Di dalam kitab al-Maqshad al-Asna Syarh Asma’ Allah al-Husna, al-Ghazali menjelaskan kualitas kedekatan seorang manusia dengan Allah Swt. Menurutnya, kedekatan itu adalah kedekatan pangkat dan sifat, bukan kedekatan destinasi dan tempat.
Ciptaan Allah Swt, tulis al-Ghazali memulai penjelasannya tentang kedekatan pangkat, secara umum digolongkan ke dalam dua kategori. Pertama, makhluk hidup. Kedua, benda mati. Makhluk hidup lebih mulia dan lebih sempurna daripada benda mati. Makhluk hidup dibedakan ke dalam tiga pangkat. Pangkat malaikat, pangkat manusia, dan pangkat binatang.
Pangkat binatang adalah pangkat terendah yang disentuh oleh kemuliaan hidup. Ciri kehidupan adalah kecerdasan dan perbuatan. Binatang memiliki kecerdasan rendah dan perbuatan rendah. Jangan menyangka, bahwa statement al-Ghazali ini merendahkan binatang. Tidak! Statement ini memberi warning (peringatan) agar manusia tidak merendahkan dirinya dengan meneladani binatang.
Binatang sendiri tidak rendah. Bahkan, di dalam karyanya yang lain, Ihya’ Ulum al-Din, al-Ghazali menegaskan bahwa lebih mulia binatang daripada manusia yang durhaka kepada Tuhannya. Binatang akan musnah setelah mati, tetapi manusia durhaka akan terhina.
Kecerdasan binatang disebut rendah, tulis al-Ghazali di dalam al-Maqshad, karena hanya terbatas pada panca indera. Sedangkan panca indera sangat terbatas. Panca indera hanya memahami apa yang disentuh langsung atau destinasi yang dekat. Indera tidak mampu memahami apa yang tidak bisa disentuh atau tidak dekat. Indera peraba dan perasa membutuhkan sentuhan. Indera pendengaran, penglihatan, dan penciuman membutuhkan jarak yang dekat. Segala sesuatu yang tidak bisa disentuh dan jaraknya tidak dekat, pada kondisi ini, panca indera sudah tidak mampu memahaminya.
Perbuatan binatang disebut rendah, lanjut al-Ghazali, karena perbuatannya hanya didorong oleh syahwat dan amarah. Tak ada dorongan lain selain itu. Binatang tidak mempunyai akal yang mampu melawan dorongan syahwat dan amarahnya. Sekali lagi, statement ini menyuguhkan deskripsi agar manusia melakukan sebuah perbuatan bukan atas dasar dorongan syahwat dan amarah, bukan merendahkan binatang.
Sepuluh Sifat Terpuji Anjing
Bahkan, ulama Indonesia, syaikh Nawawi al-Banteni (1230-1314 H/1815-1897 M) menulis sepuluh sifat terpuji anjing yang seyogyanya diteladani oleh manusia, di dalam karyanya, Kasyifat al-Saja. Syaikh al-Banteni merupakan ulama ahli tasawuf yang terkemuka yang banyak menelurkan karya-karya.
Sifat terpuji anjing yang pertama, senantiasa dalam keadaan lapar. Sifat ini merupakan sifat orang saleh. Kedua, tidur hanya sebentar pada malam hari. Sifat ini merupakan sifat orang yang melaksanakan shalat tahajud. Ketiga, keluar masuk hanya melewati pintu majikannya. Sifat ini merupakan salah satu tanda orang jujur. Keempat, mati tanpa meninggalkan warisan. Sifat ini merupakan salah satu orang zuhud.
Kelima, menerima apa adanya (qana’ah). Sifat ini adalah sifat orang ridho. Keenam, melihat setiap orang yang memperhatikannya sampai orang itu memberinya sesuap makan. Sifat ini merupakan salah satu akhlak orang miskin. Ketujuh, tidak marah dan tidak dendam ketika keluar rumah dan dilempari debu. Sifat ini merupakan akhlak orang penyayang.
Kedelapan, meninggalkannya dan mencari tempat yang baru jika tempatnya diganggu. Sifat ini adalah sifat orang terpuji. Kesembilan, menerimanya dengan senang hati pemberian yang sedikit. Kesepuluh, tidak berbekal di saat bepergian. Sifat ini adalah sifat orang yang tawakal.
Kualitas Malaikat
Malaikat adalah pangkat tertinggi, tulis al-Ghazali di dalam al-Maqshad. Malaikat adalah wujud yang kecerdasannya tidak dipengaruhi oleh jarak; dekat dan jauh. Tetapi, kecerdasan malaikat mempengaruhi subjek dekat dan jauh. Karena, dekat dan jauh hanya dialami oleh materi-fisik. Sedangkan materi-fisik merupakan wujud terendah. Selain itu, malaikat adalah makhluk suci, karena dia tidak memiliki syahwat dan amarah. Perbuatan malaikat tidak didorong oleh syahwat dan amarah. Yang mendorong malaikat melakukan sebuah perbuatan adalah sesuatu yang lebih mulia dari syahwat dan amarah, yaitu mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Eksistensi manusia
Adapun manusia, tulis al-Ghazali, pangkatnya berada di antara pangkat malaikat dan binatang. Seakan-akan, penyusun tubuh manusia adalah sifat-sifat malaikat dan binatang. Pada awal kehidupannya, manusia didominasi oleh sifat binatang. Karena pada awalnya, kecerdasan manusia hanya terbatas pada panca indera. Waktu itu, manusia belum memiliki akal yang mampu mengarungi kerajaan langit dan bumi. Badannya masih belum membutuhkan gerak bebas. Kecerdasannya dipengaruhi oleh jarak dan sentuhan. Bahkan, dekat dan jauh baginya hanya seputar jarak saja.
Pada awalnya, tulis al-Ghazali, manusia dipengaruhi oleh dan bergerak atas dasar dorongan syahwat dan amarahnya. Kondisi itu terus berlanjut, hingga suatu saat di mana dirinya ingin mencari kesempurnaan. Dia sudah tidak lagi melihat kulit luar, tetapi sudah mulai melihat akibat dari suatu perbuatan. Syahwat dan amarah mulai dilawan. Jika perlawan terhadap syahwat dan amarah dia menangkan, kemudian dia kendalikan, dia sudah mulai meniru malaikat.
Begitu juga, jika manusia sudah mampu menyapih dirinya dari penjara khayalan indriawi, mulai melepaskan diri, dan lari menjauhi jangkauan inderawi dan khayalan, dia sudah mampu meniru malaikat dari sisi yang lain.
Ciri khas kehidupan adalah kecerdasan dan akal. Dilihat dari perspektif ini, pangkat rendah, menengah, dan tinggi itu dimulai. Manusia yang mengikuti jejak malaikat, baik jejak kecerdasan dan akalnya, berarti menjauhi kehidupan binatang, dan lebih dekat kepada malaikat. Sedangkan malaikat dekat kepada Allah Swt. Manusia yang dekat kepada malaikat berarti dekat kepada Allah Swt. Demikian sekilas ulasan al-Ghazali di dalam al-Maqshad.