Waktu 21 tahun bisa bermakna 21 detik bagi orang yang menunggu kepastian. Namun waktu 21 tahun bisa terasa seperti 21 abad lamanya bagi orang yang menunggu ketidakpastian.
Rentan waktu ketidakpastian tersebut berlaku bagi korban pejuang Hak Asasi Manusia (HAM). Sejak 18 Januari 2007, keluarga korban dan aktivis peduli HAM telah lebih dari 600 kali melakukan Aksi Kamisan dalam rangka menyuarakan tuntutan keadilan di depan Istana Negara yang diiringi aksi-aksi lain yang tersebar di berbagai daerah.
Kegagalan penyelesaian HAM sudah menjadi rahasia umum yang telah kita ketahui bersama. Salah satunya adalah peristiwa 1965-1966 yang sejak 12 tahun sejak terbentuknya tim Ad Hoc, Kejaksaaan Agung berulang kali mengembalikan berkas perkara ke Komnas HAM, hingga terakhir pada tanggal 26 Desember 2018.
Dalam peristiwa Semanggi I, terdapat 17 korban Pelanggaran HAM, di antaranya adalah Bernandinus Realino Norma Irawan, Tedy Mardany, Sigit Prasetyo, Engkus Kusnaedi, Heru Sudibyo, Wawan, Muzammil Joko Purwanto, Uga Usmana, Lukman Firdaus, Agus Setiana, Doni Efendy, Rinanto, Budiono, Sidik, Sulwan Lestaluhu, Sulaeman Lestaluhu, Wahidin Nurleta, dan Budi Marasabesy. Penemuan dari ahli forensik yang menduga bahwa terdapat 5 korban meninggal karena ditembak dengan peluru tajam standar ABRI.
Begitu pun dengan peristiwa Semanggi II yang memakan korban tewasnya Yap Yun Hap saat melakukan Demonstrasi penolakan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) serta berbagai bentuk aksi kekerasan dan pelanggaran HAM yang menimpa massa aksi lainya pada peristiwa ini.
Kurang lebih 18 tahun lalu berkas dari Komnas HAM sudah rampung, namun Kejaksaan Agung justru mengembalikannya. Hal yang sama terjadi saat peristiwa Wasior di Papua Barat dan Wamena dengan perincian empat warga tewas, 39 orang terluka akibat penyiksaan, dan lima orang dihilangkan paksa serta satu orang mengalami kekerasan seksual yang kemudian tak berujung penyelesaian yang berkeadilan.
Kurang lebih 15 tahun lalu berkas sudah rampung, namun kejaksaan Agung mengembalikannya ke Komnas HAM, lagi. Sama halnya dengan kemandekan penyelesaian pelanggaran HAM dalam Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Kasus Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Pembantaian Umat di Talangsari, dan Penghilangan Nyawa terhadap seorang Aktivis HAM Munir.
Harapan penyelesaian kasus pelanggaran HAM selama rezim nawacita dalam kurun waktu satu periode telah sirna. Namun setelah kontestasi Pemilihan Umum selesai, Joko Widodo kembali terpilih menjadi presiden dalam masa jabatan 2019-2024.
Setelah terpilih kembali, Presiden Joko Widodo pada tanggal 14 Juli 2019 memberikan “Pidato Visi Indonesia” dengan muatan developmentalisme yang pernah dianut oleh rezim Orde Baru dan sama sekali tidak menyinggung masalah Hukum, HAM, dan pemberantasan Korupsi maupun keadilan sosioekologis.
Hal tersebut dapat dilihat saat tidak adanya kabar dari kepolisian dan tim gabungan pencari fakta selama 12 bulan terkait penyidik KPK Novel Baswedan yang disiram oleh dua orang tidak dikenal dengan air keras di Kelapa Gading, Jakarta Utara pada tanggal 11 April 2017.
Selain itu, terjadi juga indikasi pelanggaran HAM dalam peristiwa kerusuhan 21-23 Mei 2019 ketika massa sedang menggelar aksi pengawalan hasil Pemilu di Gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum dengan catatan 8 korban meninggal dunia dan 737 orang cedera.
Pada tanggal 10 Oktober 2019, pihak Ombudsman telah memberikan hasil rapid assessment kepada pihak kepolisian yang mana ditemukan praktik maladministrasi oleh kepolisian dalam menangani aksi unjuk rasa pada 21 Mei - 23 Mei 2019, namun pihak kepolisian malah menolaknya (Polisi Tolak Temuan Maladministrasi Demo 21-23 Mei, Ombudsman: 10 Oktober 2019).
Pelanggaran HAM masa kini juga terjadi kepada warga Papua selama dua tahun terakhir ada sekitar 33 peristiwa serupa di berbagai daerah. Salah satunya adalah ketika gejolak momentum aksi anti-rasisme dibatasi dengan upaya pemblokiran internet di Papua dan tragedi kemanusiaan di kerusuhan Wamena yang menyebabkan 31 korban jiwa serta 845 demonstran massa aksi #ReformasiDikorupsi ditangkap, 535 orang dibebaskan, 9 Jurnalis menjadi korban kekerasan Polisi.
Dapat disimpulkan bahwa pengungkapan Pelanggaran HAM tidak ada satu pun yang berujung penyelesaian. Tuntutan penyelesaian kasus pelanggaran HAM akan terus jadi tantangan bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang masa kerjanya masih mempunyai waktu lima tahun.
Pak Jokowi perlu mengingat bahwa di tengah Pilpres 2014, ia mengagumi puisi Wiji Thukul, penyair sekaligus aktivis yang sejak 1998 sampai sekarang masih hilang. Seharusnya tidak hanya kagum, namun juga resah hingga kemudian terpanggil untuk memunculkan kesadaran pemerintah dalam membangun tindakan konkret dalam penyelesaian kasus HAM.
Sehingga dalam kesempatan ini, penulis mengharapkan agar pemerintah ke depan harus memastikan tegaknya hukum Indonesia yang menjadikan konstitusi dan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai pedoman utama dalam menjalankan mandat pemerintahan.