Cita-cita hampir semua pelopor kemerdekaan Indonesia adalah terwujudnya demokrasi tidak hanya di bidang politik, tetapi juga bidang ekonomi. Demokrasi Ekonomi, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia seutuhnya, akan menjadi “Ekonomi Kerakyatan”.

Di dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2000 (Program Pembangunan Nasional [PROPENAS]), Sistem Ekonomi Kerakyatan, dipertegas kembali sebagai dasar untuk menjalankan perekonomian nasional. Sesuai dengan UUD pasal 33 perekonomiaan disusun sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan, dalam artian peran pelaku yaitu rumah tangga sangat mempengaruhi kepada stabilitas ekonomi nasional.

Seperti motto pemerintah “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”; tapi faktanya saat ini dari rakyat, oleh pemerintah, untuk penguasa/pemodal. Perwujudan demokrasi ekonomi bagai bayang-bayang yang tak beraturan. Transformasi ekonomi nasional, dari ekonomi elitis menjadi ekonomi kerakyatan, yang belum sempat dilakukan hanya bahasa politik saja untuk meyakinkan masyarakat, janji tinggal janji aplikasi tidak ada “ manis di bibir”

Kita kurang lebih sudah memahami apa yang dimaksud dengan demokrasi Politik, yaitu adanya partisipasi yang luas dari rakyat didalam penentuan keputusan-keputusan politik yang dilakukan bagi secara langsung melalui Pemilihan Umum, maupun melalui Lembaga Perwakilan Rakyat seperti MPR dan DPR.

Dengan Demokrasi Ekonomi, kurang lebih dimaksudkan suatu perekonomian di mana seluas-luasnya kalangan rakyat dapat berpartisipasi dan mengambil keputusan melalui mekanisme pasar yang adil dan terbuka, dapat mengecap buah perekonomian secara luas, kesejahteraan dan kemakmuran merata dan adil.

Distribusi pemilikan, penugasan dan pemanfaatan sumberdaya ekonomi karenanya harus lebih merata dikalangan rakyat banyak, untuk memungkinkan mereka memperoleh pendapatan yang memadai secara lebih merata.

Demokrasi Ekonomi, berkarakter antimonopoli dan antimonopsoni dengan kata lain anti ekonomi-elitis, tidak menghendaki adanya elite yang menguasai perekonomian, baik itu negara maupun segelintir orang yang memegang monopoli penguasaan sumber daya ekonomi nasional.

Pasar harus terbuka bagi sebanyak-banyaknya rakyat sebagai pelaku ekonomi, didalam persaingan yang jujur dan adil, dimana Pemerintah berperan sebagai wasit yang adil yang menjaga persaingan tersebut agar tidak merugikan para pelaku ekonomi, terutama mereka yang kecil dan lemah.

Dalam Pembangunan Ekonomi Bangsa Kita harus belajar dari pengalaman dan perlu melihat cara-cara yang di gunakan negara tetangga dalam memajukan ekonomi nasionalnya. Malaysia sudah sejak 1956 membentuk FELDA (Federal Land Development Agency), yang “mempersenjatai” rakyatnya yang miskin dengan pemilikan 10 sampai dengan 14 acre (k.l 5 sampai dengan 7 ha) kebun karet atau sawit yang baru dibangun oleh FEL-DA.

Kebun tersebut dibangun secara terencana baik, dalam artian sebagai program pengembangan wilayah, program peningkatan kemakmuran rakyat, maupun dalam program perekonomian Malaysia di dunia internasional, dalam memantapkan posisi Malaysia sebagai market leader di pasar dunia, dalam produksi karet alam dan minyak sawit dan produk turunannya.

Ini menunjukkan tingginya mutu kenegarawanan pemimpin-pemimpin Malaysia di waktu itu, serta keberpihakan mereka pada kaum bumi putera Melayu sebagai pemilik negeri, yang sekaligus memaknai arti kemerdekaan bangsa yang sesungguhnya, hal mana tidak terlihat dari para pemimpin Indonesia di masa yang sama.

Karena dianggap masih tidak cukup cepat untuk mengembangkan benih-benih entrepreneurship orang Melayu, untuk menyusul tingkat kemakmuran dan kemajuan usaha orang asing dan orang Cina, maka di tahun 1970, setelah kerusuhan etnik di bulan Mei tahun 1969, Pemerintah Malaysia mengeluarkan New Economic Policy (Dasar Ekonomi Baru), yang menentukan tiga yardstick yang harus dicapai di dalam memberdayakan orang Melayu.

Yakni menekan sekecil-kecilnya tingkat unemployment, menekan jumlah orang miskin, dan mempercepat redistribusi asset (kepemilikan atas perusahaan-perusahaan) dengan menaikkan dalam 20 tahun (1970-1990) persentase kepemilikan orang Melayu dalam saham perusahaan, dari 2,5% menjadi 30%. Semuanya dilakukan dalam perencanaan ekonomi yang terbuka tanpa menimbulkan distorsi pada ekonomi pasar yang dijalankan Pemerintah Malaysia.

Dan sebagai buahnya, karena rakyat yang makmur itu mampu membayar pajak, maka Malaysia tidak pernah mengalami defisit anggaran belanja negara, demikian pula tidak pernah mengalami saving-investment gap, sehingga tidak pernah bergantung pada hutang luar negeri.

Ketika krisis melanda Asia Timur, Malaysia dengan mantap dapat menahan gelombang ekonomi yang dahsyat, sementara Indonesia yang menopang ekonominya dengan hutang luar negeri, jatuh terpuruk sangat dalam, sehingga Pemerintah Soeharto yang kehilangan akal, terpaksa menyerah bulat-bulat pada IMF.

Sementara itu, Jepang yang hancur perekonomiannya akibat Perang Dunia II, dengan cerdik memanfaatkan payung kekuasaan dan kekuatan ekonomi Amerika, secara sistematik membangun kembali industri dan entrepreneurship Jepang.

Strategi militer dan manajemen Barat dijabarkan dalam strategi ekonomi dan perdagangan Jepang. Pengembangan bala tentara ekonomi Jepang dilakukan secara sistematik. Baik perusahaan raksasa maupun perusahaan kecil dan menengah dibangun secara sistematik.

Pengembangan perusahaan-perusahaan raksasa Jepang dapat kita ikuti dalam buku “The New Competition” karangan Philip Kotler dan Chusripitak. Tapi jarang dari kita yang menyimak bagaimana Jepang membangun UKM-nya. Di tahun 1969, lahir Undang-undang nomor 154 tentang kebijakan pengembangan UKM mereka (Small and Medium Enterprise Basic Law).

Kemudian undang-undang ini diamendir pada 03 Desember 1999. Secara umum kebijakan pengembangan UKM di Jepang yang dicakup oleh Undang-undang tersebut terdiri dari:

Adapun SME Policy Korea, kurang lebih dimulai seperti Jepang: dan SME Policy tahun 2002, difokuskan pada restrukturisasi industri manufaktur dan akselerasi pertumbu-han industri baru yang bersifat knowledge-intensive, dengan tujuan memperkuat daya saing globalnya. Restrukturisasi usaha UKM itu, berbentuk pengembangan automasi dan komputerisasi untuk menghasilkan operasi yang lebih produktif dan ekonomis.

Ditambah lebih banyak insentif disediakan untuk pekerja-pekerja berkualitas di kalangan UKM. Se-mentara itu, Program Penjaminan Kredit diperluas dan disempurnakan untuk mencapai pelayanan pemberian pinjaman. Pasar modal dibuka lebar untuk memfasilitasi pembiayaan langsung ke UKM berupa equity financing yang berasal dari jutaan orang maupun melalui lembaga keuangan.

Dari beberapa contoh negara diatas bisa kita belajar bagaimana mereka dalam membangun ekonomi nasional negaranya. Kekayaan alam yang ada dalam negara ini mendorong kita untuk membuat terobosan baru untuk meningkatkan ekonomi nasional.

Demokrasi ekonomi menjadi senjata pamungkas dalam pengembangan ekonomi nasional. Impian dari pendiri negeri ini sangat mulia membentuk dan  merumuskannya, jadi jangan kita sia-siakan mari kita bersama memandu bangsa dalam perwujudan Demokrasi Ekonomi saya yakin bangsa Indonesia bisa, Kita bisa dan pasti bisa kita bisa raih bintang-bintang.