Kebebasan menjadi salah satu tema penting ketika membahas manusia. Bisa dibilang kebebasan menjadi salah satu hal yang khas milik manusia. Bagi beberapa filsuf eksistensialis, kebebasan menjadi tema sentral dan menjadi titik pijak pemikirannya. Namun, ada tidaknya kebebasan dalam diri manusia kerap mengundang perdebatan.
Dalam kajian sejarah pemikiran, terdapat sebuah aliran pemikiran yang menolak kebebasan. Aliran pemikiran tersebut bernama determinisme. Bagi aliran ini, tampaknya saja manusia memiliki kebebasan atau bertindak seturut keinginan sendiri. Padahal, sebenarnya tindakan manusia banyak ditentukan oleh faktor-faktor tertentu.
Tulisan ini pertama-tama membahas gagasan yang diajukan oleh aliran determinisme. Setelah itu, berlanjut pada tanggapan atas gagasan determinisme, lalu menjelaskan apa itu kebebasan dan beberapa argumen pendukung tentang kebebasan.
Varian determinisme
Terdapat setidaknya empat aliran determinisme. Keempat aliran ini memiliki perbedaan berdasarkan faktor apa yang dominan dalam menentukan tindakan manusia. Faktor di sini merujuk pada kondisi psikis dan fisik, maupun kekuasaan di luar atau di atas manusia.
Pertama, determinisme biologis. Determinisme biologis beranggapan bahwa penentu tingkah laku manusia adalah seluruh interaksi fisiologis dan hukum-hukum biologis. Ambil contoh seperti gen. Bagi aliran pemikiran ini, struktur genetis milik seseorang akan menentukan perilaku seseorang. Determinisme biologis melakukan semacam andaian bahwa manusia memiliki mekanisme layaknya mesin.
Seandainya mekanisme biologis seseorang diketahui, maka keseluruhan tingkah lakunya bisa diprediksi, ditentukan, dan bahkan dimanipulasi. Akibatnya, kebebasan menjadi tidak berarti lagi. Karena segala tingkah laku sudah ditentukan oleh struktur genetiknya (Sudarminta, 2016).
Kedua, determinisme psikologis. Pemikiran Sigmund Freud menjadi pendasaran bagi determinisme psikologis. Psikologis di sini secara spesifik merujuk pada unsur-unsur bawah sadar. Dengan demikian, mengacu pada Freud, tingkah laku manusia didorong oleh unsur-unsur bawah sadar.
Ketiga, determinisme sosial. Jenis determinisme yang beranggapan bahwa lingkungan atau struktur sosial lah yang selalu mengkondisikan dan mengatur tingkah laku manusia. Struktur sosial menjadi pra-kondisi penentu tingkah laku, baik dalam bentuk individu maupun kelompok
Keempat, determinisme teologis. Tuhan\Dewa menjadi titik sentral dalam pemikiran ini. Manusia ibarat boneka-boneka yang dikendalikan seturut kehendak Tuhan. Segala perbuatan, jalan hidup telah ditulis serta direncanakan oleh Tuhan sedemikian rupa, singkatnya manusia tinggal menjalani rencana Tuhan tersebut (Sudarminta, 2016).
Tanggapan atas determinisme
Tanggapan pertama adalah determinisme mereduksi penyebab pembentuk perilaku manusia pada salah satu faktor. Selain mereduksi, determinisme sekaligus juga mendekati manusia hanya dari satu sudut pandang tertentu. Determinisme biologis melihat dari segi biologisnya saja, determinisme sosial melihat manusia dari segi sosialnya saja.
Padahal, manusia adalah makhluk multidimensional. Manusia hidup dalam segala totalitas dimensi yang ada, baik itu psikologis, sosial, biologis, dan teologis. Totalitas tersebut juga berkaitan dengan kecenderungan manusia yang paradoksal. Dengan kecenderungan ini, manusia terdiri dari dua unsur yang berbeda dalam satu totalitas utuh (Sihotang, 2018).
Sifat paradoksal berakibat pada kebebasan yang tetap dimiliki manusia, namun sekaligus tidak menghapus suatu keharusan atau determinis. Suatu faktor deterministik bisa hadir sekaligus dengan segala kegiatan bebas yang dilakukan atas kehendak pribadi.
Tanggapan kedua yaitu determinisme melupakan fakta bahwa manusia melakukan evaluasi atau penilaian terhadap perilaku moral. Seandainya determinisme benar, manusia tidak perlu repot-repot mengutuk, menyalahkan, atau menghujat perilaku buruk seseorang. Karena perbuatan buruk tersebut sekedar disebabkan oleh faktor-faktor seperti biologis, psikologis, sosial, dan Tuhan (Sihotang, 2018).
Argumen adanya kebebasan
Kebebasan secara umum bisa dilihat dari sudut pandang, yaitu secara negatif dan positif. Secara negatif, artinya kebebasan yang dikaitkan dengan kata “tidak”. Contohnya seperti “tidak ada paksaan, tidak ada aturan, tidak ada kewajiban, tidak ada aturan, dan lain-lain”. Akan tetapi, kebebasan jenis ini dirasa kurang maksimal dan masih belum memberikan makna mendalam bagi eksistensi manusia.
Kebebasan harus juga diartikan secara positif. Di sini berlaku pengandaian metafisis bahwa manusia mampu berjarak terhadap dirinya (Albert Snidjers, 2016). Dengan andaian ini, manusia tidak turut begitu saja pada faktor-faktor yang mendorong perilakunya. Manusia berjarak, sehingga mampu mempertimbangkan berbagai sudut pandang, serta kelebihan dan kekurangan pada setiap alternatif yang ditawarkan.
Konsekuensinya, kebebasan positif memungkinkan manusia untuk terbuka terus menerus dan kesanggupan untuk memilih dan memutuskan. Atau dalam bahasa sederhana kebebasan yang di awali dengan “bebas untuk”. Manusia menjadi bebas untuk terus mengaktualisasi, membentuk diri, dan secara aktif, kreatif, serta inovatif memanfaatkan segala pengalamannya untuk memperoleh intensitas pengalaman hidup yang lebih mendalam lagi (Sihotang, 2018).
Masih terdapat sebuah pertanyaan mendasar yaitu “apa bukti penjelasan bahwa kebebasan itu ada?” Di bagian selanjutnya kita akan mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Argumen yang pertama adalah kenyataan akan adanya situasi “kemungkinan dapat”. Maksudnya, kondisi yang menandakan adanya pilihan. Di hadapan pilihan itu, manusia melakukan pertimbangan pro-kontra, menghitung kelebihan dan kekurangan masing-masing pilihan dan sebagainya. Setelah melakukan pertimbangan, manusia bisa memilih untuk melakukan atau tidak melakukan.
Contoh lain misalkan dalam kasus godaan moral. Andaikan seseorang terdorong untuk melakukan suatu tindakan yang tidak bermoral, seseorang itu masih memiliki kemungkinan untuk mengikuti dorongan tersebut atau tidak mengikutinya. Kenyataan bahwa manusia bisa memilih/memutuskan bertindak atau tidak menjadi fakta adanya kebebasan yang inheren dalam manusia.
Lalu yang kedua yaitu kebebasan memberi makna pada perilaku moral. Pendapat ini diutarakan oleh filsuf Immanuel Kant. Perbuatan baik yang dilakukan seseorang bermakna jika perbuatan tersebut memang dilakukan atas keinginan pribadi. Jika suatu perintah perbuatan baik niscaya harus dilakukan, maka perbuatan tersebut tidak bermakna lagi.
Apa yang menjadikannya tidak bermakna? Karena perbuatannya tidak didasarkan pada kebebasan untuk memilih atau menolaknya. Berlaku pula pada perbuatan buruk, hal tersebut bisa dinilai sebagai buruk jika dan hanya jika kebebasan sudah diandaikan pada perbuatan itu.
Argumen yang ketiga adalah pembedaan antara menentukan/mempengaruhi dan memaksakan. Faktor-faktor seperti sosial dan biologis boleh jadi memang terlibat dalam perilaku manusia. Kendati demikian, faktor-faktor tersebut tidaklah sampai pada tingkat memaksakan sehingga manusia kehilangan kebebasannya atau kemampuan menentukan diri.
Status dari faktor-faktor itu dengan demikian hanyalah mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut tetap mampu disikapi oleh manusia dan manusia tetap mampu mengambil jarak terhadapnya. Ambil contoh seandainya seseorang mempunyai prasangka yang ia bawa akibat lingkungan sosialnya, tidak menutup kemungkinan ketika dewasa orang tersebut mampu mengubah prasangka-prasangkanya (Sudarminta, 2016).
Dengan demikian kebebasan adalah faktor fundamental dalam diri manusia. Mengapa? Beberapa aspek kehidupan dan segala totalitasnya mengandaikan kebebasan. Perilaku moral, kenyataan adanya berbagai alternatif hidup, kemungkinan untuk terus mengaktualisasikan diri merupakan contoh-contoh yang mengandaikan kebebasan
Adapun faktor-faktor yang seolah menafikan kebebasan manusia, sifatnya hanya mempengaruhi. Manusia tetap mampu menyikapi, mengelak, bahkan mengubahnya.
Referensi
Albert Snidjers, O. (2016). Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: PT Kanisius.
Sihotang, K. (2018). Filsafat Manusia: Jendela Menyingkap Humanisme. Yogyakarta: PT Kanisius.
Sudarminta, J. (2016). Etika Umum: Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Yogyakarta: PT Kanisius.