Senyum para koruptor menandakan bahwa mereka sedang baik-baik saja dan akan korupsi lagi, sementara senyum para mantan bikin patah tulang belakang!

Senyum yang mengambang di wajah seseorang pastilah secara harfiah menandakan sebuah kebahagiaan. Namun, secara batiniah, sebuah senyuman belum bisa menunjukkan kondisi hati si pemilik senyum. 

Senyum tidak dilarang juga tidak berbayar. Bahkan menampakkan sebuah senyuman sangat dianjurkan, karena membuat seseorang yang melihatnya merasa adem dan tenteram. Oleh karenanya, senyum adalah ibadah.

Saking mudah dan murahnya sebuah senyuman, orang yang terkena musibah pun dapat tersenyum. Bahkan, orang yang terancam masuk bui masih bisa tersenyum: para poruptor, misalnya. 

Senyum kepada kekasih adalah pertanda hubungan harmonis dan baik-baik saja. Senyum kepada orang lain membuat mereka merasa adem dan senang. 

Lantas apa arti senyuman para koruptor saat mengenakan rompi berwarna oranye yang dipotret oleh wartawan saat hendak menuju kurungan?

Dalam sejarah penangkapan koruptor di Indonesia, kebanyakan adalah orang-orang besar dan punya jabatan penting di dalam negara tercinta ini. Uniknya, rata-rata para koruptor itu selalu menampakkan senyum manis di depan kamera para wartawan, seolah hendak pergi  ke mall atau liburan ke luar negeri. Sungguh misterius! 

Namun, di balik kemisteriusan senyum para koruptor, penulis mencoba untuk mengotak-atik arti dari senyum manis penuh kibul itu.

Hadapi dengan Senyuman

Kok mirip judul lagu Dewa 19? Memang benar. Tapi jauh sebelum Dewa 19 merilis lagu tersebut, Bapak KKN Indonesia, Soehato, telah menerapkannya.

Dalam masa kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun, belum pernah beliau tidak tersenyum. Bahkan saat Indonesia mengalami krisis sekalipun, Presiden ke-2 republik ini tetap saja tersenyum. 

Senyum yang ditampakkan oleh Soeharto masih terngiang hingga saat ini bersama kekejaman dan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme-nya. Selain itu, senyum yang selalu ditampakkan menyimpan sebuah pertanyaan besar: siapa dalang tragedi 1965?

Dari sekian kasus yang menimpa Soeharto selama memimpin Indonesia, beliau tak lupa untuk selalu menghadapinya dengan senyuman. Ini menandakan jiwa beliau sangat besar, dan tidak ingin menampakkan kepada masyarakat Indonesia tentang kesedihan dan keruwetan pikirannya, meskipun di balik itu ada blablabla yang belum terjawab.

Tampaknya para politikus zaman millenial mewarisi sikap senyum Bapak KKN sekaligus Pembangunan itu. Alhasil, meskipun terjerat kasus korupsi yang memalukan, mereka tetap tersenyum di depan kamera para wartawan.

Hukum Tak Bikin Jera Para Koruptor

Masuk pada tahun 2019, tepatnya 15 Maret, politisi ternama Indonesia lagi-lagi mencetak namanya dalam sejarah perkorupsian di Indonesia. Adalah Ketua Umum partai politik berlogo Kakbah, Ir. Muhammad Romahurmuziy, M.T., menjadi tersangka kasus suap terkait seleksi pengisian jabatan pimpinan tinggi di Kementerian Agama (Kemenag). 

Romy, panggilan akrabnya, tampak senyum saat mengenakan rompi aranye dan berkacamata hitam di dalam mobil saat dipotret oleh wartawan. Lagi-lagi tersenyum, ada apa gerangan? Korupsi ini, kan, termasuk kasus yang memalukan dan bukan main-main, mengapa masih tersenyum? Apa nggak malu pada rakyat Indonesia?

Dalam hal ini, tidak hanya Romy seorang yang tersenyum ketika diseret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi para politisi lain seperti Setya Novanto, Idrus Marham, Eni Maulani Siragih juga tersenyum saat mengenakan rompi oranye. 

Jika ditinjau dari hukum, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU tipikor) Pasal 2 menyatakan bahwa koruptor dapat dipidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Sementara hukuman paling berat adalah pidana mati, tetapi ketentuan tersebut terdapat pengecualian sebagaimana tertuang dala ayat 2 pasal 2.

Pada dasarnya, hukum kita secara teks sudah tegas, namun dalam hal penindakannya yang terkadang kurang baik. Misalnya pada kasus yang terjadi di Lapas Sukamiskin yang memfasilitasi para tahanan di dalam penjara. 

Keadaan tersebut sangat disayangkan oleh pihak KPK, sebab fasilitas mewah rata-rata dinikmati oleh para narapidana korupsi. Mungkin hal ini yang membuat mereka pada tersenyum saat diseret oleh KPK. Bagaimana tidak, hidup di lapas dan di rumah tiada beda.

Coba bayangkan jika maling ayam juga diberikan kemewahan di dalam penjara dan diberikan kesempatan untuk mencuri lagi saat masa tahanannya selesai, maka ada berapa ayam milik tetangga sekampung yang akan hilang?

Selain tersenyum karena akan menikmati fasilitas penjara yang mewah, mantan narapidana korupsi masih bisa menikmati hak politiknya selepas masa tahanannya selesai. Artinya, setiap eks koruptor diperbolehkan menjadi calon legislatif kembali.

Meskipun hak tersebut sempat menuai polemik di berbagai kalangan, tetapi pada akhirnya polemik tersebut diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA) bahwa eks koruptor diperbolehkan mencalonkan diri dengan syarat mengumumkan kepada publik bahwa dirinya mantan narapidana korupsi, kan gak lucu! 

Selain itu, pencalonan eks koruptor juga dapat legalitas dari pasal 240 ayat 1 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Komisi Pemilihan Umum, terdapat 49 Calon Legislatif (caleg) eks koruptor, terdiri dari 40 orang caleg Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 9 orang dari caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 49 caleg tersebut diusung oleh 12 partai politik dari total 16 partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. 

Berikut perinciannya: PDIP (1 orang), Gerindra (6 orang), Golkar (8 orang), Partai Garuda (2 orang), Partai Berkarya (4 orang), PKS (1 orang), Perindo (2 orang), PAN (4 orang), Hanura (5 orang), Demokrat (4 orang), PBB (1 orang), dan PKPI (2 orang).

Setelah mengulas hal di atas, penulis menemukan kesimpulan bahwa senyum para koruptor lebih berharga daripada senyum para mantan. Senyum para koruptor menandakan bahwa mereka sedang baik-baik saja dan akan korupsi lagi, sementara senyum para mantan bikin patah tulang belakang!