Orang mengorbankan diri mereka demi komunitas fragmentaris—bangsa, ras, keyakinan, kelas—dan baru menyadari bahwa mereka bukan individu ketika mereka disongsong peluru.
(George Orwell)
Biksu Mulyanto Nurhalim membaca surat pernyataan dengan nada getir. Orang-orang mengerubunginya dengan sikap intimidatif. Ia diancam angkat kaki dari tempat tinggalnya jika masih mengadakan kegiatan keagamaan di sana. Warga mencurigai bahwa rumah yang ia huni bukan cuma untuk berlindung dari panas dan hujan, tapi juga untuk menyebarluaskan agama Buddha.
Yang tragis, Biksu Mulyanto merupakan warga asli dan sah (memiliki KTP) Desa Babat, Legok, Kabupaten Tangerang. Rumahnya kerap ramai di akhir pekan karena jemaah Buddha yang memberi nafkah dan makan kepadanya. Agama mereka memang melarang biksu untuk mencari dan memegang uang.
Sampai kapankah kekonyolan demi kekonyolan ini berlangsung? Saya khawatir yang kita lakukan hanya ramai-ramai mengutuk tindakan persekusi di media sosial. Percayalah, di lapangan, bigotry atau kedegilan telah meruyak sedemikian dahsyat dan saya jamin akan membuat Anda terpana.
Di suatu kesempatan, saya pernah bertemu dengan seorang mahasiswa di stasiun Pasar Minggu. Mari kita panggil ia Rudi. Jenuh menunggu datangnya kereta, saya pun mengajaknya bicara.
Kebetulan, Rudi mahasiswa sosiologi, ilmu yang juga saya pelajari. Percakapan mulai terasa janggal ketika ia menyinggung soal fenomena bumi datar, dan bagaimana orang-orang kafir (baca: Amerika dan Yahudi) selama ini sengaja menyebar fakta sesat bahwa bumi itu bulat.
Perasaan geram, gemas, dan marah campur aduk seperti diblender. Tetapi, saya seperti memiliki tanggung jawab untuk meluruskan sesat pikir tersebut.
Gawai di kantong celana pun saya keluarkan demi menunjukkan video Felix Baumgartner yang memecahkan rekor dunia ketika dia melompat dari luar angkasa ke bumi. Aksi yang Baumgartner perbuat pada 2012 itu mengundang decak kagum: dari langit ke bumi, ia menempuh jarak sejauh 39 km.
Dari video tersebut, terpampanglah permukaan bumi yang bulat. Ini bukan sesuatu yang “baru”. Sejak kecil kita telah memahami bahwa bumi berbentuk seperti bola. Namun, kepada mereka yang meyakini teori bumi datar, kita akan mendapatkan kesulitan dalam mengajukan fakta-fakta saintifik yang telah menjadi konvensi umum.
Selamat datang di era post-truth politics; era di mana fakta digerogoti oleh hoaks dan takhayul, semata-mata karena suatu fenemona bertolak belakang dengan keyakinan kelompok. Benar belaka, dari pengakuan Rudi, ia meyakini bumi yang datar dari omongan ustaz di pengajian yang ia ikuti. Sayang, saya luput menanyakan nama sang ustaz atau pengajian yang dimaksud.
Lain waktu, bersama kawan-kawan, saya pernah mendapati seorang anak kecil usia 9 tahun yang begitu meyakini bahwa Indonesia sedang mendapat ancaman PKI. Ia berceloteh dengan penuh kebencian dan menyampaikan pada kami bahwa ia bercita-cita menjadi tentara agar bisa menumpas habis musuh-musuh negara.
Musuh-musuh? kami bertanya. Iya. Selain PKI, orang-orang kafir dan Cina juga mesti ditumpas.
Dari pengakuan tante yang membawanya, orangtua anak tersebut adalah pengikut Aksi Bela Islam dan tinggal di kompleks militer. Sungguh, saya tak bisa membayangkan pertumbuhan mental-intelektual sang bocah. Jalan hidupnya masih teramat lapang dan ia sudah dikondisikan untuk membenci sesama manusia.
***
Ke mana larinya akal sehat? Ke mana perginya nalar?
Dua contoh di atas mewakili kelompok yang sama, yakni pemeluk Islam yang notabenenya merupakan mayoritas di Indonesia. Ada narasi yang dibangun, dan ini memprihatinkan: Islam kerap dizalimi oleh penguasa negeri ini, dan umat harus bangkit untuk melawan penindasan yang terjadi. Setidaknya, hal itu telah dipakai dan terbukti sukses di Pilkada DKI lalu.
Tak syak lagi, narasi ini kembali bergema tahun ini kala negara menghelat Pilkada serentak di 171 daerah. Kita akan kembali bertempur di palagan yang sama. Ekses dari sandiwara yang direka, tanpa mereka sadari, akan bergemuruh di tataran grass-root. Kita akan menemukan segudang persekusi yang berbasis prasangka agama.
Persekusi, perlu saya tegaskan, adalah tindakan main hakim sendiri. Secara substansi, persekusi merupakan bentuk perenggutan hak asasi manusia, baik individu maupun kelompok.
Meninjau kerentanan dan bahaya di balik persekusi, sejumlah kalangan membentuk Koalisi Anti Persekusi. Saat baru membuka hotline Crisis Center pada Juli 2017 lalu saja, terdapat 87 laporan yang masuk terkait tindakan persekusi di Indonesia.
Institusi yang paling berwenang dalam menangani hal ini, Kepolisian RI, mencatat sepanjang 2017 telah terjadi tindakan persekusi di media sosial. Dilansir dari Tempo (17/10/2017), Direktur Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Brigadir Jenderal Fadil Imran menyebutkan, persekusi dilakukan kepada mereka yang dituduh menghina agama atau ulama di media sosial.
Ada yang perlu saya garis bawahi: laporan-laporan yang masuk merupakan aksi persekusi yang terjadi di media sosial. Kasus Mario di Cipinang dan dr. Fiera Lovita di Solok, Sumatera Barat menempeleng kita, bahwa auman mereka tak hanya terjadi di internet, tetapi juga di dunia nyata.
Keduanya bahkan mesti mengalami tindakan tidak mengenakkan berkat apa yang mereka ekspresikan di media sosial. Mario dan dr. Fiera mendapat ancaman dan kecaman karena status mereka mengenai FPI dan pemimpinnya, Rizieq Shihab.
Ini bukanlah fenomena soliter yang hanya terjadi di negara kita. Dunia sedang dilanda demam populisme dan politik identitas. Kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat dan Brexit di Inggris adalah dua contoh yang menunjukkan bagaimana penguasa, ketika letih menggunakan ideologi dan program-program, bersandar pada isu-isu sentimental untuk mendulang suara dan dukugan.
Perasaan terancam, xenofobia, dan ketimpangan sosio-ekonomi membuat elite mudah menunggangi emosi dan kepentingan warga mayoritas di dua negara tersebut.
Bila di Amerika dan Inggris “warga mayoritas”-nya merasa terancam oleh imigran, warga kulit hitam, serta muslim, maka di Indonesia telah terbentuk suatu kebencian terhadap nonmuslim dan nonpribumi. Simak saja pidato pertama Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI yang menggegerkan itu:
"Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami."
Ia memang lantas berkilah, mengatakan bahwa konteks yang ia maksud adalah saat negara berada di era kolonialisme dulu. Namun, implikasi dari pidatonya tersebut begitu jelas, sejelas bulatnya bumi di ujung samudera. Anies ingin menegaskan “kemenangan” kubu politik yang kalah di Pilpres 2014 lalu.
Gugur sudah reputasinya sebagai pendidik dan akademisi. Kata-kata yang ia lontarkan, menurut saya, menumbuhsuburkan kebencian terhadap minoritas, kepada mereka yang berbeda. Kita boleh pula berandai-andai, pidato Anies merupakan upaya pemanasan dalam menghadapi Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.
Jika di awal tulisan saya mengajukan contoh bagaimana prasangka bisa diyakini seorang mahasiswa dan anak kecil, melihat Anies perlu memakai teropong yang lebih jernih lagi. Ia, yang terkenal dengan semboyan “merawat tenun kebangsaan”, adalah elite, seperti Trump dan Theresa May.
Pemakaian simbol-simbol identitas terbukti mujarab untuk meraih dukungan. Mereka tentu abai: kenyataan hidup sehari-hari yang meresahkan bagi kalangan minoritas tidak menjadi persoalan bagi mereka. Mereka hidup di menara gadingnya masing-masing, seraya tersenyum memainkan bidak-bidak di percaturan politik yang membodohkan ini.
Mengapa membodohkan? Karena maraknya penggunaan identitas dalam politik elektoral telah menyeret kita untuk menjauh dari persoalan-persoalan substansial seperti ketimpangan sosial, korupsi, politik dinasti, hingga keterbelakangan pendidikan.
Politik identitas telah memecah belah manusia berdasarkan kesamaan identitas (baik yang terberi, given, maupun identitas pilihan). Padahal, demokrasi seharusnya berlandaskan meritokrasi. Maka bukan masalah bila Jakarta dipimpin oleh seorang keturunan India beragama Hindu, misalnya.
Seorang sosiolog, sejarawan, sekaligus begawan demokrasi, Alexis de Tocqueville telah meramalkan suatu paradoks dari demokrasi yang ia sebut “tirani mayoritas”. Ia memasang alarm:
“Apabila kelompok-kelompok mayoritas menyombongkan diri sebagai berhak mengabaikan minoritas, mereka telah menjadi tirani. Mayoritas yang tidak toleran, yang dipengaruhi oleh nafsu ataupun ketakutan, akan menjadi sebab demokrasi kehilangan kebebasannya.”
Peristiwa nahas yang dialami Biksu Mulyanto merupakan bentuk tirani mayoritas. Adalah konyol jika kelompok mayoritas di Legok sana melarang orang untuk mengadakan kegiatan keagamaan di rumah, sementara umat muslim bisa begitu nyaman beribadah di mana pun—mulai dari masjid, musala, rumah pribadi, hingga tempat-tempat publik seperti Monas.
Kita tidak hidup sendiri. Berkah yang kita alami sebagai mayoritas bisa menjadi “musibah” bagi umat muslim di Amerika dan Eropa. Seperti halnya bocah Mario di Cipinang yang tidak bisa memilih dilahirkan sebagai warga keturunan Cina, kita pun mendapat identitas terberi begitu kita lahir.
Hakikat kemanusiaan ini merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa kita mungkiri. Kata dan pemaknaan toleransi, seyogianya, perlu ditekankan pada argumen saya di paragraf ini.
***
Dalam terawang Benedict Anderson, masyarakat Indonesia sedang mengalami lobotomi sejarah (historical lobotomy) akibat rezim totaliter Soeharto yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Akibatnya, kita dibuat buta dan tunduk mengamini “kebenaran” versi pemerintah.
Lantas kita pun teringat pada Reformasi 1998 yang konon membawa angin perubahan. Hampir dua puluh dekade berselang, kenyataan masihlah jauh panggang daripada api.
Pendidikan politik di era kebebasan informasi sejak awal milenium ternyata mandek. Klaim reformis seperti ‘melenyapkan sisa-sisa Orba’ dan ‘mengembalikan tentara ke barak’ tak terdengar lagi gaungnya.
Dalam ceramah umumnya di Universitas Negeri Jakarta, Profesor Vedi Hadiz mengatakan bahwa populisme, apa pun nilai-nilai negatif yang ia kandung, bisa pula digunakan oleh kelompok politik yang tidak mengandalkan sentimen identitas.
Sayangnya, di Indonesia, populisme yang ada hanyalah populisme kanan dan ‘kanan banget’. Elite politik masih mengandalkan religiusitas (khususnya keislaman) dan nasionalisme sebagai landasan berpolitik mereka.
Demokrasi akan terus tertatih-tatih. Kita ingat, jauh sebelum Reformasi 1998, Soekarno dan founding fathers lainnya menegosiasikan kepentingan-kepentingan yang ada (baca: perdebatan Piagam Jakarta), antara mayoritas vis-à-vis minoritas, agar negara-bangsa yang masih jabang bayi kala itu bisa tumbuh sehat.
Menarik kembali peristiwa sejarah pasca-Reformasi, pertempuran politik pernah mengobarkan konflik horizontal yang begitu dahsyat. Ambon, Poso, Sampit, dan sejumlah daerah lain pernah berkobar dan berlumur darah berkat sentimen identitas yang menuntut banyak korban jiwa.
Ekonomi ambruk, kohesivitas sosial pun meregang. Prasangka meliputi siapa saja, sehingga kita melupakan esensi kita sebagai manusia sebagai makhluk sosial, makhluk yang tidak mungkin bisa hidup sendiri.
Mereka yang bertempur di Pilkada 2018, beserta konsultan kampanyenya, niscaya akan mengabaikan tulisan ini. Sentimen identitas akan terus dijadikan alat untuk memperdaya pemilih.
Antonio Gramsci menyebut bahwa kita memerlukan kaum intelektual organis untuk menginterupsi ideologi dominan yang sedang menghegemoni. Dus, kutukan di media sosial tidaklah cukup. Kita perlu bahu-membahu terlibat “menginterupsi” zaman, seperti apa yang dilakukan orang-orang di Koalisi Anti Persekusi, misalnya.
Kita tentu tidak ingin menunggu pecahnya konflik, bukan, untuk sadar-diri dan menyadarkan sesama, minimal orang-orang terdekat di lingkungan kita?