Hari Minggu, Perpustakaan Daerah (Pusda) di Palembang tetap buka. Pada hari libur seperti ini, pengunjung lebih ramai daripada hari kerja. Ijal sengaja datang agak pagi ketika pengunjung belum terlalu ramai agar bisa tenang mengerjakan tesis.
Setelah menitipkan tas dan sendal pada rak yang telah disediakan, Ijal masuk ke ruang baca dengan menenteng laptop. Ia melirik-lirik sebentar, mencari tempat duduk yang kira-kira paling enak, dan di sudut kiri ia melihat satu tempat duduk kosong dengan seorang gadis tengah fokus membaca di sebelahnya.
“Niat ngerjain tesis, boleh bonus kenalan sama gadis manis. Lumayan, nih. Hehehe,” Ijal cengar-cengir sendiri.
Dengan langkah seorang gentleman, ia menghampiri kursi tersebut. “Di sini kosong, Dek?” tanyanya kepada si gadis. Tak lupa ia menyunggingkan senyum terbaiknya.
“Iyo, Kak,” jawabnya, cuek. Si gadis bahkan tak menoleh.
Waduh, dingin amat ini cewek, batin Ijal sembari membereskan laptopnya di atas meja. Ijal merasa canggung, tentu. Tapi, ia berpikir tak boleh melewatkan kesempatan seperti ini. Maklum, sudah setahun terakhir ia menjomblo. Dan akibat dikejar deadline tesis, seringkali ia tak punya waktu untuk mencari seorang kekasih.
“Lagi baca apo, Dek?” Ijal mencoba berbasa-basi.
Si gadis sedikit menoleh dan menunjukkan cover bukunya. Tanpa berkata sepatah kata pun.
“For Whom the Bell Tolls. Hmm, buku apo itu, Dek?”
“Novel, Kak.”
“Siapo pengarangnyo?”
“Ernest Hemingway.”
“Dak pernah denger, tuh. Pengarang dari luar?”
“Iyo, Kak.”
“Ooo, bagus, yo?”
“Belum tau, Kak. Ini jugo baru baca.” Dari nada suaranya, si gadis agaknya mulai merasa risih ditanya-tanya terus. Ijal pun sesungguhnya menyadari itu.
Ijal diam, tapi masih memandangi wajah si gadis. Matanya yang bulat, ah, alangkah indah. Bibirnya yang tipis, idih, betapa manis. Demi apa yang dilihatnya, Ijal belum hendak menyerah. Ia harus tahu siapa namanya. Juga PIN BBM-nya.
“Adek, sering ke sini?”
“Setiap Minggu.”
“Banyak buku bagus di sini, ye?”
“Kalo buku bagus sih, lumayan, tapi masih kurang dan kebanyakan buku-buku lama. Lagipula, perpus ‘kan cuma di sini.”
“Emang Adek rumahnya di mano?”
“Di Banyuasin, Kak.”
“Ooo Palembang coret, hahaha. Jauh jugo ye, buat sekadar baca buku.”
Si gadis tak menanggapi guyonan Ijal. Ia malah cemberut, membuat bibirnya semakin tampak imut.
“Eh, Dek, denger kabar bakal dibangun perpustakaan DPR? Katanya terbesar se-Asia Tenggara, lho!”
“Sudah tahu, Kak, terus?”
“Kok, terus? Bagus, dong, buat meningkatkan minat baca masyarakat, apalagi buat Adek yang seneng baca buku, pasti dak bakalan kurang bahan bacaan.”
“Apanya yang bagus? Apanya yang buat masyarakat? Dikira Indonesia masyarakatnya cuma ada di Jakarta doang? Terus, gimana nasib yang tinggal di daerah-daerah? Kalau saya mau baca buku-buku bagus, terus disuruh naik pesawat ke Jakarta, begitu? Mampus, deh, saya”
“Jadi... menurut Adek?” tanya Ijal yang kurang menangkap maksud si gadis, karena bicaranya yang cepat.
“Ya, kalo alasannya bener-bener buat meningkatkan minat baca masyarakat, sebagusnya, sih, fokusin dulu ke pemerataan perpustakaan yang baik. Lihat sendiri ‘kan, perpustakaan tingkat provinsi aja masih kurang begini. Belum lagi perpustakaan tingkat kota dan kabupaten, buku-bukunya kurang banget. Jangan tanya yang di kecamatan atau di desa-desa di luar pulau Jawa, malah ada yang enggak tersentuh perpustakaan.”
Ijal melongo dengan tampang bego. Tapi, si gadis terus nyerocos.
“Bayangin coba, dana yang 1,6 triliun itu dan yang katanya bisa ditambah dana penghematan yang lain-lain itu, dialihkan ke perpustakaan daerah aja, pasti lebih bagus. Emang buat apa, sih, perpustakaan dibikin gede-gede di gedung wakil rakyat, sementara rakyatnya masih banyak yang susah akses buku? Halah, modus!”
“Hah? Modus? Maksudnya apo, Dek?”
“Iya, kayak Kakak, nih. Datang ke perpus, lagaknya bikin tugas, padahal cuma mau nyari cewek. Modus! Udah ah, aku balik, baca buku di rumah bae.” Si gadis dengan cepat membereskan buku-buku di atas mejanya. Kemudian, melengos pergi.
Dan Ijal hanya memandangi si gadis. Setelah itu, Ijal baru sadar, ia lupa menanyakan nama si gadis. Juga PIN BBM-nya. Parahnya lagi, ia lupa alasannya datang ke perpustakaan.