Persatuan Islam (Persis) didirikan oleh Ahmad Hassan pada tanggal 12 September 1923 di Bandung, Jawa Barat. Persis adalah organisasi masyarakat yang berbasis keagamaan dan berkonsentrasi di bidang dakwah, pendidikan dan sosial.
Dalam bidang pendidikan, Persis telah berhasil mendirikan beberapa lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar, menengah bahkan hingga perguruan tinggi. Keberhasilan tersebut tumbuh, berkembang, dan tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Khususnya di Jawa Barat, sebagai basis organisasi ini.
Dalam bidang dakwah, Persis dikenal sebagai “ormas keras dan militan”, semilitan pendirinya, A. Hassan. Ia tanpa kompromi menumpas penyakit agama (akidah) yang sudah mengakut dalam masyarakat muslim, yaitu takhayul, bid’ah dan khurafat. Para juru dakwahnya dikenal sebagai dai-dai kompeten, ahli debat, yang menguasai dalil-dalil agama. Mereka sering kali mengutip ayat-ayat al-Quran dan hadits dalam menjawab segala permasalahan.
Sedangkan dalam bidang sosial, Persis memiliki Pusat Zakat Umat (PZU). Ia merupakan lembaga amil zakat yang bergerak khusus dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat di masa yang akan datang. Dan kini, PZU telah dikukuhkan sebagai lembaga amil zakat nasional (laznas) oleh Kemenag RI (Republika, 20/1/2017).
Gerakan Pembaharuan (Harakah Tajdidiyyah)?
Persis sering kali menyebut dirinya sebagai organisasi “harakah tajdidiyyah” atau gerakan pembaharuan. Mottonya yang terkenal adalah “Kembali kepada Quran dan Sunnah”. Otomatis dalam setiap gerak, sikap dan langkahnya kerap mengatasnamakan Quran dan Sunnah.
Kondisi tersebut membawa Persis masuk ke dalam tipologi yang Abid Al-Jabiri sebut sebagai tipologi “Kaum Bayani” yakni suatu sikap beragama yang lebih cenderung tekstualis (skriptual), nyaris tak mempertimbangkan aspek historisitas dan antropologis. Sehingga produk-produk keberagamaan yang dihasilkannya “hitam-putih”.
Sikap keberagamaan Persis lainnya adalah cenderung orientasi fikih praktis (fiqh oriented). Ia terkesan mau menutup wawasan fikih komprehensif. Kita ambil contoh kecil, soal ushalli atau bagaimana kedudukan hukum merayakan maulid Nabi.
Persis terkesan menutup fikih (pemahaman) lain yang berbeda dengannya. Dalam pandangannya, mengucapkan ushalli sebelum shalat dan merayakan kelahiran Nabi adalah sebuah kesalahan dalam menerjemahkan fikih.
Dalam konteks sikap beragama di atas, Persis seolah terkesan mengklaim kebenaran (truth claim) di satu sisi, dan menganggap salah terhadap pemahaman yang berbeda dengannya, di sisi lain. Dalam pandangan saya, Persis cenderung ingin menyeragamkan urusan fikih.
Pertanyaan yang kemudian muncul: “Jika sikap eksklusivisme tersebut terus dipelihara, di mana letak prediket harakah tajdidiyyah Persis? Pertanyaan ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi kaum elit Persis dan segenap kadernya dalam menghadapi globalisasi pemikiran yang terus berkembang hingga kini.
Saya kira, sudah saatnya Persis membuka diri (inklusif) dan banyak belajar dari organisasi lainnya, semisal NU atau Muhammadiyah. Kedua organisasi tersebut, yang dulu terlihat “bermusuhan”, kini keduanya terlihat bekerjasama membangun Indonesia yang lebih baik, toleran dan harmonis.
NU dan Muhammadiyah beberapa langkah lebih maju membangun Indonesia. Keduanya tidak lagi terlihat bertengkar dengan urusan-urusan fikih, seperti ushalli, tahlil, qunut, dan lain-lain. Mereka lebih mendahulukan akhlak ketimbang fikih. Sikap inklusif lain yang harus Persis kembangkan kini adalah soal toleransi (tasamuh) dalam menyikapi perbedaan. Perbedaan sejatinya dimaknai sebagai sunnatullah sekaligus rahmat.
Selama ini, Persis beranggapan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang mesti diseragamkan sesuai dengan pemahamannya. Kondisi tersebut sangat jelas terlihat saat Persis menghantam habis-habisan masalah membaca “qunut subuh” yang dilakukan orang-orang NU. Bagaimana akibatnya? Konsekuensinya adalah terjadi konflik spiritual dan sosial dalam masyarakat. Energi umat habis terkuras hanya untuk soal-soal yang tak substantif di atas.
Persis, dalam konteks kekinian, rasanya tak ada yang berubah. Ia masih saja mencontek gaya A. Hassan di lapangan. Ada segelintir kaum muda akademis---untuk membedakan dengan kaum muda santri---yang merasa perlu untuk melakukan rekonstruksi pemikiran yang selama ini stagnan dan kolot.
Semangat kaum muda akademis Persis tersebut kerap mendapatkan perlawanan kaum tua atau sebagian kaum muda lainnya yang bangga dengan romantisme masa lalunya. Atau lebih ekstrem kita sebut mereka yang fobia terhadap isu-isu wacana barat. Barat, mereka anggap sebagai ancaman, bukan dianggap sebagai kawan yang harus digandeng untuk dianalisis kelebihan dan kekurangannya.
Pertanyaan penting yang lagi-lagi muncul bagi para elit Persis: “Masihkah relevan menyebut Persis sebagai gerakan pembaruan sedangkan paradigma yang dipakainya adalah paradigma lama yang sudah usang dan ketinggalan zaman?” Berbeda dengan NU, misalnya, ia sering diidentikkan sebagai organisasi tradisional. Tetapi, kini rasanya tak lagi demikian. Ia sekarang dikenal sebagai organisasi terbuka, modern dan demokratis.
Perubahan menuju arah kemajuan di tubuh NU terus menggelinding. Kondisi tersebut tak lepas dari usaha kaum tuanya, semisal Gus Dur, Gus Mus, dan lain-lain, secara kontinyu menyuguhkan wacana-wacana keislaman kontemporer untuk dianalisis dan dikritisi.
Ditambah pula kontribusi kaum mudanya, yang diwadahi dalam Lakpesdam NU, yang aktif progresif terhadap wacana-wacana keislaman kontemporer. Kini NU tak lagi terlihat kolot dan kampungan. Kaum muda NU, secara tidak langsung, telah menginspirasi kaum muda ormas lainnya, semisal Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, PUI dan lainnya, dalam melakukan rekonstruksi paradigma lamanya yang dianggap sudah mapan dan final.
Kaum muda NU, walau bukan mengatasnamakan ormas NU, telah berhasil memompa darah dan jantung keagamaan kaum muda lainnya. Kita sebut saja misalnya, Ulil Abshar dengan agenda JIL-nya, Zuhairi Misrawi dengan Islam Emasipatoris-nya, dan lain-lain.
Juga kaum muda Muhammadiyah, tak ketinggalan mendirikan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) sebagai wadah alternatif bagi kaum muda dalam rangka menyuguhkan wacana Islam yang segar dan dinamis.
Rupanya, stimulus yang digulirkan kaum muda NU dan Muhammadiyah tak semulus respons yang didapat di Persis. Persis telah mengambil sikap lain. Persis sebaliknya, mewanti-wanti kaum mudanya untuk tidak terjebak pada pemikiran barat yang akan menyesatkan.
Persis beralasan bahwa pemikiran barat itu sebagai sebauah kekeliruan beragama dan sekaligus berdampak pada pendangkalan akidah masyarakat muslim. Oleh karena itu, menjauhi dan menolak pemikiran barat adalah sikap yang dikedepankan ketimbang melakukan analisis dan kritik lebih dalam terlebih dahulu.
Kelihatannya, rekonstruksi pemikiran di Persis adalah sesuatu yang tabu. Dari dahulu hingga kini, terkesan jalan di tempat. Saya kira, ini adalah sebuah tawaran dan tantangan baru. Siapa yang akan menjadi motor penggeraknya? Siapa yang akan menjadi “tumbal” sebagai masinis yang akan membawa gerbongnya ke stasiun baru, harapan baru?
Pertanyaan terakhir: “Kapan Persis akan melakukan pembaruan di atas mottonya, harakah tajdidiyyah?” Pertanyaan tersebut sangat signifikan dan menghantam jika para elite Persis mau melakukan introspeksi terhadap “perahunya” yang sebentar lagi akan tenggelam di arus lautan globalisasi. Maukah?