Indonesia, sebagaimana dengan negara lain di dunia, terlibat dalam arms race yang menekankan pentingnya keberlanjutan sistem alutsista. Keberlanjutan dalam tulisan ini adalah mewujudkan alutsista yang mandiri dalam berbagai aspek seperti sumber daya manusia, amunisi,logistik, dan segala kelengkapan lain, serta kompatibilitas alutsista dengan teknologi yang digunakan saat ini.
Keberlanjutan bisa dijelaskan dengan konsep offset, dimana negara bisa memperoleh kemandirian dalam alutsista dengan menggunakan teknologi dari negara lain yang diperoleh karena sudah menggunakan persenjataan dari negara mitra. Kompatibilitas bisa dijelaskan dengan revolution in military affairs, dimana penguasaan teknologi diharapkan akan meningkatkan keunggulan dan mengurangi jumlah korban di tengah konflik terbuka. Jika kedua konsep ini bisa dijelaskan secara bersamaan, peperangan pintar atau smart warfare bisa diwujudkan.
Indonesia menghadapi berbagai tantangan terjal untuk bisa mewujudkan peperangan pintar tersebut. Dimulai ketika embargo persenjataan Amerika Serikat pada tahun 1999 dikarenakan alasan kemanusiaan yang membuat alutsista dari ketiga matra kesulitan untuk beroperasi, krisis ekonomi 1998 yang mengakibatkan pendanaan ke industri strategis pertahanan harus ditarik, sampai pada fase dimana Indonesia membangun kembali alutsista militernya melalui program minimum essential force.
Minimum essential force yang menjadi tahapan terbaru dalam pengembangan kekuatan alutsista Indonesia oleh para pemangku kebijakan turut menilai capability dan threat yang datang dari negara-negara yang berdekatan, sehingga secara otomatis aspek teknologi tidak bisa dinafikan.
Setiap matra yang berada di dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) memperlihatkan kebutuhan untuk menggelar peperangan pintar tersebut. Di TNI AD, satuan khusus seperti SAT-81 Gultor memerlukan citra satelit untuk melacak pergerakan musuh dan GSM interceptor untuk menyadap ancaman yang ada, terutama terorisme dan separatisme. Di TNI AL, kapal-kapal yang dibutuhkan harus memiliki lapisan yang bisa mengurangi tingkat pelacakan di radar musuh. Di TNI AU, radar-radar permukaan yang dimiliki belum mampu mencakup blank spot yang ada di seluruh Indonesia mengingat perawatan radar yang kurang karena berbagai keterbatasan.
Contoh-contoh diatas memperlihatkan betapa kompleksnya permasalahan dalam mewujudkan modernisasi alutsista dengan teknologi pendukungnya, sementara itu masyarakat awam lebih fokus kepada pesawat, tank, atau kapal apa yang akan dibeli. Setiap alutsista haruslah mampu menjalankan fungsi lain selain untuk mengalahkan musuh seperti fungsi komunikasi, pelacakan, komando dan koordinasi.
Teknologi pendukung menjadi vital dalam peristiwa yang melibatkan alutsista Indonesia. Salah satu contohnya adalah misil yang dipergunakan oleh Artileri Pertahanan Darat. Setiap dari misil tersebut memiliki kendali darat, seperti misalnya misil Mistral buatan pabrikan Perancis yang diarahkan dengan menggunakan mobile radat yang bernama Mistral Coordination Post (MCP). Dengan menggunakan mobile radar, misil bisa ditembakkan dari arah yang aman tentunya dengan koordinasi identification friend or foe (IFF).
Matra lain tentunya juga membutuhkan radar, seperti TNI AU untuk mencegah terjadinya black flight atau penerbangan tanpa mengetahui pihak kawan dan lawan karena keterbatasan teknologi. Radar yang dibutuhkan oleh TNI AU saat ini adalah radar yang bisa menyusun citra 3 dimensi dan full solid state. Persyaratan pertama berarti radar harus menyusun citra objek dengan menggunakan elevasi yang berbeda, sehingga bisa termasuk gambaran yang utuh. Full solid state berarti radar lebih mudah dipindahkan dan sulit dilacak oleh radar lain.
Contoh lain yang akan saya berikan adalah peralatan komunikasi. TNI saat ini sudah mengadopsi komunikasi berbasis satelit, yang dilakukan melalui pengadaan satelit oleh Kementerian Pertahanan bersama dengan Airbus Defense and Space (ADS) yang akan dilangsungkan pada tahun 2019 (Hobbymiliter.com ,27 Januari 2016). Dengan pengadaan ini disertai dengan Central Monitoring and Observation Vehicle (CMOV) oleh Komando Pertahanan Udara Nasional (Koharnudnas) maka komunikasi via satelit dapat diberlakukan secara merata dan lengkap. Mengingat komunikasi VHF dan UHF memiliki data rate yang rendah, maka komunikasi via satelit untuk interaksi yang bersifat jamak sangat diperlukan.
Dari sini, selanjutnya penulis akan menjelaskan posisi Indonesia dalam membangun teknologi pendukung bagi alutsista utama dilihat dari revolution in military affairs. Secara kebijakan, Kementerian Pertahanan memiliki semangat dan komitmen yang tinggi dalam memaksimalkan teknologi sebagai bagian dari upaya pertahanan yang terintegrasi. Dengan menggunakan dual use technology, Kementerian Pertahanan menjadikan Palapa Ring sebagai bagian dari sarana mengalirkan informasi yang berkaitan dengan upaya pertahanan. Ini bisa dilakukan karena kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi yang berkeinginan menjadikan Palapa Ring bagian dari pemerataan komunikasi Indonesia.
Pembangunan sarana komunikasi adalah langkah awal untuk pembangunan sistem pertahanan yang terintegrasi dan terhubung seluruh Indonesia yang dilakukan dengan alat pendukung seperti radio komunikasi dan radar, sehingga apa yang disampaikan dalam Peraturan Menteri Pertahanan nomor.14 tahun 2014 tentang Standar Militer Indonesia Alat Komunikasi dan Elektronika Tentara Nasional Indonesia terkait pertahanan yang terintegrasi bisa dilakukan.
Berikutnya adalah bagaimana teknologi pencitraan (terrain, identification friend or foe, dan sebagainya) bisa terus diperbaharui dengan mengikuti apa yang diamanahkan dalam minimum essential force. Interoperability menjadi kehandalan satelit dalam membentuk citra medan dalam lingkungan operasi, sehingga baik TNI AD, TNI AL, maupun TNI AU dapat memperoleh informasi yang sama.
Penyewaan tidak bisa menjadi opsi untuk melangsungkan satelit sebagai upaya pertahanan negara, karena masalah kerawanan data. Belum lagi nantinya jika dalam satelit itu terdapat komunikasi pasukan yang berada di pulau-pulau terluar atau perbatasan darat, yang secara tidak langsung akan membuka situasi atau kekuatan pasukan yang berada di lokasi tersebut.
Pengembangan alat komunikasi dan informasi adalah kunci dari konflik atau bahkan peperangan yang akan berlangsung di masa depan. Mengingat ada 17.000 pulau lebih yang tersebar, early warning yang ditopang oleh teknologi adalah penting untuk mempersiapkan reaksi cepat yang dilakukan oleh aktor negara dan non negara. Reaksi cepat adalah bagian dari efek penggetar karena akan mempercepat koordinasi unit yang berdekatan sehingga bisa menjauh dari situasi yang tidak menguntungkan, semisal pengepungan.