Pandemi Covid-19 menyebar hampir seluruh negara di dunia. Munculnya, pandemi Covid-19 menjadi ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Bagaimana tidak, pandemi Covid-19 bisa menular begitu cepat dan menjangkiti manusia.
Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan manusia saja, tetapi juga berdampak pada ekonomi, politik, sosial dan budaya manusia. Pasalnya, berbagai negara memberlakukan pembatasan sosial, sehingga mempengaruhi seluruh aktivitas manusia. Mulai dari aktivitas kerja, aktivitas pendidikan hingga aktivitas agama. Ini membawa pada konsekuensi individu dan sosial masyarakat.
Parsons mengatakan “The Social System”: sakit bukan hanya kondisi biolgis semata, tetapi juga peran sosial yang tidak berfungsi dengan baik. Parsons melihat sakit sebagai bentuk perilaku "menyimpang" dalam masyarakat. Alasannya, karena orang yang sakit tidak dapat memenuhi peran sosialnya secara normal dan karenanya "menyimpang" dari norma yang merupakan suatu konsensual sosial.
Disorganisasi sosial adalah salah satunya. Disorganisasi sosial, yaitu proses memudarnya atau menurunnya nilai-nilai dan norma-norma dalam tatanan masyarakat karena adanya perubahan di dalam masyarakat. Disorganisasi masyarakat akan mengarah pada situasi sosial yang tidak menentu, sehingga dapat berdampak pada tatanan sosial dan masyarakat (Soerjono Soekanto).
Selain pandemi Covid-19, pada saat yang bersamaan, kita dihadapkan dengan era disrupsi. Situasi di mana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear. Perubahannya sangat cepat, fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru.
Disrupsi menginisiasi lahirnya model bisnis baru dengan strategi yang lebih inovatif dan disruptif. Cakupan perubahannya luas, mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat hingga pendidikan. Era ini akan menuntut kita untuk berubah atau punah (Rizal, 2018).
Rojko (2017) dan Xu (2018) mencatat lahirnya perubahan di setiap era. Menurutnya, revolusi industri 1.0 melahirkan transisi dari kerja manual ke proses manufaktur dengan memanfaatkan mesin uap. Industri 2.0 dikenal sebagai zaman listrik dan industrial. Industri 3.0 merupakan sebuah era informasi, digitalisasi, dan otomatisasi elektronik. Industri 4.0 adalah zaman cyber physical systems atau otomatisasi cerdas.
Istilah disrupsi sendiri biasanya dikaitkan dengan pesatnya perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi.
Menurut Yahya (2018) era disrupsi teknologi dan revolusi digital adalah istilah lain dari revolusi industri 4.0. Ia bersifat destruktif dan kreatif. Destruktif, karena yang lama ketinggalan zaman.
Kreatif, karena di sisi lain inovasi kreatif menciptakan hal baru yang lebih efisien dan menyeluruh. Fokus utama masyarakat industri adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup.
Tantangan HMI saat ini menghadapi dua kenyataan sekaligus. Di satu sisi, HMI dihadapkan dengan pandemi Covid-19 yang menghambat proses perkaderan di HMI dan di sisi lain, HMI dihadapkan dengan era disrupsi yang menuntut kader-kader HMI harus kreatif dan inovatif.
Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, dunia sekarang tengah memasuki era disrupsi. Era disrupsi ini mengakibatkan terjadinya perubahan secara radikal dalam segala aspek kehidupan. Pun dengan perkaderan di HMI, terhambat akibat pandemi Covid-19 adalah salah satu tantangan yang dihadapi HMI saat ini.
Pandemi Covid-19 dan era disrupsi mendorong kita untuk berpikir cepat dan berorientasi pada target, yaitu bagaimana mempersiapkan kader-kader yang tangguh dan dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Karena itu, yang hendak dilakukan saat ini adalah melakukan “penyegaran dan penyesuaian” perkaderan di HMI. Penyegaran dan penyesuaian perkaderan di HMI dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tantangan yang dihadapi saat ini dan perkembangan zaman.
Dalam dunia pendidikan, disrupsi mendorong terjadinya digitalisasi pendidikan. Munculnya, inovasi aplikasi teknologi Uber atau Gojek menginspirasi lahirnya aplikasi sejenis di bidang pendidikan. Misalnya, AI (Artificial Intelligence). AI adalah mesin kecerdasan buatan yang dirancang untuk melakukan pekerjaan yang spesifik dalam membantu keseharian manusia.
Di bidang pendidikan, AI akan membantu pembelajaran yang bersifat individual. Sebab, AI mampu melakukan pencarian informasi yang diinginkan sekaligus menyajikannya dengan cepat, akurat dan interaktif.
AI mengacak-acak metode pendidikan lama. Proses belajar mengajar berubah total. Ruang kelas mengalami evolusi dengan pola pembelajaran digital yang memberikan pengalaman yang lebih kreatif, partisipatif, beragam dan menyeluruh (Rizal, 2018).
Perkaderan di HMI hendaknya dirancang semenarik mungkin, lebih hidup dan dinamis, kreatif dan inovatif. Di sini, pengader memiliki peran penting, selain dituntut untuk cepat beradaptasi, pengader juga dituntut untuk membaca kemungkinan-kemungkinan perubahan-perubahan kedepan.
Pertama; pengader menguasai data dan informasi. Melalui penguasaan data dan informasi, pengader lebih cepat dan mudah beradaptasi. Kedua; pengader dituntut untuk berinovasi, melakukan penyegaran dan penyesuaian perkaderan di HMI. Ketiga; pengader melek digital. Memahami dan memanfaatkan teknologi dengan baik.
Dengan melihat kondisi dan tantangan yang dihadapi saat ini, ada dua tawaran dalam perkaderan HMI: Pertama, HMI tetap melaksanakan perkaderan secara konvensional (offline), tetapi dengan jumlah kader yang terbatas dan tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Di samping itu juga, untuk menjaga keberlangsungan perkaderan di HMI, maka LK I dan LK II di HMI diadakan lebih dari satu atau lebih dari dua kali dalam satu periode kepengurusan. Ini untuk menjaga keberlangsungan perkaderan kader di HMI dan HMI tidak mengalami kekosongan perkaderan di tengah hantaman pandemi Covid-19 dan arus perkembangan zaman.
Kedua, perkaderan di HMI bisa dilaksanakan secara online, tapi memiliki kelemahan. Semisal, perkaderan di HMI dilaksanakan secara online, ada beberapa kelemahan. Misalnya, pengelolaan forum terbatas, desain forum tidak bisa dilakukan, afektif tidak dapat dan "pemondokan" di perkaderan HMI selama ini, sebelum pandemi Covid-19, seperti kultum bersama, ngaji bersama dan sholat bersama tidak dapat dilakukan.
Perkaderan online di HMI boleh dilaksanakan apabila pendidikan di HMI diperkuat di pendidikan keluarga pertama untuk melanjutkan doktrinasi dan internalisasi nilai-nilai ke-Islam-an di HMI.
Ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan militansi kader. Tidak cukup dengan pendidikan LK I, tetapi di follow up di pendidikan keluarga pertama. Ini dilakukan agar sejalan dengan kader yang dikembangkan HMI, yaitu kader yang ideal sebagai insan ulul albab.
Insan ulul albab. Pertama; Mu’abbid, menjadi insan yang tekun ibadah. Kedua; Mujahid, memiliki semangat juang yang tinggi. Ketiga; Mujtahid, kemampuan berijtihad. Keempat; Mujadid, pembaharu.
Untuk melahirkan kader-kader yang ulul albab dibutuhkan sistem perkaderan yang komprehensif dan dinamis, yang secara konseptual dan operasional tetap berpijak pada acuan dasar organisasi.
Melalui perkaderan yang terarah, teratur, dan sistematis akan mengahasilkan kader yang paripurna dengan komitmen moral yang kuat, kemampuan intelektual yang berkualitas, sikap keberpihakan yang tegas, kemampuan manajerial yang baik dan kepemimpinan yang adil.
Dengan demikian, perkaderan merupakan salah satu orientasi dasar organisasi yang tidak dapat dipisahkan dengan orientasi HMI sebagai organisasi perkaderan.