

Selama ini ulama hanya berada di luar arena. Tak lebih sebagai penasihat dan tentu saja beda ketika ulama langsung berada di lapangan. Tentu saja belum semua ulama nimbrung dalam kontestasi Pilpres 2019. Setidaknya kuantitas ulama yang ikut meramaikan pilpres kali ini lebih banyak dibandingkan 2014. 

Semua bermula dari Pilkada DKI Jakarta. Kedua kubu kian menyadari pentingnya ulama dilibatkan dalam politik. Ulama mampu menggerakkan massa lebih banyak ketimbang politisi mana pun di negeri ini. Pembuktiannya saat aksi umat Islam dan Pilkada DKI Jakarta. Isu agama mampu mengalahkan isu apa pun.

Ada yang menganggap kemunduran demokrasi karena agama dijadikan isu politik. Namun saya malah menganggap sebaliknya. Isu agama mampu mengajak ulama berpartisipasi aktif dalam politik. Isu agama sukses mendinamiskan para tokoh agama. Ulama harus berperan lebih aktif ketimbang hanya di mimbar-mimbar.

Apa yang ulama ajarkan di pengajian harus diimplementasikan. Ulama harus menjadi teladan dalam hal tersebut. Misalnya ulama mengajarkan kejujuran di dalam ceramah-ceramahnya. Ulama harus mampu mengimplementasikan apa yang diajarkan tersebut ketika memasuki ranah politik.

Nada sinis datang, katanya ulama akan rusak bila memasuki dunia politik. Justru kita harus optimis dengan kehadiran ulama di ranah politik. Ulama diharapkan mampu menjadi pembersih akal bulus, licik, dengki, yang selama ini lazim di dunia politik. Ketakutan ulama akan terkontaminasi 'racun' politik hanyalah ketakutan yang tak logis.

Mereka yang takut ulama berpolitik karena termakan isu dari politisi kotor. Mereka sengaja menghembuskan isu itu agar dikonsumsi publik. Mereka tak ingin dunia politik bersih, mereka sudah nyaman dengan dunia politik yang kotor. Lalu mereka memberi gambaran-gambaran dampak negatif ulama berpolitik. 

Biasanya propraganda itu didukung dengan oknum ulama yang terlibat korupsi. Melalui oknum tersebut, propaganda ulama bisa terkontaminasi oleh politik menjadi benar. Lalu umat ikut-ikutan menghakimi ulama yang terjun ke dunia politik. Digambarkan ulama yang berpolitik sebagai haus kekuasaan dan konotasi negatif lainnya.

Sejauh ini, propaganda tersebut sukses mengakar di kepala kebanyakan rakyat Indonesia. Dan ulama berpolitik akan mendapat bully paket khusus bahkan 'bonus' fitnah. Wajar bila sampai detik ini masih banyak ulama yang tidak berani terang-terangan menyatakan dukungan. Maklum, hujatan netizen bisa membuat keluarga ulama tak tenang.

Ulama tentu saja sudah kebal dengan hujatan; kalau tak kebal, berarti belum bisa dikatakan ulama. Makin bertakwa seseorang, makin berat cobaan. 

Demikian halnya dengan para ulama. Sumbangsih ulama di masa lalu memang tak terhingga, namun bagaimana dengan ulama masa kini? Tantangan kehidupan yang lebih besar memang membutuhkan ulama yang 'canggih'.

Ulama yang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur. Polarisasi pendukung capres harus kembali dipersatukan, dan itu hanya bisa dilakukan oleh ulama. 

Kita harus bahagia dengan adanya ulama di kubu Jokowi maupun Prabowo. Mengapa? Jawabannya sederhana, mereka nantinya akan mengawal siapa pun yang terpilih.

Ulama akan selalu didengar umat. Siapa pun presidennya akan butuh ulama. Siapa pun presidennya akan patuh pada ulama. Meski masih diragukan, namun mereka tidak bisa anggap sepele ulama.

Buktinya, ketika kita mendengarkan pengakuan Mahfud MD terkait pergantian cawapres Jokowi, ada peran Ketua Umum PB NU dalam proses penunjukkan Ma'ruf Amin. Itu membuktikan bahwa ulama memiliki pengaruh dalam pengambilan kebijakan. 

Karenanya, dengan bergabungnya ulama dalam tim pemenangan Jokowi maupun Prabowo, maka pemerintahan ke depan bakal dijaga ulama. Peran ulama dalam pemerintahan sangatlah dibutuhkan. Moralitas politisi yang menuju titik nadir butuh pengawasan langsung.

Harapannya, kehadiran ulama dapat mencegah angka korupsi. Pelaku korupsi akan merasa terganggu bahkan membatalkan niatnya. Kalaupun ada oknum ulama yang kemudian korup, setidaknya kita tahu mana ulama sejati dan mana ulama-ulamaan.

Politik akan menjadi barometer ulama yang sesungguhnya. Kalau ulama di luar arena dan tidak korupsi, itu biasa saja. Namun bila ulama tidak korupsi padahal berada dalam lingkaran kekuasaan, itu baru ulama.

Karenanya, Pilpres 2019 merupakan kemenangan ulama, siapa pun nanti yang bakal terpilih.