“Buk, baju bapak yang digantung di belakang pintu jangan lupa”, teriak Pak Santo.
“Iya pak, sudah ditaruh di tas. Sudah sana buruan mandi!”, balas Bu Nurma sembari melipat baju dan memasukkan ke dalam tas.
Entah tadi malam mimpi apa bapak dua anak ini. Hari yang luar biasa, penantiannya selama 42 tahun akhirnya terwujud juga pada hari itu. Tidak bisa dibayangkan, selama hidupnya dia belum pernah bertemu dengan keluarga kandungnya.
Pencariannya selama bertahun-tahun hasilnya nihil. Akan tetapi Tuhan Maha Baik. Doa-doanya selama ini dikabulkan di hari itu.
Tiga hari yang lalu, Pak Santo seorang karyawan swasta di daerah Surabaya, mendapat kabar dari ayah angkatnya bahwa keluarga Kalimantannya mencarinya dan membawa kabar duka.
Ya, Kalimantan. Ia dilahirkan di Kalimantan, sejak lahir Ia diadopsi dan dibesarkan di Surabaya bersama keluarga barunya. Ketika mendengar kabar tersebut, entah perasaan senang atau sedih yang Ia rasakan. Senang akhirnya bisa bertemu dengan keluarga kandungnya yang telah lama Ia inginkan.
Tetapi disisi lain kabar yang tidak mengenakkan harus Ia terima bahwa ayah kandungnya kini telah tiada dan ibunya jatuh sakit setelah kematian ayahnya, seminggu sebelum Ia ditemukan oleh keluarga kandungnya.
Pagi itu Pak Santo, istri, dan kedua anaknya sedang bersiap pergi menemui keluarga aslinya di Kalimantan. Dan berniat menginap beberapa malam disana.
TOK TOK TOK
“Assalamualaikum”, Budi mengetuk pintu.
“Wa’alaikumsalam, sini masuk dulu”, Bu Nurma membukakan pintu dan menyilahkan duduk.
“Iya Mbak, terimakasih”, jawab Esti, istri Budi.
“Ga tersesat kan? Masi inget kan jalan kesininya?”, tanya Pak Santo.
“Enggak Mas, masih inget kok, kan baru kemarin saya kesini”, sahut Budi dengan tawa.
“Oh iya, kita nanti berangkat jam 9 ya Mas, soalnya pesawatnya take off jam 10”, sambung Budi.
“Kalau begitu sarapan dulu yuk, mumpung masih pagi, tadi saya masak sayur asem kesukaan Mas mu ini”, ajak Bu Nurma.
Tepat pukul 09.00 WIB setelah sarapan bersama, mereka mengendarai mobil jazz warna hitam dan meluncur di jalanan yang dikemudikan sopir pribadi Budi menuju Bandara Djuanda Surabaya. Budi ialah seorang guru SMA di Malang, Ia yang menemukan Pak Santo melalui media sosial Facebook, tak lain merupakan adik kandung Pak Santo.
Berbekal nama kakaknya yaitu Santo Wibowo, dan nama ayah angkatnya yakni Wibowo, serta alamat rumahnya di Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya, Ia berhasil menemukan kakaknya. Hari itu pula Ia akan membawa kepada keluarganya di Sabangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Setelah menikah Budi tinggal dan menetap di Malang. Mendapatkan informasi mengenai kakaknya yang tinggal di Surabaya melalui ayahnya sebelum meninggal, yang berwasiat agar mencari dan menemukan Sarto. Segera Ia menyebar berita pencarian orang diberbagai media sosial.
Akhirnya usahanya membuahkan hasil dan setelah mendapat alamat lengkap kakaknya, Ia segera menemuinya. Dan hari ini, Ia membawa kakaknya terbang ke Kalimantan menemui ibunya dan tempat pengistirahatan terakhir ayahnya.
“Tadi pagi ibu telepon Mas, katanya ga sabar pingin ketemu sama Mas sama cucu-cucunya”, kata Budi sambil menoleh ke arah Pak Santo.
“Iya, tadi pagi ibuk juga telepon terus videocall sama anak-anak, saya juga ga sabar pingin ketemu dan peluk ibuk”, sambung Pak Santo.
“Kita mau ketemu nenek ya Pak?”, tanya Zaki, putra bungsu Pak Santo yang berumur 4 tahun.
“Iya sayang, nanti kita naik pesawat terbang di langit sama awan-awan sayang”, sambung Bu Nurma sambil mengelus-elus kepala putra bungsunya itu.
“Horee, bisa terbang sama burung-burung juga dong bu?” balas Zaki berteriak kegirangan.
“Bisa dong, nanti kalo sudah di atas langit, kamu dilepas terbang sama burung-burung”, gurau Riko, putra sulung Pak Santo berumur 17 tahun yang duduk disamping Zaki sambil memainkan gamenya.
“Kan Zaki ga punya sayap gimana mau terbang kak, kalau jatuh gimana?”, tanya Zaki polos kepada kakaknya.
“Ya biarin aja nanti jatuh. HAHAHA.” Riko tertawa masih memainkan game ditangannya.
“Gamau kak, kakak aja yang terbang sama burung”, Zaki tak terima.
“Aku mah ogah, yang mau terbang sama burung-burung kan kamu. HAHAHA.” Riko tertawa merasa berhasil membuat adik nya hampir menangis.
Seisi mobil tertawa melihat tingkah kedua kakak beradik itu yang tidak mau mengalah satu sama lain. Perjalanan menuju bandara setengah jam pun tak terasa, mobil jazz hitam ini telah berhenti di depan bandara. Sopir pribadi Budi menurunkan koper dan barang-barang bawaan majikannya itu yang di bantu Pak Santo. Setelah selesai, Pak Santo dan keluarganya bergegas memasuki bandara.
Tepat pukul 10.00 WIB pesawat telah tinggal landas menuju Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya yang terletak di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Didalam pesawat Zaki kegirangan melihat gumpalan awan-awan berada dekat dengannya melalui jendela dan menunjuk-nunjuk burung yang terbang disekelilingnya.
Ini merupakan pengalaman pertama Zaki menaiki pesawat, tak heran jika anak 4 tahun ini banyak bertanya didalam perjalanan, sesekali tertawa dan tidak memiliki rasa takut ketika melihat keluar jendela.
Bu Nurma yang memperhatikan daritadi hanya bisa tersenyum melihat tingkah anak itu. Pak Santo juga diam-diam memperhatikan dengan sesekali tersenyum tipis.
Pak Santo yang duduk disebelah Bu Nurma daritadi lebih banyak diam dengan tatapan kosong. Dalam lamunnya Pak Santo bergumam, “Tunggu aku buk, aku datang, semoga sempat aku menemui mu buk”. “Maaf kan aku pak, anakmu ini datang terlambat, tak sempat aku bertemu dan membahagiakanmu”.
Pikiran Pak Santo saat itu hanya ibu, ibu, dan ibu, ingin sekali Ia segera berjumpa, memeluk dan mencium sosok wanita yang telah melahirkannya itu. Tak sadar air matanya kini perlahan menetes membuat pandangannya kabur, lalu dengan cepat tangannya mengusap pipi yang membuatnya sembab.
Bu Nurma yang daritadi memperhatikan suaminya, lalu meraih tangannya, memegang dan mengelus sembari tersenyum tipis, Ia paham apa yang tengah dirasakan oleh suaminya itu.
Pukul 11.10 WIB pesawat telah mendarat di Palangkaraya, terlihat Pak Santo dan keluarga menenteng koper dan barang bawaan menuju pintu keluar. Sebelum sampai pintu keluar berdiri sosok lelaki dengan kumis tebal dengan kulit coklat agak kehitaman yang melambaikan tangan kepada Budi. Tanpa aba-aba Budi pun menghampiri lelaki itu dan memberikan pelukan hangat kepadanya.
“Ini Santo?”, tunjuk lelaki itu yang bertanya pada Budi.
“Iya Mas, Ini Mas Santo”, jawab Budi.
Seketika tangannya meraih dan memeluk erat badan bapak dua anak itu.
“Saya Hendri, saya kakakmu”, ucap Hendri yang tak sadar telah berlinang airmata masih memeluk erat Pak Santo.
Pak Santo terdiam tak berkata-kata membalas pelukan erat kakaknya, tanpa sadar air matanya pun kembali berlinang. Pak Santo merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Hendri merupakan anak sulung di keluarga itu, Ia bekerja sebagai satpam di SMA di Palangkaraya, saudara kembarnya Hendra sekarang di rumah sedang menjaga ibunya, dan Budi adalah anak bungsu didalam keluarga itu.
“Biar saya yang bawa kopernya, mobilnya itu didepan, mari ikut saya ”, ajak Hendri sambil meraih koper yang di bawa Bu Nurma.
Perjalanan menuju Sabangau cukup lama, membutuhkan kurang lebih 2 jam karena letaknya yang berada di pedesaan. Mobil itu melewati jalanan sempit dan sesekali menemui hewan yang melintas di jalan karna letaknya yang tak jauh dari hutan.
Kali ini Zaki banyak diam, tak banyak bicara, mungkin kelelahan dalam perjalanan dan mengantuk di pangkuan ibunya. Begitupun dengan yang lain, suasana alam yang sejuk terasa didalam mobil sehingga mendukung mereka untuk menikmati perjalanannya dengan tertidur.
Didalam mobil mereka tak banyak bicara, hanya Hendri yang bilang kalau ibunya tak sabar ingin segera berjumpa dengan anaknya yang belum pernah ditemuinya.
Jam 13.25 WIB mobil telah terparkir di depan halaman rumah, rumah yang di cat biru muda senada dengan warna langit siang hari itu. Halaman depannya ditanami pohon rambutan dan pohon jambu air yang membuat suasana teduh di siang hari.
Pak Santo dan keluarga turun dari mobil, mengikuti Hendri yang telah berjalan didepannya memasuki rumah itu. Rumah itu terlihat ramai dipenuhi sanak saudara yang telah menunggu kedatangan Pak Santo sekeluarga.
Disalaminya satu persatu dan sampai diarahkannya di sebuah kamar yang terlihat seorang wanita tua terbaring lemah berselimut tebal. Seketika wanita tua itu merasakan kehadiran seseorang memasuki kamarnya dan menoleh.
“Ibuuukk...”, teriak Pak Santo mendekati wanita tua itu, meraih tubuhnya dan mendekap erat badan ibunya. Wanita tua itu tak mampu duduk, badannya masih lemah dan hanya bisa terbaring lemah.
Air mata yang Ia bendung selama ini, akhirnya mengalir deras membasahi pipi dan pundak ibunya. Sesekali Ia mencium pipi ibunya yang juga telah basah akan air mata kebahagiaan yang telah tuhan berikan kepadanya.
“Kamu sudah besar Nak, maafkan ibu Nak”, ucap wanita tua itu sambil mengelus pipi Pak Santo dengan tangis dan memeluknya lagi.
Dekapan hangat ibunya membuat Ia betah berlama-lama dalam pelukan dan ingin rasanya selamanya dalam pelukan ini.
Bu Nurma yang duduk dibelakang Pak Santo memperhatikan sambil mengelap air matanya yang mengalir tak kunjung reda. Semua orang yang berada di kamar itu terisak melihat adegan yang sangat menyayat menyentuh hati.
“Cucu-cucu ku mana?”, ucap wanita itu.
“Nenek..”, ucap Zaki yang telah mendekat, memeluk neneknya yang diikuti oleh Riko dibelakangnya.
“Cucukuu..”, suara nenek yang serak lemah mencoba tersenyum saat Zaki dan Riko memeluknya.
“Uhuuk uhuuk, akhirnya aku bisa pergi dengan tenang”, suara wanita tua itu yang tak begitu jelas namun masih bisa didengar oleh Pak Santo.
“Ibuk, Santo disini, Santo akan menjaga ibu, ibuk harus kuat”, isak Pak Santo mendengar ucapan ibunya, ia memegang tangan ibunya lalu menciumi hingga basah karna air matanya.
“Bapakmu pasti bahagia, karna aku sudah bertemu dengan semua anak dan cucu-cucunya”.
“Jangan khawatirkan ibu, ibu baik-baik saja, uhuuk uhuuk”.
“Kalian anak-anakku, ibuk sayang kalian”, suara wanita tua itu perlahan menghilang seiringan dengan raga yang kembali kosong. Perlahan matanya menutup masih menyisahkan air mata kebahagiaan sebelumnya.
Tangannya yang tadi masih memegang erat Pak Santo kini telah terkulai lemas perlahan menyisakan keriput tua yang masih hangat dipegang. Wanita tua itu telah menyusul suaminya, ayah Pak Santo yang telah lebih dulu meninggal 10 hari yang lalu.
“Ibuuukkkk..., jangan tinggalin Santo lagi, ibuuuk”, teriak Pak Santo menyadari bahwa ibunya kini telah tiada.
TAMAAT