Hari ini saya tidak sengaja membaca berita dari Kompas yang sebenarnya saya temukan di notifikasi Handphone genggam terkait akan ditayangkanya pernikahan Rizki Billar dan Lesti Kejora dengan memakai frekuensi publik untuk urusan pribadi selama 7 jam.
Sedikit kesal, kaget dan terpukul, sehingga membuat saya merasa geram dan bentuk tulisan ini sebagai kritik dan rasa kekesalan dan kekecewaan. Bukan karena ada rasa iri, tapi karena selama ini saya selalu konsisten untuk menutup mata saya dengan acara-acara yang kurang mendidik untuk pelajar-pelajar kita di desa-desa.
Sebenarnya, saya pribadi tidak tahu siapa mereka berdua? Sudah kurang lebih 10 tahun saya tidak pernah lagi menonton televisi, dan sehingga saya buta dengan acara-acara di televisi nasional dan terlebih lagi pada akun-akun sosial media saya tidak ada satupun mengikuti artis-artis Indonesia sehingga saya ketinggalan dunia keartisan, Rizki Billar dan Lesti Kejora mungkin mereka adalah artis yang terkenal atau apapun itu.
Saya pribadi tidak begitu perduli karena saya sendiri tidak menata masa depan di bidang tersebut sehingga bukan berarti saya sombong, ya karena memang tidak memberikan dampak yang positif di kehidupan saya.
Menjadi sebuah persoalan terkait penayangan tersebut sehingga membuat saya sedikit gregetan pada media televisi saat ini. Pasalnya masyarakat di desa-desa diberikan konsumsi-konsumsi tayangan yang tidak berfaidah dan tidak berpendidikan. Hal tersebut saya rasakan sendiri karena saya lahir di desa, yang mana masyarakat selalu mengkonsumsi tayangan televisi apapun itu.
Sekali lagi, saya merasakan itu karena saat saya pulang ke desa tempat kelahiran, masyarakat di desa hanya disodorkan tontonan yang merusak mental dan kebiasaan yang tidka baik. Berbeda, seperti masyarakat di kota-kota besar, yang hidup di tengah-tengah kota dengan segala keberadaannya, mereka mungkin sudah meninggalkan tayangan sinetron dan lainya di televisi nasional saat ini.
Ya tidak salah jika hasil daripada buah anak-anaknya memiliki masa depan yang cemerlang nan indah. Berbeda dengan masyarakat di kampung yang selalu menghabiskan waktu mereka di depan televisi dengan tayangan yang tidak mengedukasi. Jadi, jangan heran jika pendidikan hanya tumbuh berkembang di daerah perkotaan.
Bahkan terkadang ketika saya pulang ke kampung halaman, saya selalu menegor dan mengingatkan beberapa orang untuk menghabiskan waktunya di depan televisi sambil menonton tayangan-tayangan yang tidak memberikan pengetahuan (mengedukasi), dan coba untuk menonton dengan tayangan yang mengedukasi saja.
Hal tersebut karena kepedulian saya dengan pendidikan di desa-desa, sebab saya merasakan sediri tayangan di televisi memberikan dampak yang cukup besar terhadap motivasi belajar anak-anak di desa.
Membahas kembali masalah tayangan pernikahan Lesti-Billar. Hal ini, menjadi bukti bahwa kualitas tayangan televisi kita jauh dari kata "sempurna" dan "mengedukasi".
Saya mendukung dan mengapresiasi sekali terhadap keperdulian Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Jawa Barat yang telah meminta KPI Pusat untuk melayangkan surat teguran kepada stasiun televisi yang menayangkan pra-pernikahan dan akan melakukan penayangan pernikahan pada tanggal yang mendatang, tepatnya tanggal 18-19 Agustus 2021.
Namun, saya masih menunggu. Apakah masih ada KPID daerah provinsi lainya yang ikut serta responsif seperti apa yang dilakukan oleh KPID Jawa Barat. Sebab, jika tidak ada. Hal ini akan membahayakan dan membuktikan bahwa KPID daerah lainya mungkin dapat disimpulkan sementara tidak memperdulikan dengan apa yang menjadi kualitas tayangan pertelevisian yang mana memberikan dampak pada masyarakatnya. daerah kita
Hal terkait telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dalam melakukan penayangan pra-pernikahan Lesti-Billar. Hal tersebut telah melanggar pasal 11 ayat 1 Standar Program Siaran yang mana standar penyiaran publik digunakan untuk kepentingan pribadi atau suatu kelompok saja.
Di sisi lain juga telah melanggar Pasal 13 ayat 2 yang mana menjelaskan bahwa kehidupan pribadi tidak boleh ditayangkan secara publik, kecuali demi kepentingan publik. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah apakah tayangan Pra Pernikahan Rizki-Billar dan Lesti termasuk demi kepentingan publik?
Saya katakan dengan tegas, tidak. Hal tersebut tidak memberikan manfaat yang luas baik kepada masyarakat kita. Justru malah sebaliknya, tayangan tersebut justru telah memberikan dampak yang negatif pada masyarakat luas dan secara tidak langsung telah merendahkan profesi jurnalistik dan industri kreatif kita.
Sungguh ironi per-televisi-an kita saat ini yang hanya mementingkan masalah finansial tampa memperdulikan kepentingan umum masyarakat kita.
Sungguh tayangan ini menjadi cerminan industri kreatif kita yang masih terbilang kekanak-kanakan. Benar yang dikatakan Eni Maryani, Akademisi Unpad yang menyatakan "apa kreatifnya, industri kreatif kita menayangkan pernikahan" Kasus sebelumnya sudah terjadi, hal ini mungkin kali kedua, atau mungkin akan berlanjut lagi nanti!
Semoga hal demikian tidak terulang kembali!
KPI dalam hal ini harus bersikap lebih tegas lagi, etika sebagai landasan dasar hidup masyarakat kita harus benar-benar tercerminkan dengan kualitas tayangan televisi yang bermoral, beretika, dan berpendidikan. Selama ini, saya melihat KPI masih selalu kecolongan dan kurang memperhatikan etika.
Tidak heran jika kualitas pendidikan dan literasi kita berada di golongan pada tingkat paling rendah. Ini sebagai cerminan kualitas edukasi tayangan di televisi nasional kita saat ini. Semoga apa yang terjadi saat ini tidak terjadi berulang kali kedepannya.