Bagian inti dari memahami pandangan dominasi lingkungan yaitu adanya asumsi bahwa kehidupan manusia bergantung pada alam. Pada sebagian besar kehidupan orang Dayak di kalimantan, utamanya yang masih hidup di pedalaman kampung masih menganut pandangan ini. Pada dasarnya masyarakat Dayak memang sejak lama (semenjak zaman nenek moyang terdahulu) mereka hidup dengan mengandalkan alam (berladang berpindah, berburu dan hutan menjadi tempat bergantung hidup), dan hingga kini masih berlangsung kehidupan yang demikian. Sehingga dominasi lingkungan sangat kental pada struktur kehidupannya.
Masyarakat Dayak juga sudah banyak yang beranjak dari kehidupan masa lampau. Tidak sedikit dari mereka yang sudah mengenal hidup modern. Merujuk pada pendapat Comte yang memperkenalkan model perkembangan masyarakat melalui penjelasan atas tiga tahapan perkembangan akal budi, yaitu tahap teologi, metafisik atau abstrak dan ilmiah atau positif.
Masyarakat Dayak utamanya masih menganut ketiga tahapan ini. Sebagian dari masyarakat ada yang sudah sampai pada tahap ilmiah, ada pula yang masih pada tahapan metafisik dan teologi. Menurut pendapat saya pribadi masyarakat Dayak yang masih hidup di pedalaman lebih banyak yang masih pada tahapan teologi, seperti halnya pada masyarakat Dayak Benawan dan Dayak Mali di Kalimantan Barat.
Pada tahapan teologis ini kehidupan maunusia masih dikendalikan dan didominasi oleh sesuatu yang bersifat supranatural. Manusia belum memiliki otonomi atas alam dan lingkungannya. Manusia masih dihantui oleh ketakutan-ketakutan dari kekuatan supranatural yang menguasai alam, dan akal budi manusia masih mencari kodrat dasar yaitu sebab pertama dan sebab akhir dari segala akibat yang terjadi.
Pada masyarakat Dayak Mali maupun Dayak Benawan hal-hal sakral yang tidak boleh dilanggar adalah pantangan-pantangan yang asal muasalnya dari adat. Jika dilakukan akan terdapat hukum sebab akibat, yang mana akibat yang akan muncul berasal dari kekuatan-kekuatan supranatural. Sehingga kepatuhan masyarakat didalamnya sangat kuat, mereka menjaga kesakralan dengan ketakutan-ketakutan. Misal pola pikir begini; "tidak boleh melakukan A, takut akan terjadi B." Sederhananya pemikiran mereka dibayangi ketakutan.
Benar kata Comte bahwa masyarakat yang berada pada tahap teologis ini mengandaikan segala bentuk gejala sosial yang dihasilkan oleh tindakan langsung dengan hal-hal yang bersifat supranatural atau sebuah kekuatan gaib. Saya adalah orang Dayak, ketika bersama-sama di tengah masyarakat di kampung, pikiran (mindset) saya juga ikut ke dalam golongan "yang teologis" secara langsung, sebab ketakutan-ketakutan masyarakat di kampung saya rasakan langsung.
Misalnya "tidak boleh membakar terasi, karena itu menyebabkan hantu kamang bangun dan marah," hal tersebut sudah mendarah daging sehingga saya tidak akan melakukan hal-hal yang ditakutkan. Akan berbeda dengan kehidupan saya saat kembali ke kota, sebagai masyarakat ilmiah, dimana jaringan teknologi menjadi yang utama. Meski pada dasarnya kekuatan supranatural itu juga ada pada masyarakat ilmiah, namun tidak begitu kental. Mindset dari teologis yang saya bawa ke ilmiah, pun akan tetap memiliki korelasi meski hanya sebagian kecil.
Menurut Comte tahap tingkatan teologi ini terbagi lagi menjadi sub-bagian yang membentuk hubungan subordinat, yaitu fetisisme, politeisme, dan monoteisme. Pada tahapan fetisisme menggambarkan tingkatan pemikiran yang beranggapan bahwa semua pergerakan gejala alam berada di bawah pengaruh suatu kekuatan supranatural. Dalam tahapan ini manusia masih menginterpretasikan segala sesuatu di sekitarnya sebagai hasil dari super natural being.
Sebuah refleksi singkat seperti yang baru-baru ini terjadi di kampung orang Dayak Benawan, banjir besar melanda kampung, rumah-rumah beberapa tenggelam digenangi air. Diantara mereka percaya bahwa banjir itu terjadi akibat dari marahnya gunung A yang dipercayai memiliki mitos mampu menyemburkan air, bahkan menenggelamkan kampung/desa.
Pun yang lain percaya bahwa alam sedang marah sehingga mendatangkan banjir, maka dibuatlah sesajen yang mungkin mampu membuat air surut. Kemudian tidak banyak yang percaya bahwa banjir besar terjadi karena banyaknya pohon-pohon kayu di babat habis kemudian di ganti dengan tanaman sawit. Masyarakat belum aware terhadap keberadaan sawit yang tidak mampu menjadi penahan banjir atau lahan sawit tidak mampu menjadi daerah resapan air.
Kabupaten Sanggau merupakan daerah areal sawit yang sangat luas, baik itu dari perusahaan maupun sawit yang ditanam oleh perseorangan. Masyarakat lebih percaya "banjir akibat gunung bocor" dibandingkan dengan pembabatan pohon yang diganti dengan kelapa sawit. Miris! Masyarakat teologis yang tak terdidik, kemudian diracuni oleh orang-orang yang terdidik memberikan informasi di bagian ekonominya saja. "Sawit akan menjadikan sejahtera, bla bla bla..." who cares about sustainability lingkungan?
Aktivis lingkungan tanpa fees jarang sekali bersuara. Faktanya meningkatnya lahan sawit di Kalbar umumnya dan Sanggau khususnya berjalan mulus, bukan? Masyarakat teologis dengan senang hati menanam sawit, dengan iming perbaikan ekonomi. Iya, betul. Ekonomi membaik, penghidupan sudah jauh berubah dari sebelumnya (karena keberadaan sawit), namun siapa yang akan memikirkan anak cucu ke depan? Hutan dibabat, ditebang kayunya. Ke mana mereka saat bencana besar datang?