Perlahan isu Pilkada Jakarta mulai bergeser dari masalah keseharian warga seperti banjir, kemacetan, dan penggusuran, ke arah keterwakilan sosiologi (etnis, Agama, isu kedaerahan, dan kelas sosial). Entah siapa yang memulai isu itu? Namun, bila tidak ada usaha mengerem isu itu, proses demokrasi akan mengalami regresi.

Munculnya isu-isu agama dan etnis dalam setiap hajatan pemilu atau pilkada, lebih disebabkan bangunan asumsi yang masih kuat mengakar di kalangan politisi, yang meyakini seseorang akan terpilih dalam pemilu dan Pilkada dari unsur sosiologis dominan dalam satu wilayah. Seolah-olah faktor sosiologis itu menjadi kutukan bagi mereka yang minoritas.

Sejatinya, pendekatan sosiologis (etnis, agama, kelas sosial, dan kedaerahan) yang selama ini dianggap sebagai faktor utama dalam memahami perilaku pemilih, telah terbantahkan oleh Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, dalam buku: Kuasa Rakyat (Mizan-Publika, 2012).

Buku yang ditulis dari rangkaian penelitian bertahun-tahun tentang perilaku pemilih Indonesia, menemukan fakta tentang perilaku pemilih. Bahwa, bukan hanya karena alasan sosiologis semata, tetapi perilaku pemilih dalam memilih juga sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis (identitas/kedekatan partai dan personal tokoh) dan alasan rasional (evaluasi pemilih terhadap kondisi ekonomi-politik dan kinerja pemerintahan)

Temuan perilaku pemilih yang tersaji dalam buku Kuasa Rakyat itu, nampaknya masih butuh waktu untuk menjadi kesepahaman kolektif kita dalam memahami perilaku pemilih. Kita terlalu terbiasa bermain-main isu agama dan etnis, terbiasa dengan isu yang murah-meriah, selanjutnya menjadi kaum puritan yang hanya bersandar pada takdir ilahi dan mitos sosiologis.

Sudah banyak contoh pilkada yang menegaskan isu-isu rasial dan atau aliran gagal menjadi sumber pemikat pemilih, misalnya: kemenangan Ahok di pilkada Belitung (2005 dan 2009); Kemenangan abah’ Anton di Malang, tahun 2010; Koh Hanny di Bitung, tahun 2005; Cornelis di Kalimantan Barat, 2007; FX Rudy di Kota Solo, 2015. Dan masih banyak lagi contoh lainnya yang saya tidak catat.

Bagi mereka yang terbiasa dengan bermain-main dengan isu agama, tanpa melakukan verifikasi lebih dalam akan mengatakan kemenangan itu lebih disebabkan karena minimnya persatuan pemilih muslim, menuduh kurang kesadaran khilafah, dan juga menganggap pemilih kristen lebih ‘disiplin’ dalam urusan memilih pemimpin

Apa iya, analisisnya seperti itu? atau karena ada faktor lain yang menyebabkan? Ada baiknya kita melihat Pilkada yang mayoritasnya bukan muslim. Pilkada Kota Bitung di Tahun 2005, pemilihnya mayoritas Kristen-Protestan, taat beribadah, struktur organisasi keagamaanya rapi dan sangat kuat, dan juga di tunjang kekuatan etnis.

Penduduk Kota Bitung tahun 2005, terdiri dari: Sangihe (38%), Minahasa (35%), selanjutnya Gorontalo (15%), dan sisanya Bugis-makasar, Jawa dan Tionghoa. Sementara dari sisi agama: Protestan (60%), Islam (33%), Katolik (4%); sisanya Budha dan Konghocu. Sosiokultural masyarakatnya lebih dipengaruhi budaya Sangihe.

Pilkadanya dilakukan di bulan Juli tahun 2005, dan diikuti empat pasangan. Namun, yang menonjol hanya Milton Kansil dan Koh Hany (Hanny Sondakh). Milton Kansil adalah incumbent, di dukung dua partai besar (PDIP dan PG). Ia juga mewakili etnis mayoritas (etnis Sangihe) dan juga dari agama besar,Kristen Protestan. Sedangkan Hanny dari minoritas, dari etnis Tionghoa dan beragama Katolik.

Bila mengunakan pendekatan sosiologi seharusnya Milton Kansil sebagai pemenang. Namun, terjadi justru sebaliknya, Koh Hanny mampu mengalahkan Milton Kansil. Apa sebab Hanny menjadi pemenang?

Sepengetahuan saya, jauh sebelum pilkada Langsung diberlakukan, masih di jaman Orde Baru, Hanny telah merebut simpati warga Kota Bitung. Ia telah banyak membantu warga untuk kebutuhan sosial-kemasyarakatan. Ia membangun modal sosial, tanpa pernah berpikir akan menjadi politisi karena masih tabu dan ditabukan bagi etnis Tionghoa.

Koh Hanny tidak seperti politisi atau parpol yang kerap kita saksikan di Jakarta, yang hadir membantu warga sembari membawa atribut kebesaran partai, menjadi santa clause dadakan. Ia juga tidak seperti politisi yang tiba-tiba rajin jum’at-an keliling dan mengeksploitasi agama, seolah-seolah kiamat sudah dekat meski yang dekat itu Pilkada.

Hanny hanya menjalankan kodratnya sebagai mahluk sosial yang harus menjaga relasi sosial. Ia hanya mengikuti petuah leluhur untuk menjaga keseimbangan Yin dan Yang, sekedar menjaga keseimbangan alam.

Modal sosial yang kuat itu yang ia bangun bertahun-tahun, menjadi tumpuan utama untuk mengalahkan Incumbent. Ia telah meruntuhkan mitos sosiologi yang banyak menakuti minoritas di suatu wilayah.

Saat itu, isu etnis dan agama begitu kencang dimainkan. Tapi toh, pemilih kota Bitung keluar dari batasan-batasan sosiologi yang membelunggunya, mengevaluasi pemimpinnya dengan alasan yang rasional, menjatuhkan pilihan karena alasan berharap pemimpin yang lebih baik.

Membangun modal sosial bukanlah perkara gampang. Harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan dirawat dengan tulus. Untuk urusan ini, masih merupakan hal yang ‘berat’ bagi politisi kita. Politisi kita sudah terbiasa dengan hal-hal instan dan dimanjakan superioritas sosiologis itu.

Saat ini, meskipun Pilkada Jakarta masih setahun lagi, tetapi ruang hidup kita telah disesaki dengan isu-isu yang mengedepankan etnis dan agama. Kenapa? Karena hanya itu yang dimiliki lawan-lawan Ahok.

Mereka tidak memiliki modal sosial yang kuat, politisi ‘tiba hari tiba akal’, dan tidak punya konsep tentang Jakarta. Mereka hanya berharap ‘tuah’ Sosiologis. Sialnya, Ahok tidak memiliki itu, dia hanya memiliki niat baik dan konsep jelas tentang Jakarta.