Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy pernah menyampaikan bahwa peringkat stunting Indonesia di tingkat global cukup memprihatinkan. Dari 151 negara di dunia, Indonesia berada pada posisi 115 dalam permasalahan stunting. Ini ada permasalahan pahit yang harus diatasi.
Stunting terjadi karena permasalahan gizi buruk yang dialami oleh bayi sampai berumur 2 tahun. Akibat kekurangan gizi dan terserang infeksi berulang selama 1.000 hari pertama kehidupannya, maka bayi tersebut dapat mengalami stunting. Anak stunting sering disebut juga anak kerdil.
Anak yang mengalami stunting, dapat dilihat ketika tinggi badan anak lebih pendek dibanding teman seusianya, dan terindikasi kekurangan gizi. Ukurannya adalah di bawah 2 standar deviasi. Namun, tidak semua anak pendek itu stunting, tapi anak stunting sudah pasti pendek. Anak dapat dikatakan stunting jika ia pendek, kurang gizi, dan sering sakit.
Permasalahan stunting bukan hanya berdampak pada pertumbuhan tinggi badan saja, namun lebih dari itu. Anak yang mengalami stunting juga akan mengalami gangguan pada perkembangan otak dan sistem kekebalan. Dampak lebih lanjut anak akan mengalami gangguan kecerdasan, rentan dari penyakit, dan nantinya berisiko terhadap tingkat produktivitas.
Begitu pentingnya kecukupan gizi anak untuk mencegah stunting, maka pemerintah perlu memonitor perkembangan stunting dan penanganannya. Pemerintah perlu mengevaluasi program-program pencegahan anak stunting. Untuk itu, maka pemerintah melalui Kementerian Kesehatan melakukan survei terkait status gizi anak Indonesia.
Hasil Survei/Studi Status Gizi Indonesia, menunjukkan angka prevalensi stunting yang terus menurun, namun masih relatif tinggi. Pada tahun 2018 angka prevalensi stunting sebesar 30,8%, kemudian mengalami penurunan tahun 2019 menjadi 27,7%. Angka prevalensi stunting terus turun hingga tahun 2021 menjadi 24,4%. Namun masih di atas angka dunia 22%.
Walaupun angka prevalensi stunting mengalami penurunan, pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menekan kasus kurang gizi yang dapat menyebabkan stunting. Angka prevalensi stunting yang mencapai 24,4% tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Jika dikaitkan dengan target pemerintah tahun 2024 sebesar 14%, maka pemerintah bersama masyarakat harus berupaya lebih giat lagi agar target tersebut dapat tercapai. Untuk mencapai target tersebut, angka stunting harus turun minimal 3,47% per tahun. Ini bukan suatu hal yang mudah.
Agar penurunan angka stunting lebih cepat, pemerintah menyusun strategi nasional percepatan pencegahan stunting. Berbagai program intervensi gizi dilakukan. Upaya tersebut tentu perlu dievaluasi agar terukur tingkat keberhasilannya. Sebuah instrumen sebagai alat bantu evaluasi telah disusun berupa Indeks Khusus Penanganan Stunting (IKPS).
IKPS disusun berdasarkan beberapa dimensi, yaitu dimensi kesehatan, gizi, pangan, pendidikan, perumahan, dan perlindungan sosial. Intervensi terhadap enam dimensi tersebut perlu dilakukan pemerintah untuk mempercepat penurunan stunting. Dan pelaksanaannya perlu dievaluasi.
Capaian IKPS selama 3 tahun terakhir terus meningkat. Pada tahun 2018 angka IKPS mencapai 63,9, kemudian mengalami peningkatan tahun 2019 menjadi 66,1. Tahun 2020 meningkat lagi mencapai 67,3. Dari angka IKPS 2020, capaian tertinggi terdapat pada dimensi pangan sebesar 88,8, yang mengindikasikan penanganan Stunting pada dimensi ini cukup baik.
Ada 2 indikator yang diukur pada dimensi pangan. Kerawanan pangan dan ke tidak cukupan konsumsi pangan. Indikator kerawanan pangan untuk melihat kemampuan masyarakat dalam mendapatkan/mengakses pangan yang memadai. Data ini didapat dari pengalaman masyarakat terhadap keparahan kerawanan pangan.
Sedangkan indikator ke tidak cukupan konsumsi pangan adalah prevalensi masyarakat yang tidak mengalami kecukupan konsumsi pangan. Indikator ini untuk melihat kemampuan masyarakat dalam memenuhi kecukupan konsumsi pangan minimum untuk hidup sehat.
Sedangkan capaian terendah adalah dimensi perlindungan sosial yaitu sebesar 30,0. Dimensi ini diukur dari indikator pemanfaatan jaminan kesehatan dan penerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS)/Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Capaian yang relatif rendah itu, tentu harus mendapat perhatian.
Dimensi lain yang capaiannya masih relatif rendah adalah pendidikan (41,7). Indikator yang menyusun dimensi ini adalah angka partisipasi kasar pendidikan anak usia dini (APK PAUD). Sebelum memasuki jenjang pendidikan sekolah dasar, anak pada usia 3-6 tahun perlu mendapat pendidikan yang sesuai untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangannya.
Pada penanganan Stunting, PAUD diperlukan untuk membantu dalam pembentukan kecerdasan anak. Anak akan diajak bermain sambil belajar, hal ini perlu untuk memberikan rangsangan pendidikan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak usia prasekolah. Diharapkan anak akan mempunyai persiapan optimal sebelum menduduki pendidikan dasar.
Dari 6 dimensi penyusun IKPS, 2 dimensi perlu mendapat perhatian lebih. Capaian IKPS pada dua dimensi tersebut cukup rendah, yaitu dimensi perlindungan sosial dan dimensi pendidikan. Capaian pada dua dimensi tersebut berbeda cukup jauh dengan dimensi pangan, selisihnya masing-masing sebesar 58,8 dan 47,1.
Penanganan Stunting bukan hanya menjadi tugas pemerintah, tapi sangat diperlukan dukungan masyarakat untuk saling bahu-membahu demi masa depan bangsa yang lebih baik. Pemerintah membangun dengan baik fasilitas yang bermanfaat, masyarakat dapat memanfaatkan fasilitas tersebut dengan baik dan bijak.
Ayo cegah Stunting.