Laiknya tangga, segala sesuatu memiliki tingkatannya masing-masing. Begitu pula dengan kebenaran dan kebohongan. Ada kebenaran yang tak sepenuhnya benar, atau kebohongan yang tak selalu bolong. Studi soal jurnalisme era modern mengungkap banyak level untuk benar dan bohong. Yakni tentang seberapa benar sebuah kebenaran yang disajikan, dan sebaliknya.
Ketika membahas soal benar-tidak benar, jurnalisme tidak sedang membicarakan perihal dosa atau tidak; jurnalisme tak peduli soal itu. Ini soal tingkat akurasi berita yang disampaikan. Lagipula, tak semua kebenaran yang disampaikan bisa langsung ditukar dengan pahala, sebab kebenaran tak hanya berdasar pada “apa”, tapi juga “siapa” dan “bagaimana”.
Ada kebenaran jenis bandwagon, yakni kebenaran yang hanya disandarkan pada keyakinan mayoritas. Jika mayoritas orang meyakini bahwa mengenakan Petai di kepala bisa menjadikanmu wakil kepala negara, maka itulah kebenaran yang dibenarkan.
Ada pula kebenaran jenis Appeal to Autorithy, yakni jenis kebenaran yang bergantung pada kuasa otoritas. Yang dimaksud otoritas ini tak selalu penguasa atau atasan, ya. Siapapun yang memiliki posisi superior atas dirimu, masuk dalam kategori ini.
Para suami atau cowok pasti pernah berada di kondisi ini.
“Sayang, 2+3 itu 5, bukan 212.”
“Ih, kamu kok nggak percaya amat sih sama akuh. Kita putus!”
Yang paling sering terjadi sekarang, terutama dalam konteks pemberitaan di media, adalah The Texas Sharpshooters. Yakni memilih data sebagian saja untuk mendukung argumen yang dibangun. Dalam konteks ini, penyaji berita tidak berbohong –karena nyatanya memang tidak—, penyaji berita hanya tidak menyampaikan sumber secara utuh.
“Kamu udah pernah lihat Gajah? Bokongnya gueeede banget, edyan!”
“Iya, begitu juga seluruh bagian tubuhnya, semuanya guuuede, Samsul!”
Nah, berita soal bokong bohong kerapkali tidak diproduksi hanya untuk iseng semata, ada banyak agenda yang sengaja diselipkan di dalamnya. Agenda itu bisa berupa kepentingan politis, tendensi agamis, atau bahkan pengerahan massa untuk gerakan anarkis. Menariknya, Amerika tak melarang aktifitas ini, sebab mereka melindungi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat.
Orang boleh mengatakan apa saja yang ingin mereka katakan. Seburuk apapun itu. Bahkan tepat di depan Gedung Putih, pemerintah mengijinkan orang untuk tak hanya menyampaikan protes, tapi bahkan untuk mendirikan tenda agar bisa protes lebih lama.
Tak ada aturan soal Pencemaran Nama Baik, Penistaan Agama, Perbuatan Tidak Menyenangkan, bodyshaming, dll. Masyarakat dilindungi kebebasaanya untuk menyampaikan pikirannya.
Jadi nggak usah sok sensi, bentar-bentar ngambek, tersinggung, marah trus pipis sembarangan. Soalnya, ada loh orang gendut yang nggak terima pas disebut gendut.
“Ya jangan bilang gitu lah, Bro. Tersinggung guwe”
“Oke, Guwe nggak akan nyebut elo gendut.”
“Thanks, Bro. Trus lu nyebut guwe apa?”
“Bengkak!”
Bahkan ketika sampai pada ranah radikalisme dan terorisme, terutama di dunia maya, pemerintah tetap tidak menggulirkan aturan spesifik untuk mengurangi perlindungan mereka terhadap kebebasan berpendapat setiap warganya.
“Kami tidak akan menutup akun atau situs yang digunakan warga untuk menyampaikan pandangannya,” kata salah seorang pejabat dari lembaga terkait di US.
“Tapi kami mendorong agar penyedia layanan online seperti Google, Facebook dan sejenisnya melaksanakan kebijakan mereka masing-masing untuk memastikan tak ada ungkapan kebencian beredar di platform mereka, berdasarkan pada term and conditions yang mereka terapkan,” lanjutnya.
Fokus utama pemerintah US dalam penanganan soal radikalisme dan terorisme memang bukan pada pembatasan hak bersuara warganya, tetapi pendampingan dan pemenuhan hak yang merata. Kalau pemerintah terlalu sibuk ngurusin apa yang boleh dan tak boleh dikatakan, ini pimpinan negeri atau ibu tiri, sih?
Pemerintah memang memberlakukan aturan tegas untuk aksi-aksi kekerasan; siapapun yang melakukan pelanggaran ini, pemerintah sudah siapkan penjara untuk ‘dinikmati’. Ini tidak berarti pemerintah US menganggap enteng soal radikalisme dan terorisme dan tidak memberlakukannya sebagai ancaman yang serius, nggak banget! Mereka tahu bener, radikalisme dan terorisme memiliki efek domino yang sangat besar, bukan hanya untuk mereka internal US, tetapi untuk seluruh dunia.
Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah US untuk menangani radikalisme dan terorisme online berfokus pada upaya pencegahan, bukan penegakan hukum. Karenanya, mereka fokus pada upaya menemukan strategi-strategi intervensi untuk mencegah agar hal buruk tak perlu terjadi.
Kebijakan ini tak hanya diberlakukan untuk radikalisme dan terorisme saja, tapi untuk semua jenis pemikiran atau tindakan yang mengarah pada kekerasan. Sebagai informasi saja, pemerintah US tak pernah secara resmi menyebut sebuah gerakan kekerasan dengan label terroris, yang belakangan memiliki tendensi buruk ke komunitas Muslim saja. Apalagi, di US, jumlah Muslim tak lebih dari 1% populasi; benar-benar remahan Rengginang.
Mereka menyebutnya ideologically-motivated violence, bukan teroris! Lalu, siapa yang menyebutnya menjadi teroris dan membuatnya begitu bombastis? Tentu saja media.
Laporan dari lembaga think-tank yang berbasis di Washington DC, Institute for Social Policy and Understanding (ISPU) menyebut bahwa media memberi perlakukan berbeda terhadap tindak-tindak pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Muslim.
Laporan ini menemukan bahwa media mengangkat pemberitaan soal pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Muslim 302% lebih banyak daripada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh warga dari kelompok lain.
Nah, dalam konteks inilah pertanyaan soal akurasi kebenaran dari berita yang disampaikan perlu dipertajam. Bisa jadi, media memang tidak sedang berbohong ketika memberitakan soal pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Muslim, tapi jika pola penyampaian yang dilakukan masih pake The Texas Sharpshooters, maka kita tak akan bisa melihat gambaran yang lebih luas; hanya selesai di bokong gajah!
“Jadi bukan bohong, ya?”
“Bukan. Hanya tak menyampaikan fakta secara lengkap saja”
“Kalau Gisel yang sekarang jadi pacarmu, bohong kan?”
“Well, bisa saja ini rahasia ilahi yang belum pantas kamu ketahui…”