Entah mengapa, usai pidato Jokowi tentang Game of Thrones di Annual Meetings 2018, tiba-tiba ingatan saya langsung kepada Bung Karno. Saya teringat kepada sosok besar bangsa ini yang pernah berpidato di depan forum PBB tahun 1960 dan mengenalkan Pancasila kepada dunia dengan begitu bangga dan percaya diri. 

Pidato Jokowi di Nusa Dua, Bali, itu memang bukan tentang Pancasila. Namun demikian, pidato yang mendapat standing ovation para delegasi dari 189 negara hingga dua kali itu sesungguhnya juga ditujukan kepada dunia.

Jokowi tidak hanya tengah berbicara kepada para delegasi dengan pidato itu, namun menyampaikan pesan kepada dunia, utamanya kepada dua negara besar saat ini: AS dan Tiongkok—dua negara yang kini tengah berada dalam situasi perang dagang. Perang dagang yang telah menyeret belahan dunia lainnya dalam ketidakpastian ekonomi, terimbas pertarungan kedua negara tersebut. Inilah yang kemudian dianalogikan oleh Jokowi lewat serial Game of Thrones.

Serial yang ditayangkan HBO sejak tahun 2011 itu begitu tepat diambil Jokowi sebagai analogi dari situasi ketidakpastian ekonomi global saat ini. IMF dan Bank Dunia, dalam laporannya, baik tentang economy outlook maupun sektor-sektor lainnya seperti fiskal dan moneter, menyebut dunia tetap dalam ketidakpastian. 

Meski ekonomi dunia masih bisa tumbuh hingga 3,7 persen, namun mereka mengajak semua untuk tetap waspada. Dan perang dagang antara AS dengan Tiongkok selalu menajdi faktor determinan dari laporan-laporan yang mereka sampaikan.

Dalam pidato itu, Jokowi mengingatkan kepada semua pihak, utamanya dua negara itu bahwa peperangan tidak akan membawa apa-apa kecuali kehancuran dunia. "Buat apa menang jika dunia dalam keadaan porak poranda," begitu salah satu kutipan yang disampaikannya.

Situasi ketidakpastian global tidak hanya terjadi di wilayah ekonomi, namun juga teknologi dan lingkungan. Disrupsi yang disebabkan teknologi telah membuat banyak negara kelabakan menghadapi perubahan yang terjadi. Perubahan iklim dan sampah plastik yang merajalela di semua lautan di penjuru dunia juga kian mengancam keberlangsungan nasib umat manusia di muka bumi.

Dengan mengutip intensitas badai dan topan di Amerika hingga Filipina, dia menekankan bahwa ancaman karena perubahan iklim itu nyata adanya. Dia juga menyebut tentang sampah plastik telah menjadi isu dunia karena telah mencemari pasokan makanan di banyak tempat. Stunting atau gizi buruk ternyata banyak dipengaruhi oleh sampah plastik ini.

Tidak hanya itu, dengan pidatonya, Jokowi juga tengah mewakili negara-negara berkembang yang sebagian besar berada di Asia, Afrika, dan kawasan Amerika Latin dan Selatan. Negara-negara yang kini disebut dengan emerging market guna menyuarakan aspirasi mereka tentang keadilan dunia. Komitmen solidaritas terhadap benua-benua itu pun tersampaikan dalam pidato itu.

Mewakili mereka, Jokowi menyerukan kepada dunia bahwa saat ini bukan saatnya berkompetisi dan terus mempertahankan rivalitas. Yang dibutuhkan oleh dunia saat ini adalah bergandengan tangan untuk melakukan kerja sama; kerja sama demi kebaikan semua penduduk bumi dan warga dunia.

Secara tidak langsung, apa yang disampaikan oleh Jokowi adalah manifestasi dari amanat konstitusi, yakni upaya mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Politik bebas aktif pun dengan elegan dijalankan Jokowi lewat pidato itu. Ketika mengingatkan semua pihak, dia telah menjalankan prinsip kebebasan sebagai sebuah bangsa yang tidak tergantung apalagi tunduk kepada bangsa lainnya. Lewat seruannya kepada dunia, dia telah berpartisipasi aktif mengupayakan terwujudnya kehidupan dunia yang berkeadilan. Dan semua itu disampaikannya dengan penuh kenyamanan dan tanpa rasa kikuk.

Lebih dari itu, Jokowi telah membuat bangsa ini kembali bangga karena telah menunjukkan kepada dunia tentang keberanian bersikap di tengah kemelut dunia yang terjadi. Sama seperti Bung Karno dulu yang berani bersikap untuk tidak berpihak kepada dua blok besar kala itu dan menyatakan solidaritasnya terhadap negara-negara di Asia dan Afrika—kawasan di mana banyak negaranya masih belia waktu itu.

Sama seperti Bung Karno yang menunjukkan kharismanya di hadapan delegasi Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, tidak terbantahkan pula bahwa Jokowi pun mampu melakukan hal yang sama, meski dengan gaya yang berbeda: Bung Karno menyajikan dirinya sebagai tokoh besar dengan kemampuan orasi yang hampir tiada tanding, sementara Jokowi dengan gaya sederhana dan apa adanya.

Standing ovation hingga dua kali itu, apalagi usai pidato disampaikan, gemuruh tepuk tangan yang berlangsung begitu terasa hingga ke sanubari siapa pun yang mendengarkannya. Dengan pidato yang sederhana namun memukau itu, dia telah membelalakkan kesadaran banyak orang. Tidak hanya bagi yang ada di negeri ini, tidak hanya terhadap para delegasi yang hadir di acara itu, namun juga kepada semua warga dunia bahwa tepatlah apa yang dianalogikan oleh Jokowi.

Dunia tidak akan lebih baik jika hanya diisi dengan kompetisi dan upaya saling mengalahkan. Dunia yang semacam itu hanya akan melenakan mereka yang terlibat di dalamnya terhadap ancaman yang menganga di depan mata. Ancaman yang disebutnya dengan Evil Winter: sosok jahat dalam serial yang kabarnya akan selesai tahun depan itu.

Jika kerja sama dan gotong royong bisa kita lakukan bersama, mengapa kita harus terus memaksakan diri untuk selalu menonjolkan ego kita? Begitu kira-kira pesan inti yang disampaikan Jokowi.

Apalagi, saat dia mengajak kepada semua yang hadir untuk bisa menyerap energi positif dan inspirasi dari Pulau Dewata, tempat dilangsungkannya acara, itulah sesungguhnya puncak diplomasi Jokowi kepada dunia. Dengan rangkaian kalimat yang dikemas di penghujung pidatonya itu seolah dia ingin mengatakan: inilah bangsa Indonesia, bangsa yang memiliki kekayaan nilai hidup yang bisa menjadi jawaban dari problem dunia saat ini.