Nelayan tradisional pantura Jawa umumnya mengenal dua musim. Pertama, musim barat yang terjadi akhir bulan Desember sampai dengan bulan Februari. Musim barat ditandai dengan angin kencang dari arah barat, awan yang sangat hitam sepanjang hari, ombak besar bergulung-gulung.
Biasanya bersamaan dengan musim penghujan, sehingga setiap hari di lautan ditandai dengan hujan sepanjang hari dan malam. Nelayan menyebut dengan istilah “baratan”, saat musim barat nelayan tradisional libur total atau tidak melaut sepanjang musim.
Kedua, musim timur terjadi pada bulan akhir Agustus sampai dengan bulan Oktober. Musim timur ditandai dengan angin kencang dari arah timur, ombak besar tetapi tidak bergulung-gulung seperti musim barat (baratan).
Pada musim timur nelayan tradisional masih bisa melaut, tetapi tetap waspada karena nelayan tradisional biasanya tidak dilengkapi peralatan keamanan diri sesuai dengan standar K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Meskipun sangat membahayakan bagi keselamatan jiwanya, namun nelayan tetap bekerja melaut untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Pergeseran Budaya Nelayan di Musim Barat
Nelayan tradisional (peasant-fisher) sering kali dikonotasikan dengan persepsi negatif, seperti; persoalan kemiskinan, perkampungan kumuh dan sempit, kebiasaan konsumerisme, pendidikan yang tertinggal, komunitas yang terpinggirkan, serta label negatif lainnya.
Selain konotasi dengan sebutan negatif bagi kelompok penyuplai gizi masyarakat, nelayan juga dikenal memiliki sifat dan karakter yang baik, seperti; solidaritas kelompok yang kuat, kerjasama, suka membantu dan menolong, jujur, religius (taat menjalankan perintah agama), gampang menerima perubahan yang baik, giat dan semangat dalam bekerja.
Dengan karakter positif yang dimiliki, komunitas nelayan melahirkan kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam kehidupannya dan sebagian masih terjaga sampai saat ini. Pada saat menghadapi musim barat, nelayan tradisional masih menunjukkan sifat-sifat positifnya. Tetap sabar dan tabah menghadapi musim barat, serta memiliki keyakinan yang kuat bahwa musim barat pasti akan berlalu.
Nelayan tradisional sepanjang musim barat tidak menganggur, tetapi mereka masih berusaha untuk bekerja. Sebagian nelayan mencari sejenis siput laut (kerang, tiram, kepompong laut) dan menjala ikan karang atau ikan di pinggiran pantai. Hasil tangkapannya untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau terkadang dijual ke pasar jika ada kelebihan.
Tetapi tradisi ini hampir punah karena pesisir pantai saat ini telah mengalami perubahan dasar pantai akibat dampak pencemaran lingkungan. Sebagian besar penduduk pesisir pantai mengalirkan limbah rumah tangga (limbah domestic) ke pantai dan membuang sampah ke laut, serta menjamurnya perusahaan di sepanjang pantura Jawa.
Tradisi lain yang dilakukan nelayan di musim barat adalah memperbaiki peralatan tangkap atau menjahit jaring (gillnet) yang dipakai selama mongso tedo (musim tangkapan). Perbaikan berbagai jenis jaring berdasarkan spesifikasi jenis ikan tangkapan, tujuannya ketika musim barat reda jaring siap untuk digunakan.
Jenis-jenis jaring yang digunakan nelayan tradisional, seperti; jaring blentik (alat tangkap rajungan dan nus/sotong), jaring gondrong (alat tangkap udang besar dan ikan dasar laut), jaring bringsang (alat tangkap ikan gembung), jaring salangkek (alat tangkap ikan juwi/lemuru), jaring unyil (alat tangkap udang benanar/udang ukuran sedang), dan wuwu atau bubu (perangkap rajungan).
Tradisi memperbaiki alat tangkap dan menjahit jaring juga hampir tidak dijumpai di musim barat sekarang. Tradisi ini telah punah karena peralatan tangkap berupa jaring sudah tidak lagi digunakan oleh nelayan tradisional pantura Jawa.
Hanya wuwu (bubu) alat tangkap yang masih diperbaiki nelayan tradisional saat musim barat, karena alat tangkap ini masih menjadi primadona bagi nelayan untuk menangkap rajungan. Ketika musim barat reda di bulan Maret, nelayan siap untuk menggunakan wuwu (bubu) sebagai alat tangkap andalan dengan berharap perolehan tangkapan maksimal dan harga rajungan melangit.
Musim barat menjadi moment yang baik bagi nelayan tradisional untuk memperbaiki perahu dan jaten (jenis perahu tradisional). Misalnya menambal yang bocor dengan dempul, menguatkan bagian-bagian yang sudah mulai kendor dengan dipaku, mewarnai bagian yang sudah memudar catnya, menggosok bagian bawah perahu (lunas) dari rayap laut (runti) yang menggrogoti kayu.
Lunas perahu dan jaten biasanya penuh dengan runti, untuk menghilangkan disiram dengan air panas atau dibakar dengan daun kelapa yang sudah dikeringkan. Tetapi saat ini nelayan tradisional untuk membersih lunas mengganti dengan pembersih kamar mandi dari berbagai jenis merk.
Cara membersihkan lunas perahu dan jaten biasanya diparkir di babakan (galangan) dengan memindahkan secara tradisional menggunakan roda galur (potongan batang kelapa). Teknik yang digunakan adalah memasang dua atau tiga batang kelapa yang telah dipotong dengan ukuran satu atau dua meter, caranya galur dipasang di bagian lunas perahu kemudian ditarik dan didorong bersama-sama.
Tradisi merawat perahu dan jaten sampai saat ini masih terjaga dengan baik setiap tahun di musim barat (baratan). Pesan-pesan moral dan kebiasaan yang terkandung dalam tradisi ini masih terlihat dengan jelas di komunitas nelayan tradisional, seperti; kebersamaan, gotong royong, saling membantu, dan tradisi positif lainnya.
Kebiasaan-kebiasaan positif yang mengakar di komunitas nelayan tradisional saat ini mudah-mudahan tetap terjaga dengan baik. Semoga musim barat segera tedo (reda) sehingga nelayan bisa kembali melaut untuk mengais rezeki demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga. (*)