Untuk memulai tulisan ini, saya ingin melempar sebuah pernyataan sensitif kepada para pembaca. Menikah atau tidak itu pilihan, BUKAN kewajiban. Setidaknya sampai saat ini, belum ada aturan resmi dalam bentuk hukum positif dari sebuah negara dan budaya masyarakat yang memberikan aturan bahwa setiap orang wajib menikah.

Hukum pernikahan muncul dalam beberapa agama sebagai niat baik dalam membangun moralitas dengan asumsi bahwa pernikahan menghindarkan seseorang dari perzinaan dan free sex. Dalam Islam-pun, pendapat yang saya jadikan dasar adalah pendapat Jumhur Ulama (Mayoritas Ulama) bahwa pernikahan hukumnya adalah sunnah. Meskipun, pada kondisi yang mendesak hukum menikah bisa berubah menjadi wajib. Namun, hal tersebut hanya berlaku pada situasi tertentu, tidak berlaku universal. Silakan Anda cari sendiri hadits-hadits yang sudah sangat populer tentang anjuran pernikahan.

Jika Anda cukup rajin mengikuti atau setidaknya pernah mendengar kajian-kajian atau halaqah (Liqa’), yang akhir-akhir ini patut disyukuri bahwa jumlahnya semakin banyak, salah satu tema yang seringkali digaungkan kepada para pesertanya adalah tentang pernikahan. Lebih tepatnya lagi adalah ajakan nikah muda. Fenomena tokoh publik yang melakukan nikah muda seolah meligitimasi gagasan nikah muda yang banyak disuarakan oleh lembaga dakwah yang berlabel syar’i yang banyak kita temui di media sosial.

Sebut saja pernikahan putra Ust Arifin Ilham, Alvin dengan Larissa dan pernikahan seorang hafidz muda terkenal, Taqy Malik dengan Salmafina. Tak ayal, hal itu serentak membuat para remaja putri melakukan gugatan besar-besaran kepada pasangannya untuk segera di halal-kan (dinikahi). Merepotkan bukan? Saya rasa para ramaja putra akan menjawab iya.

Berbagai klausul fiqh yang berlandaskan ayat dan hadits menjadi senjata untuk melakukan ajakan kepada para muda-mudi untuk segera menikah. Entahlah, sepertinya mereka abai terhadap kondisi kesiapan (materi, mental, dll) para generasi millenials, yang terpenting ayo segera menikah. Untuk itu, mari kita sedikit melihat anjuran Rasulullah tentang pernikahan. Rasulullah menganjurkan melalui sebuah riwayat,

“Hai pemuda, siapa diantara kalian yang al-ba’ah (mampu) untuk menikah, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya”, (HR. Bukhari)

Ada dua kata yang ingin saya garis bawahi sehingga hadits tersebut saya kutip. Pertama, kata al-syabab yang menurut Imam Syafi’i berarti remaja/pemuda yang sudah dewasa secara akal yang akan menyempurnakan umur tiga puluh tahun. Kedua, kata al-ba’ah yang menurut penafsiran Imam Suyuthi dalam konteks hadits ini berarti seseorang yang memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah secara lahir dan batin. Kedua kata tersebut memiliki sejarah perdebatan yang panjang untuk menentukan kriteria seseorang yang mendapat anjuran untuk menikah.

Pertanyaan besarnya adalah, Siapakah al-syabab itu? Lalu kapankah seseorang dikatakan mampu untuk menikah? Apabila kita menukil pendapat sebagian besar ulama, ternyata tidak ada petunjuk pasti di usia berapa seseorang harus menikah. Selain itu, jika merujuk pada makna hadits Nabi ini, kategorinya adalah ketika mampu. Artinya agama memberikan kesempatan bagi seseorang untuk “memampukan diri” (mampu dalam berbagai aspek) ketika hendak melangsungkan pernikahan guna kemaslahatan rumah tangganya kelak.

Sebagai seorang pemuda yang sudah menginjak 26 tahun, saya tentu akan sangat kritis berpikir tentang hadits itu. Ada berbagai alasan untuk mencurigai diri saya sendiri, jangan-jangan saya adalah kategori seseorang yang “mampu” yang dianjurkan untuk segera menikah. Sebelum saya memutuskan sudahkah saya dalam kategori mampu, saya menemui hambatan bahwa ternyata ada beberapa ketidaktepatan berpikir yang kita alami selama ini tentang berbagai argumen pernikahan tersebut.

Pertama: Agama memerintahkan untuk sesegera mungkin menikah dan pernikahan dapat menundukkan pandangan dan menjauhkan diri dari zina. Argumen ini tidak sepenuhnya benar. Pernyataan tersebut memberikan kesan seolah-olah menikah di usia semuda mungkin adalah dorongan agama, dengan dalih menghindari perzinaan/menyalurkan kebutuhan biologis secara sah.

Ada upaya untuk mempersempit makna dari anjuran pernikahan yang sesungguhnya. Alih-alih sebagai bentuk ketaatan terhadap anjuran agama, pernikahan bisa menjadi ajang pelampiasan. Pernikahan yang harusnya memiliki nilai kemuliaan karena bukan hanya akan mempersatukan sepasang manusia, tetapi juga menyatukan budaya yang didalamnya terdapat kebiasaan, norma, dan nilai luhur keluarga, harus direduksi nilainya oleh anjuran yang kebablasan. Toh juga, tidak semua yang menunda waktu pernikahan—meskipun sudah mampu—itu pasti akan terjerumus pada praktik perzinaan.

Menunda waktu pernikahan juga tidak berarti melegalkan apalagi mendukung praktik pacaran. Sebaliknya, seseorang yang sudah menikah belum tentu mampu menghindari perzinaan. Saya juga ingin menegaskan pandangan saya bahwa nikah itu bukan substansinya. Pernikahan adalah media atau jalan untuk mencapai substansi atau tujuan. Pernikahan hanya menjadi salah satu pintu dari beragam pintu menjauhkan diri dari fitnah dan zina. Pernikahan bukan tujuan akhirnya, ia hanya sekedar media yang membawa pesan agar kita mampu mengelola nafsu kita dengan tepat.

Kedua, Argumen bahwa untuk menikah tidak perlu menunggu mapan, yang penting sudah saling menerima. Menurut hemat saya, argumen tersebut patut dikritisi. Kata mapan bersifat multitafsir yang hasilnya bisa sangat subjektif. Sampai pada titik ini, kita harus cerdas menentukan sikap. Pernikahan adalah ibadah sebagai bentuk ketaatan yang harus didasari ilmu. Mungkinkah sepasang suami istri yang belum mapan membangun rumah tangga? Akankah kebutuhan rumah tangga juga ikut dibebankan kepada orang tua? 

Berapa banyak kasus perceraian, tindakan kriminal, bahkan kasus bunuh diri yang faktor utamanya adalah desakan ekonomi?. Maka memapankan diri adalah upaya kita menghindari mudarat-mudarat yang akan terjadi kemudian. Meskipun juga kita tidak harus menunggu sepenuhnya mapan untuk memulai pernikahan. Maka, saya tegaskan di awal tadi kita harus pandai menentukan sikap.

Penelitian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik dan Badan PBB untuk anak-anak (UNICEF) menemukan bahwa angka pernikahan dini di Indonesia tergolong tinggi, yaitu pada kisaran 25% dari total pernikahan setahun. Persentase tersebut meningkat sejak tahun 2010, seiring meningkatnya angka perceraian di Indonesia. 

Data yang saya baca juga berbicara senada bahwa pada tahun 2017, angka perceraian di Indonesia menjadi nominasi tertinggi di negara-negara Asia Pasifik. Bahkan dalam rentang 2009 – 2016, kenaikan angka perceraian sangat signifikan mencapai 16-20%. Sedangkan pada 2015 silam, setiap satu jam terjadi 40 sidang perceraian atau ada sekitar 340.000 lebih gugatan cerai. Dan ini didominasi oleh pasangan muda.

Realitas di masyarakat menunjukkan pernikahan yang tidak dilandasi persiapan yang matang justru menjadi penyebab banyak masalah. Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, angka pernikahan dini di Indonesia berada di peringkat ke-2 se-Asia Tenggara. Sekitar 2 juta perempuan Indonesia menikah di bawah usia 15 tahun dan putus sekolah. Bukan hanya itu, hampir kebanyakan pernikahan dini berakhir pada perceraian.

Fenomena saat ini, urusan pernikahan—yang harusnya sakral dan sama sekali tidak boleh disepelekan—menjadi seakan barang murah. Saya pribadi sudah teramat sering mambaca dan menemui bergai iklan jasa yang isinya tentang budget pengeluaran biaya untuk nikah, dengan akhir kalimat, “yang penting sah”. Tidak sampai 1 juta. Saya sempat berpikir, alangkah mudahnya kita bisa diperdaya oleh sebuah iklan yang berisiko membuat pola pikir yang simplikatif dari hal yang tidak selayaknya disederhanakan, meskipun tidak perlu pula dirumitkan.


Ketiga, argumen bahwa mencari ilmu akan lebih giat jika dilakukan setelah menikah yang sepertinya tidak berlaku di sistem masyarakat kita. Saya pernah mendengar ucapan salah seorang teman saya yang kebetulan dia adalah santri. Ada pernyataan klasik dikalangan santri yaitu, quthi‘al ilmu bi fakhidzaihâ (ilmu akan tersembelih atau terputus di antara kedua paha) yang maknanya bahwa semangat mencari ilmu akan mengendur jika sudah memikirikan wanita (apalagi dibebani kebutuhan ekonomi). Saya tidak terlalu kaget mendengar ungkapan tersebut yang notabene ada banyak ulama memutuskan untuk tidak menikah sampai batas waktu tertentu hanya untuk menuntut ilmu.

Dan masih banyak alasan lainnya yang cenderung imajinatif dengan bermodalkan testimoni pengalaman segelintir pihak yang sukses menikah di usia muda tanpa pernah mengungkapkan berbagai konsekuensi negatifnya.

Pertanyaannya adalah mengapa para Da’i populer dan lembaga dakwah kekinian tersebut cenderung aktif mengajak anak muda menikah, dibanding memberikan pemahaman atau pembekalan yang konkret bagi para anak muda sebelum menikah? Mengapa yang mereka angkat sebagai isu hanya melihat, misalnya Aisyah, yang menikah muda dengan Rasulullah? 

Mengapa mereka tidak pernah mengkampanyekan bagaimana menjadi wanita kuat, mandiri, dan tangguh seperti Aisyah? Mengapa mereka tidak pernah membahas bagaimana menjadi business woman yang mapan ekonomi seperti Khadijah? Mengapa mereka tidak pernah menyediakan kiat bagaimana menjadi wanita yang berwawasan luas seperti Saudah? Mengapa mereka tidak pernah mengangkat tema bahasan bagaimana menjadi wanita kreatif seperti Zaenab? Entahlah, tujuan komersil agaknya yang paling sesuai jika kita ingin mengetahui alasannya.

Kembali ke kalimat di awal tulisan ini bahwa menikah atau tidak itu sebuah pilihan, bukan kewajiban. Tulisan ini saya tujukan bukan untuk menjadi bahan perdebatan di antara kita. Sebaliknya, tulisan ini justru harusnya bisa menunjukan bahwa pernikahan adalah hak paling personal yang merupakan perwujudan dari kata “pilihan” yang saya suguhkan di awal. Sebagai sesuatu yang sifatnya personal, alangkah baiknya kita menghindari untuk sering-sering melempar pertanyaan kepada para single perihal “Kapan kamu nikah?”.

Lantas apakah saya anti dengan nikah muda? Atau barangkali pembaca yang budiman telah menyimpulkan bahwa saya anti dengan pernikahan? Oh come on guys, be realistic! Bagi saya, seseorang yang jatuh cinta itu sangat posesif. Cinta akan menuntut kepemilikan meskipun seringkali dia bersembunyi di balik kata “merelakan”.

Untuk seseorang yang jatuh cinta, memiliki orang yang dicintai akan menjadi puncak pencapaian cintanya. Dan menikah adalah jalan terbaik untuk menegaskan status tersebut. Begitu sudah tercapai apa yang dia cintai, dia akan berjuang untuk tidak pernah melepaskannya, apapun itu caranya. Coba bayangkan, cinta bisa sangat mengerikan bukan? Jawaban saya tidak. Lihatlah cinta Tuhan ke kita. Tuhan begitu “posesif” kepada kita. Jika kalian menduakan Aku, Aku tidak akan pernah mengampuni dan menerima kalian lagi, begitu kira-kira Tuhan ingin berkata bagi orang-orang yang menyekutukannya. Bukankah itu bukti kuat bahwa cinta menuntut kepemilikan?

Kembali ke pertanyaan apakah saya anti terhadap pernikahan? Silahkan mendefinisikan arti atau tujuan pernikahan menurut kehendak Anda masing-masing. Saya akan menjawab dengan lantang bahwa saya sangat mendukung dan menganjurkan pernikahan. Bahkan terkadang ada momen dimana saya larut dan tenggelam dalam adegan kehidupan orang lain yang saya tonton, yang seperti membuat saya ingin menikah dan mempunyai anak saat itu juga. Saya sama sekali tidak anti pernikahan—saya hanya tidak setuju terhadap pembiasan nilai, reduksi makna, penjajahan pola pikir, dan pemaksaan atas nama dalil, dan propaganda yang dogmatis.

Untuk menutup tulisan ini, saya bersyukur bahwa tahun ini teman dekat saya banyak yang akan melangsungkan pernikahan. Saya ucapkan selamat kepada kalian. Kalian akan memasuki kehidupan yang lebih kompleks permasalahannya. Lantas bisakah Anda membayangkan efeknya kepada saya? Bisa dipastikan, sebentar lagi semua orang akan menanyakan, “Kamu kapan menikah? Teman-temanmu sudah menikah semua loh?”. Kemudian saya akan menjawabnya dengan ini, “Renungkanlah ini: Dua manusia— yang dewasa secara biologis dan di mata hukum—sama-sama saling menaruh rasa dan harapan untuk bersama, saling mencintai, dan ingin membangun sebuah bahtera keluarga, apakah bisa benar-benar bebas memutuskan segalanya?

Atau sebaliknya, apakah keputusan itu harus ditentukan oleh orang-orang di sekitar yang tidak tahu apapun tentang hidup kedua manusia itu? Apakah itu harus diputuskan oleh kedua orangtua mereka? Atau malah akan menjauh, bahwa Apakah keputusan itu harus ditentukan oleh mereka yang mengaku mengelola Negara atau pembuat hukum di gedung kura-kura yang bahkan tidak pernah bertemu kedua manusia itu? Atau para kaki tangan Tuhan yang nahasnya suka “pamer” kealiman di media-media?

Atau, cukupkah keputusan yang sangat personal itu, diputuskan oleh—dan hanya oleh—kedua manusia itu saja? Silahkan merenung untuk mendapatkan jawaban yang otentik dan objektif.” Saya akan tersenyum mengejek dan sambil berlalu pergi saya akan berkata, “Piye, wes mumet karo jawabanku?