Saya melihat satu adegan drama percintaan di mana pengantin wanita merajuk karena warna bunga di seluruh area pernikahan berwarna putih sedangkan ia menginginkan warna merah muda. Dia menangis karena marah dan merasa pernikahannya yang hanya sekali seumur hidup itu tidak sempurna seperti keinginannya. 

Adegan drama ini mengingatkan saya pada pernikahan saya sendiri. Setelah hiruk pikuk dengan WO yang mengganggu saya dengan banyak pertanyaan tentang apa yang saya inginkan namun pada hari pernikahan semuanya berbeda. Rasanya saya mau meledak saat itu.

Saya memilih semua serba merah untuk hari pernikahan. Gaun merah, rangkaian bunga merah, kursi tamu beralaskan kain putih dengan pita merah. Ucapan terima kasih berbentuk senter kecil warna warni. Pada hari H ternyata kursi berwarna keemasan, gerbang bunga berwarna kuning dan semua bunga juga berwarna kuning. Sedangkan ucapan terima kasih semua berwarna biru. 

Akhirnya atas permintaan saya "on the spot" mereka mengganti pita kursi dengan warna merah, tapi bunga tentu saja tetap berwarna kuning.  Alasannya tidak ada waktu menggantinya. Penata rias datang terlambat karena merasa mampu merias dengan lebih cepat. Jadwal pukul 5 pagi, perias baru datang pukul 6 sedangkan acara mulai pukul 7. 

Semua begitu kacau, sekacau pernikahan saya dikemudian hari. Pernikahan itu berawal dengan buruk. Saya ingin membatalkan pernikahan dua minggu sebelum hari H. Saya menyadari saya tidak menyukai sifat calon suami saya. Tapi undangan sudah disebar, segalanya sudah siap. 

Saya tidak punya keberanian untuk membatalkannya, lebih karena takut keluarga akan menanggung malu. Saya berpikir, mungkin hanya cemas dan panik menjelang pernikahan. Mungkin sifat calon suami saya tidak seburuk yang saya duga. Pernikahan itu bertahan 9 tahun. Saya memutuskan untuk berpisah. Awal pernikahan yang buruk dan tidak sehat, diakhiri perceraian yang mengerikan. Tapi saya bersyukur semua sudah selesai.

Saya menikah kembali 7 tahun kemudian. Saya tidak ingin merayakan pernikahan kedua, hanya ingin sah, cukup disaksikan keluarga, makan bersama dengan menu seadanya. Itu saja! Tapi kita ini orang Indonesia. Ayah saya tidak bisa menerimanya. Dia merasa seperti melepas anak gadisnya saja. Semua prosesi harus dilakukan. 

Saya ingin ayah saya bahagia. Jadilah kami pesta kecil hanya sebatas keluarga. Tapi, Ya Allah ternyata pakai rangkaian bunga di pelaminan lagi. Kata kakak saya, supaya cantik untuk foto-foto. Harganya pun cukup fantastis. 

Saya memilih nuansa biru dan putih. Dan lagi-lagi bunganya tidak sesuai. Contoh dekor yang diberikan sangat indah. Dengan nuansa biru putih yang dramatis. Begitu tukang bunga datang untuk merangkai, yang datang bunga-bunga berwarna merah muda. Lagi-lagi saya protes, kenapa beda dengan gambarnya? Alasannya karena bunga biru sedang tidak musim. 

Karena yang mengurus bunga itu ipar saya yang perempuan, akhirnya saya cuma bisa menahan rasa dan membiarkan bunga-bunga merah muda itu bertengger di sana. Apa saya senang? Tentu saja tidak. Niat saya hanya ingin menikah di KUA, pakai baju daster, tanpa riasan wajah. Taburan bunga merah muda yang saya tidak suka ini anggap saja "buang uang". 

Ternyata kakak ipar saya sekalian untuk coba-coba apakah tukang bunganya cukup bagus untuk pernikahan anaknya kelak. Ya sudah, anggap saja saya menjadi "ganjel" untuk kebahagiaan ponakan saya nanti kalau dia menikah. Lagi pula ini pernikahan kedua, saya tidak berharap banyak jadi saya tidak begitu kecewa. Sebatas rasa malas keluar uang sebanyak itu untuk hal-hal yang menurut saya tidak perlu. 

Demi kebahagiaan keluarga besar, saya berdandan dan menikmati pelaminan bunga merah muda, dihadiri keluarga inti saja. Tidak ada tante atau pun sanak saudara selain kami kakak beradik. Saat itu kami masih lengkap. Beberapa bulan kemudian dua orang kakak saya meninggal karena serangan covid-19 gelombang pertama. 

Pernikahan kedua saya baru seumur jagung tapi terasa jauh lebih nyaman daripada pernikahan pertama saya. Tidak ada yang sempurna. Bukan cerita Cinderella. Kami menelan kekurangan dan kelebihan masing-masing. 

Berbeda dengan pernikahan pertama saya yang aneh sejak dua minggu sebelum hari H dan diikuti dengan adegan-adegan drama penuh air mata, pernikahan kedua saya terasa "normal". Seperti kita menjalani hidup yang biasa-biasa saja. Ada waktunya kami merasa bahagia, ada juga momen-momen kami bertengkar. Tapi dalam batas wajar dan tidak berkepanjangan. 

Di usia saya yang matang ini, saya menyadari sepenuhnya kalau tidak ada yang 100% sesuai harapan kita. Setengah mati saya berusaha hanya dapat kecewa. Saya belajar berkompromi lebih dalam. Membiarkan beberapa kekacauan memang ada di tempatnya. Membiarkan beberapa orang toxic yang memang tidak bisa saya raih hatinya dan tetap menjadi oposisi. 

Berusaha sekuat tenaga meraih karier dengan kerja keras, sepenuh hati, sekuat jiwa, serta berdoa dan akhirnya berpasrah. Walau pun yang terbaik telah saya lakukan namun kalah dengan orang lain yang mungkin lebih baik dari saya. 

Di setiap film pasti ada pemeran utama, pemeran pembantu, dan figuran. Mungkin saat ini saya bukan pemeran utama walau sudah berusaha sekuat tenaga. Mungkin saya hanya figuran. Kecewa? Tentu saja! Tapi saya berdamai. Mengalihkan tenaga padahal-hal lain yang membuat saya bahagia. Bermain dengan anak-anak saya, mengurus tanaman dan lima ekor kucing saya, mencoba memperbaiki ibadah saya. 

Saya tentukan target dan  berusaha sekuat tenaga ke arah tujuan yang saya tetapkan. Tapi di tengah jalan, saya bisa terpeleset, bisa tersandung batu, tertiup angin kencang, dikejar anjing, terkena hujan deras, dan lain-lain. Dan saya masih terus berusaha mengejar setiap tujuan yang telah saya tetapkan.

Jika gagal, saya tahu saya akan kecewa. Tapi saya akan bersedih secukupnya lalu saya akan menetapkan target baru yang ingin saya dapatkan lalu bersiap-siap menuju ke tujuan saya, dan akan terus begitu sampai titik tujuan terakhir yaitu kalau nanti saya mati dan beristirahat dengan tenang dan damai. 

Saya akan terus berjuang dan memberikan manfaat bagi kehidupan. Sempurna dalam ketidaksempurnaan. Meskipun saya mungkin hanya figuran, saya harus melakukan yang terbaik. Cita-cita saya masih ingin jadi pemeran utama, tapi saya harus mengatur emosi saya, berusaha bahagia dengan kerja keras, walaupun yang terbaik dari saya ternyata bukan yang terbaik menurut atasan atau menurut kolega-kolega saya. 

Saya akan terus berusaha walau saya bisa gagal, tersungkur dan terluka, tapi selama saya masih hidup, saya harus terus berjalan, berlari, berjuang sampai titik akhir yang tidak bisa saya yang menentukan, titik di mana nafas ini bukan milik saya lagi dan kehidupan dunia sudah berakhir buat saya.