Semasa pemerintahan Orde Baru, pembangunan ekonomi mampu menambahkan banyak pekerjaan baru di Indonesia, yang dengan demikian mampu mengurangi angka pengangguran nasional. Sektor-sektor yang terutama mengalami peningkatan tenaga kerja (sebagai pangsa dari jumlah total tenaga kerja di Indonesia) adalah sektor industri dan jasa sementara sektor pertanian berkurang: pada tahun 1980-an sekitar 55 persen populasi tenaga kerja Indonesia bekerja di bidang pertanian, tetapi belakangan ini angka tersebut berkurang menjadi di bawah 40 persen.
Namun, Krisis Keuangan Asia (Krismon) yang terjadi pada akhir tahun 1990-an merusak pembangunan ekonomi Indonesia (untuk sementara) dan menyebabkan angka pengangguran di Indonesia meningkat menjadi lebih dari 20 persen dan angka tenaga kerja yang harus bekerja di bawah level kemampuannya (underemployment) juga meningkat, sementara banyak yang ingin mempunyai pekerjaan full-time, hanya bisa mendapatkan pekerjaan part-time.
Hingga berkembangnya teknologi yang semakin canggih, ada banyak yang diubah termasuk juga dengan pekerjaan. Sejumlah pekerjaan yang sebelumnya menggunakan tenaga manusia akhirnya diganti dengan mesin.
Laman BBC pada tahun 2019 pernah menuliskan berdasarkan analisis Oxford Economics ada 20 juta pekerjaan manufaktur di dunia yang akan digantikan oleh robot pada 2030 mendatang. Analisis itu menambahkan daerah dengan banyak orang yang memiliki keterampilan rendah dan akan memiliki ekonomi lebih lemah dan tingkat pengangguran lebih tinggi, rentan akan kehilangan pekerjaan untuk digantikan dengan robot.
Laman BBC pada tahun 2019 pernah menuliskan berdasarkan analisis Oxford Economics ada 20 juta pekerjaan manufaktur di dunia yang akan digantikan oleh robot pada 2030 mendatang. Analisis itu menambahkan daerah dengan banyak orang yang memiliki keterampilan rendah dan akan memiliki ekonomi lebih lemah dan tingkat pengangguran lebih tinggi, rentan akan kehilangan pekerjaan untuk digantikan dengan robot.
Oleh karenanya, berdasarkan hasil riset World Economy Forum (WEF), 50 persen dari seluruh tenaga kerja dunia perlu melakukan pengembangan keahlian atau reskilling pada 2025. Samuel mengatakan, dua keahlian penting yang perlu dimiliki pekerja untuk tetap eksis di tengah masifnya penggunaan mesin otomatis ialah critical thinking dan problem solving. Menurut dia, mesin akan mengambil alih pekerjaan yang bersifat administratif, oleh karenanya pekerja perlu memiliki kemampuan lainnya, seperti kedua keahlian tersebut.
Transformasi transaksi pembayaran di jalan tol dari tunai menjadi non tunai (e-toll).
Sistem transaksi jalan tol di Indonesia terus berevolusi dan berinovasi dari waktu ke waktu seiring dengan pertumbuhan ruas tol, jumlah kendaraan hingga mobilitas penggunaannya serta perkembangan teknologi. Sejak jalan tol hadir pada 9 Maret 1978 dengan dioperasikannya Jalan Tol Jagorawi sepanjang 59 kilometer, sistem pembayaran tol telah melewati beberapa tahap perubahan yang diawali dengan transaksi tunai.
Melalui pembayaran tunai tersebut, pengguna jalan tol wajib menghentikan laju kendaraan mereka saat mengambil atau menyerahkan kembali kartu tanda masuk ke petugas dan melakukan pembayaran dengan tunai. Setelah berlangsung hampir 5 dekade, sistem transaksi tunai untuk tol dirasa tidak efektif dan efisien terutama terkait kelancaran lalu lintas di jalan tol. Waktu transaksinya yang mencapai 10 – 12 detik menyebabkan antrean kendaraan yang sering terjadi di gerbang tol.
Beralih dari transaksi tunai, Pemerintah mencetuskan sistem transaksi nontunai pada jalan tol penyelenggaraan transaksi nontunai secara resmi diterapkan terhitung mulai 31 Oktober 2017 di seluruh jalan tol di Indonesia. Kepadatan di gerbang tol mulai berkurang, karena dengan transaksi nontunai waktu yang dibutuhkan hanya maksimal 5 detik. Adapun alat pembayaran dalam transaksi ini yaitu menggunakan teknologi berbasis kartu uang elektronik, yang dikenal dengan sebutan e-toll.
Dampak terhadap manusia
Rencana pemerintah yang akan memberlakukan pembayaran non tunai bagi para pengguna jalan tol dapat berdampak pada sekitar 20.000 pekerja jalan tol yang selama ini sudah eksis bekerja menjaga gerbang tol secara manual.
"Ini yang harus dipikirkan oleh pemerintah, jika kebijakan e-money ini diberlakukan secara keseluruhan pertanggal 31 Oktober nanti, maka ada sekitar 20.000 karyawan yang terancam menjadi pengangguran," kata Mirah Sumirat di kantor Ombudsman Republik Indonesia, Jakarta Selatan, Senin 9 Oktober 2017.
Ia menambahkan, hingga saat ini pihaknya belum mendapatkan informasi dari pihak PT Jasa Marga terkait dengan rencana pasca penerapan pembayaran non tunai di seluruh pintu tol yang akan diberlakukan beberapa pekan ke depan.
Bahkan, lanjutnya, pihaknya baru mendapat kabar dari sejumlah berita bahwa PT Jasa Marga akan mengalihkan para pekerja jalan tol ke tiga sektor yang tidak masuk akal.
"Bayangkan, kami yang sudah bekerja tahunan di gerbang tol, gara-gara diberlakukannya e-money ini kami akan dialihkan dipekerjakan di tiga sektor lain, yaitu di rest area, potong rumput, dan ngurusin jembatan penyeberangan. Ini kan tidak masuk akal," ujarnya.
"Itu yang saya tidak habis pikir, padahal kan semuanya sudah ada pekerjanya, kalau benar itu dilakukan maka itu akan menimbulkan persoalan baru, karena semua itu sudah ada pekerjanya, dan itu tidak mungkin," katanya menambahkan.
Menanggapi aduan tersebut, Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Dadan S. Suharmawijaya menyatakan, pihaknya masih mempelajari kebijakan yang akan diberlakukan oleh pemerintah tersebut.
Menurutnya, kebijakan apapun yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini PT Jasa Marga selaku perusahaan BUMN, harus memperhatikan sisi kemanusiaan.
"Jadi tidak bisa kebijakan itu dikeluarkan hanya berdasarkan sisi bisnis saja, tapi juga harus memperhatikan sisi kemanusiaan juga, karena ini menyangkut para pekerja, keluarga para karyawan, dan lain sebagainya," kata Dadan Suharmawijaya.