Di antara sekian banyak mukjizat yang dialami Rasulullah Saw selama menjabat posisi kenabian, mukjizat yang paling menonjol dan dikenang-kenang oleh umat Islam—setelah al-Qur'an, menurut saya, adalah peristiwa Isra dan Mi'raj: Isra berupa perjalanan Rasulullah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, Mi'raj berupa perjalanan Rasulullah—dari Masjidil Aqsha—menuju Sidratul Muntaha.

Peristiwa ajaib ini, terjadi ketika Rasulullah pulang kembali ke Makkah, setelah berjuang—mati-matian—menyampaikan dakwah di negeri Taif. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, Rasul pun di sana malah dihalau, bahkan diserang abis-abisan. Kedurhakaan kaum Taif berhasil membuat para malaikat pun ikut geram melihat penyiksaan yang dilakukan kepada Rasulullah itu.

Peristiwa penyerangan Nabi di kota Taif, setelahnya mendapat kabar baik. Undangan khusus dari Allah untuk beranjak menuju Sidratul Muntaha, resmi disampaikan kepada Nabi. Dan inilah, berupa pertanda nyata bagi Nabi—dan juga kita sebagai pengikutnya: bahwa Allah sekalipun tidak pernah meninggalkan Rasulullah. Meskipun ia kerap ditimpa kesusahan yang bertubi-tubi.

Penyerangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh penduduk Taif itu, bukan berarti merupakan tanda kebencian dan ketidakpedulian Tuhan kepada Nabi. Melainkan, adalah ia berupa ujian, yakni: Seberapa kuatkah Rasulullah—di saat—menghadapi tantangan seberat itu. 

Dan kita lihat, setelah Rasulullah berhasil melewati lika-liku ujian itu, Allah—secara langsung—mengundang Nabi Muhammad ke kehadirat Sidratul Muntaha. Maka apalagi tandanya ini, jika bukan pertanda sayang, dan pertanda cinta yang luar biasa dari Allah Swt.

Perjalanan Rasulullah dapat dipastikan berupa perjalanan ruhani sekaligus jasmaninya. Bukan perjalanan mimpi apatah lagi khayalan semata. Itu mukjizat yang benar-benar terjadi dalam waktu satu malam. Sekali lagi, benar-benar terjadi!

Jujur, jika dipikir-pikir lewat akal, peristiwa itu seolah-olah mustahil jika terjadi. Terkesan sangat nihil. Dan wajar juga rasanya, jika penduduk Makkah ketika mendengar berita itu spontan langsung menolak, menganggap aneh, bahkan mengolok-olok dan menertawakan Rasulullah. Namun kita, sebagai insan yang dihiasi keimanan, hal semisal itu tentu takkan dianggap mustahil; jika seorang Rasul lah yang mengabarkan.

Di tulisan ini, saya tidak akan menceritakan panjang lebar tentang bagaimana peristiwa Isra Mi'raj ini terjadi. Karena, cerita itu sudah cukup klise yang kerap kita dengarkan, bahkan kita ulang-ulang di setiap tahunnya. 

Di sini, saya lebih tertarik untuk mencongkel pesan-pesan tersirat yang terjadi di peristiwa tersebut. Karena menurut saya, jika kita terus menggali lebih dalam, sebenarnya akan banyak sekali pesan tersembunyi yang bakal kita temukan. Apalagi pada peristiwa mukjizat sebesar ini.

Pesan tersirat pertama untuk kita, adalah pesan dari Allah: bahwa Rasulullah merupakan insan teramat mulia di sisi-Nya. Sangat-sangat mulia. Apa buktinya? Gini. Anda pernah dengar, tentang Nabi Musa yang ketika di bukit Tursina, yang sebelum berbicara, Nabi Musa dimintai Allah untuk melepaskan sandalnya terlebih dahulu? Jika pernah, oke, kita stop dulu sampai di situ.

Peristiwa ajaib yang mengantarkan Nabi ke Sidratul Muntaha, itu berhasil tercapai berkat bimbingan tertuntun dari malaikat Jibril. Namun sayangnya, tatkala hendak sampai ke Sidratul Muntaha itu, malaikat Jibril diminta untuk tidak ikutan masuk—jika enggan berkata dilarang. 

Artinya, hanya Nabi Muhammad lah yang diizinkan masuk untuk menapakkan kaki di Sidratul Muntaha. Dan tentu mendengar cerita itu, mungkin sekiranya muncul sedikit pertanyaan nakal di pikiran kita: Apakah sandal Nabi Muhammad lebih mulia ketimbang malaikat Jibril?

Tentu pertanyaan semisal ini adalah pertanyaan yang nggak perlu dijawab. Hanya saja, ini menunjukkan betul-betul bahwa Nabi Muhammad itu adalah Nabi yang mulia. Sangat-sangat dihargai oleh Allah Swt. 

Jika sandal Nabi Musa saja diminta untuk dilepaskan sesaat sebelum berbicara di hadapan Allah, maka bagaimana mungkin Nabi Muhammad mendatangi kekuasaan Allah tanpa dimintai syarat apa-apa terlebih dahulu.

Ini tak lain tak bukan, sekali lagi, berupa pesan bagi kita, bahwa Allah sangat mencintai Rasulullah. Suwwwangat cinta. Ini pula lah artinya, jika kita ingin mendapatkan cintanya Allah, maka dekatilah sosok yang dicintai-Nya. Senantiasa lah 'tuk bersalawat dan mengamalkan sunnah Nabi Muhammad Saw.

Kedua, di dalam surat al-Isra ayat pertama, disebutkan bahwa Allah menggelari Nabi Muhammad dengan kalimat "bi'abdihi". Hamba Allah. Di sini, juga merupakan pesan tersirat lagi untuk kita, bahwa derajat tertinggi seseorang di mata Allah itu, adalah seseorang yang bergelar 'hamba'.

Hanya saja, jangan kira gampang buat bisa mendapatkan gelar 'hamba' dari Allah. Itu butuh perjuangan besar. Pengorbanan. Kekhusyukan dan kedekatan. Karena itulah sebabnya di dalam surat al-Fajr ayat 29, Allah berkata "Masuklah kamu ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Lalu masuklah kamu ke dalam surga-Ku".

Membuktikan bahwa ketika kita telah dicap menjadi seorang hamba yang betul-betul 'menghamba' kepadaNya, maka di saat itulah kita menempuh derajat tertinggi di pandangan-Nya. Sekali lagi, derajat tertinggi! Sebab itu, Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "Kafaani 'izzan an takuuna lii rabban, wa kafaani fakhran an akuuna laka abdan (Sungguh, aku merasa sangat perkasa ketika Allah yang menjadi tuhanku, dan aku pun—merasa—begitu bangga saat ditakdirkan menjadi seorang hamba-Mu).

Selanjutnya, kita sama-sama tahu bahwa waktu terjadinya Isra Mi'raj, adalah malam. Ini pun turut menyampaikan pesan, bahwa jika Anda ingin mendapatkan tempat tertinggi dan maqom terdahsyat di hadapan Tuhan, maka raihlah itu di waktu malam. 

Di dalam surat al-Isra ayat 79 pun juga dijelaskan, bahwa waktu menunaikan salat tahajjud adalah malam. Dan dengan salat itulah, membuat kita akan mendapatkan sesuatu yang disebut 'Maqoman Mahmudan'. Kedudukan terpuji, tertinggi, terdahsyat.

Setelahnya, kalimat 'dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha',  juga berupa pesan unik teruntuk kita. Apa itu? Nah. Coba perhatikan. Perhatikan pada kata 'haram' dan 'aqsha'. Aqsha, artinya tujuan terjauh. Atau bisa disebut puncak tertinggi. Dan pesannya: ketika kita ingin mendapatkan puncak yang tertinggi itu, adalah memulainya dari yang 'haram' dulu. Dari 'Haram' menuju 'Aqsha'.

Ha? Maksudnya gimana?!

Gini...

Bayangkan diri Anda, ketika ingin mengejar seorang cewe, misalnya. Ibaratnya, kita katakanlah seorang cewe yang Anda kejar itu adalah sebuah 'aqsha'. Tujuan. Maka, untuk mendapatkan itu Anda pun mesti mengawalinya dengan—melakukan—yang 'haram' terlebih dahulu. Apa 'haram'nya? Yakni, memulai dari, seperti; berusaha mencari perhatian si cewe; melakukan hal-hal yang disenanginya; menjauhi hal-hal yang nggak disukainya, daaan seterusnya. Maka dengan begitu, Anda—sedikit demi sedikit—'kan segera menatah tujuan Anda untuk bisa mendapatkan kasih sayang cewe tersebut. Sederhananya begitu.

Lalu apa pesan tersirat dari 'haram' dan 'aqsha' ini, pada konteks spritual seseorang? Ya. Ini pun sebenarnya berupa isyarat halus juga kepada kita, bahwa ketika kita hendak mendekati perhatian dan cintanya Allah Swt, maka seharusnya, mulailah dengan yang 'haram-haram' terlebih dahulu. 

Lalu apa 'haram'nya? Yakni; diawali dengan membersihkan hati terlebih dahulu, mempelajari ilmu akidah, syariat, dan tasawuf, misalnya. Lalu melakukan segala yang diperintah dan dilarangnya, fokus menuju kepadaNya tanpa sedikitpun teralihkan pada hal-hal yang lain.

Meminjam ungkapan para Sufi yang berkata, "Man yaltafit, laa yashil (Siapa yang teralihkan fokusnya, maka ia takkan sampai-sampai). Sebab itu, sekali lagi saya tekankan, jikalau Anda hendak mendekati Allah, raihlah tujuan ter-'aqsha' itu dengan memulainya pada yang 'haram-haram'. Setelahnya, fokuslah untuk mencapai itu. Dan ingat, sesekali jangan—sampai—teralihkan!

Kemudian, pesan selanjutnya, bisa kita lihat pada ayat pertama di surat al-Isra. Coba perhatikan. Ada berapa huruf jar yang tertera di sana? Ya. Anda benar. Ada tiga. Apa-apa saja huruf jar-nya? Ya. Huruf; baa, min, ilaa. 

Lalu apa makna tersiratnya? Nah. Bagi saya, makna huruf jar ini sangat mendalam. Sangat filosofis. Sebagaimana yang tertuang di tafsir isyarat, makna dari ketiga huruf ini, tak lain tak bukan adalah: billahi, minallahi, ilallahi. Sederhananya: Dengan Allah aku hidup, dari nama Allah aku memulai hidup, dan kepada Allah-lah aku serahkan hidupku.

Jika ditinjau, ini merupakan tingkatan tauhid yang tertinggi. Di saat kita sudah berprinsip bahwa Allah di atas segala-galanya. Menyandingkan nama Allah di setiap perbuatan dan usaha kita. 

Maka di saat itulah kita 'kan meraih cinta Allah dan kebahagiaan yang tiada tara bandingannya. Kita hidup dengan pertolongan Allah, lalu memulai aktivitas karena Allah, dan kepada Allah lah kita serahkan semuanya.

"Apa pun yang terjadi. Biarlah Allah yang menjadi puncak tujuanku yang tertinggi. Seandainya aku mesti menghadapi segala bentuk cobaan, bahkan ujian terparah—seantero jagad raya—yang pernah ada pun, aku bakal rela merasakan itu, asalkan Allah tidak menaruh murka kepadaku. Sekali lagi, jika Allah tidak murka kepadaku, aku rela mendapatkan ujian terparah itu. Aku rela..."

Agaknya, inilah rangkuman tulisan yang memuat pesan-pesan tersirat, yang tertuang di dalam kisah Isra Mi'raj ini. Sebenarnya ada banyak lagi yang belum tersampaikan. Karena keterbatasan bahkan ketidakmampuan, akhirnya saya, sebagai penulis, mencukupkan pesan ini sampai di sini.

Terus terang dan perlu kita camkan dalam-dalam, bahwa peristiwa Isra Mi'raj dapat dipastikan bukanlah berita khayalan. Ini kisah yang sangat-sangat sahih dan mutawatir—baik makna maupun jalur periwayatannya. 

Tugas kita mendengar peristiwa ini hanyalah mengimani, sekaligus mengibrahi. Agar nantinya kisah (baca: pesan tersirat) ini bisa bermanfaat, dan besarnya rasa cinta kepada Allah dan Rasulullah, bisa tertancap kuat di lubuk hati kita yang terdalam. Semoga.