Tipe suami idaman kamu seperti apa? Begitulah kiranya kalimat yang sedang trending akhir-akhir ini di media sosial. Kalimat yang muncul itu berasal dari salah satu selebritis yang memutuskan untuk ta’aruf-an dan sudah melangsungkan pernikahannya. Eh kondisikan, nggak usah baper gitu, Zubaedah.
Tentu kita telah jelas mengetahui bahwa istilah ta’aruf selalu dipandang baik dan islami, berbeda level dengan istilah pacaran. Betapa banyak orang yang berpandangan bahwa pacaran itu haram dan yang halal adalah ta’aruf.
Padahal pacaran dan ta’aruf hanyalah sebuah istilah yang keduanya sama-sama bisa didefinisikan secara bebas oleh khalayak. Sebagaimana kata ayahanda Yunahar Ilyas di Bagaimana Islam Memandang Pacaran, kita tidak bisa langsung menghakimi bahwa pacaran itu halal/haram, boleh/tidak sebelum mendefinisikan dahulu apa yang dimaksud pacaran.
Wikipedia mendefinisikan pacaran sebagai proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju pernikahan. Muhammadiyah dalam fatwa tarjihnya, Hukum Pacaran dalam Islam, mendefinisikan masa pacaran sebagai masa penjajakan untuk memilih calon suami atau istri sebelum menetapkan keputusan untuk melakukan peminangan.
Jika kedua definisi itu diterima, maka istilah pacaran tak berbeda dengan istilah ta’aruf yang selama ini kita yakini lebih islami. Artinya, kalau kita menerima definisi itu, pacaran bukanlah sesuatu yang haram, melainkan justru malah dianjurkan. Namun jika ada definisi yang berbeda, sudah tentu akan melahirkan hukum yang berbeda.
Jadi apakah pacaran itu haram? Bisa iya bisa tidak, tergantung pada definisi yang dijadikan acuan. Meskipun begitu, tetap saja istilah ta’aruf lebih laris dan menjamur di lingkaran kawula hijrah muda masa kini. Apalagi saat ini istilah pacaran sudah banyak dicap negatif sampai-sampai muncul hastag #IndonesiaTanpaPacaran. Hmm.. kasian sekali.
Mau memilih menggunakan istilah pacaran atau ta’aruf silakan saja, masing-masing kita akan memiliki konsep sendiri dalam mendefinisikan. Meskipun begitu, keduanya sama-sama dilakukan dengan niat ingin mengenal satu sama lain agar lebih yakin dalam memilih pasangan. Poinnya adalah keduanya digunakan bagi mereka yang sudah memiliki mental yang cukup stabil dan dewasa.
Adapun untuk mereka yang masih labil seperti anak seusia SMP, pun tak semestinya orang tua melarang anaknya bergaul dengan lawan jenisnya. Justru orang tua perlu tahu siapa teman-teman dekatnya dan selalu mengedukasi secara damai bagaimana menjalin relasi yang sehat dengan teman-temannya, termasuk teman lawan jenisnya itu.
Ya kali orangtua langsung bilang “kamu ngga boleh dekat-dekat sama dia, dosa” kan nggak sans banget jadinya. Jika ada framing kasus pacaran yang menimbulkan pegang-pegangan, peluk-pelukan, bahkan sampai berzina, perilaku itulah yang harus dibenci, bukan istilah pacarannya. Maka memang penting sekali edukasi tentang relasi yang sehat untuk anak muda dan dibarengi dengan penguatan karakter
Kembali lagi, bagi saya pacaran bisa menjadi relasi yang sehat jika antara perempuan dan laki-laki itu memiliki komitmen tentang niat untuk saling mengenal dan memahami, saling ngobrol dan berbagi perspektif, saling mendukung aktivitas dan cita-cita tanpa ada paksaan dan tekanan fisik dan batin. Tentunya dalam prosesnya tidak melanggar norma dan hukum.
Sebab tak bisa dipungkiri, dalam pernikahan memerlukan komunikasi dan teknik pemecahan masalah kehidupan yang nyambung. Pernikahan membutuhkan penerimaan tentang semua hal buruk pasangan. Bukankah kita percaya bahwa tak ada pasangan yang benar-benar cocok, yang ada adalah pasangan yang saling menerima?
Jika kita memandang ta’aruf itu prosesnya terlalu cepat, kemungkinan masih banyak yang disembunyikan, kemungkinan setelah menikah akan banyak kejutan, dan caranya terlalu kaku, maka istilah pacaran bisa dipilih sekalipun mendapat stigma buruk dari kawula hijrah.
Entah mau pacaran atau ta’arufan, yang menjadi substansi dari istilah itu adalah saya mengajak agar masa saling mengenal itu bisa berkualitas.
Relasi yang sehat dan berkualitas harus membuat keduanya sehat secara fisik dan psikis. Keduanya sama-sama bertumbuh dengan potensinya masing-masing. Seru kan jadinya. Kadang kita terlalu memandang pacaran sebagai sesuatu yang haram, dosa, mendekati zina, lalu menutup mata tak mau meluaskan pandangan. Pacaran ya dosa, titik nggak pake koma. Yaampun, Maemunah.. please deh ah.
Kalau ada yang masih bilang pacaran isinya maksiat terus, duh terlalu cepat menyimpulkan karena itu tadi hanya soal istilah. Kita hanya belum tahu saja, bisa jadi mereka yang berniat pacaran itu hanya menyempatkan ngobrol sekali sebulan, mereka sibuk mengejar target dan aktivitas pribadi masing-masing. Kan, siapa tahu?
Relasi itu, jika isinya hanya soal kangen-kangenan, udah makan belum, lagi apa, sayang-sayangan, bukanlah relasi yang berkualitas. Namun jika isinya saling berbagi perspektif dan sudut pandang, saling ngobrol dan diskusi, saling mengetahui kebiasaan dan karakter, saling menemukan kesukaan dan keburukan, saling memotivasi tentang proyeksi hidup masing-masing itu akan jauh lebih berkualitas.
Kalaupun di tengah proses itu salah satu atau keduanya menemukan ketidakcocokan dan nggak nyambung, sah-sah saja dan tidak apa-apa untuk tidak melanjutkan masa penjajakan itu. Artinya, relasi yang berkualitas tidak menimbulkan paksaan atau tekanan batin maupun fisik.
Jadi, kamu pilih pacaran atau taa’rufan?
Apapun pilihan itu, kita perlu menjadi manusia yang bertindak dan memutuskan sesuatu dengan penuh kesadaran nalar dan naluri, bukan sekadar ikut-ikutan atau rasa takut. Selain itu berkeyakinanlah dan bertanggung jawab atas semua pilihan yang kita buat.