Iming-iming Pemilihan Umum 2019 terus membias. Semua rakyat Indonesia tahu ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bertarung di laga Pilpres 2019. Kedua pasangan tersebut adalah Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi.
Akan tetapi, kebanyakan dari kita hanya tahu nama mereka dan belum tahu siapa mereka. Hal ini menjadi tantangan bagi rakyat untuk memilih pasangan mana yang bisa memimpin dan menjamin bonum commune di masa pimpinannya 5 tahun.
Berdasarkan jadwal yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), kampanye sudah dimulai sejak 23 September 2018 dan berakhir pada 13 April 2019. Idealisasi waktu yang cukup untuk memaparkan visi-misi dan meyakinkan masyarakat luas oleh kedua paslon.
Apakah waktu yang ditetapkan KPU RI sudah dimanfaatkan dengan baik oleh kedua paslon? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita punya versi masing-masing berdasarkan apa yang kita alami, kita dengar, dan kita lihat.
Akan tetapi, penulis melihat adanya anomali iklim politik. Hal ini menghangatkan dan sekaligus menyebabkan gesekan-gesekan lembut dan kasar dari tataran atas hingga bawah.
Jika tidak diantisipasi, ia menyebabkan perpecahan keutuhan bangsa. Ini bahaya. Karena selain berpengaruh pada persepsi publik, di sisi lain akan menimbulkan dinamika sosial-politik dan keagamaan di negara kita Indonesia yang tidak sesuai.
Banyak tuduhan-tuduhan bahkan hoaks yang dialamatkan pada kedua masing-masing paslon. Hal ini sebagai pelengkap kampanye agar mendapat kepercayaan masyarakat.
Dari pihak paslon 01, Jokowi-Amin sering menyerang dengan istilah propaganda ala Rusia, bahkan masih membawa kabar hoaks Ratna Sarumpaet, yang nyata-nyata menyerang pasalon 02, Prabowo-Sandi. Banyak pihak berpendapat, akhir-akhir ini Jokowi tampil agresif menyerang paslon lawannya.
Integritas kerja paslon benar-benar teruji jika tidak ada argumentasi apa pun untuk dijatuhkan oleh lawan politiknya. Dalam pengamatan saya, antara kedua paslon Jokowi-Amin dan Prabowo Sandi masih memilih kecacatan-kecacatan yang digunakan lawan untuk menjatuhkannya.
Hal tersebut sangat memengaruhi persepsi publik untuk memantapkan pilihan di kelompok pemilih masa mengambang. Jika sampai golput di tanggal 17 April 2019, akan banyak yang menyayangkan.
Berdasarkan hasil rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Komisi Pemilihan Umum (KPU), masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetap berjumlah 192.828.520, yang terbagi atas pemilih dalam negeri dan luar negeri. Pemilih dalam negeri sejumlah 190.770.329 dan pemilih luar negeri sejumlah 2.058.191.
Data di atas, jika dikalsifikasikan berdasarkan usia, maka DPT dari usia 20 ke bawah sejumlah 17.501.278, usia 21-30 dengan jumlah pemilih 42.843.792, usia 31-40 43.407.156, usia 41-50 37.525.537, usia 51-60 28.890.997, dan usia 60 ke atas sejumlah 22.601.569.
Angka golput Pemilu 2014 mencapai 30%. Angka tersebut adalah mereka yang tidak masuk DPT dan tidak mendapatkan tempat untuk menyalurkan hak suaranya.
Angka golput tahun 2014 diprediksi menurun hingga pada angka 20%. Tetapi tidak menutup kemungkinan angka golput makin naik. Hal ini disebabkan oleh majunya wajah-wajah lama dalam Pemilu Serentak 2019 (BBC News Indonesia, 21/01/2019).
Dari presentasi data di atas, banyak masyarakat yang masih bimbang atau biasa disebut unvoter dan menjadi referensi bagi masyarakat untuk bisa menentukan pilihan presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2019. Kata "Lanjut" dikaitkan pada sang petahana Ir. H. Joko Widodo, sedangkan kata "Ganti" disematkan pada H. Prabowo Subianto sebagai penantang.
Sejak tahun 2018, atmosfer pertarungan politik menjelang pemilu kian memanas. Banyak isu yang bergulir mengenai tokoh-tokoh tersebut, terlebih lagi banyak isu hoax yang menjatuhkan kedua calon presiden. Tentu hal tersebut akan mengganggu pandangan masyarakat dalam menentukan pimpinan bagi Indonesia.
Sebuah kenyataan bahwa tidak semua lapisan masyarakat mengenyam pendidikan tinggi sehingga masih terjebak dan termakan isu-isu yang tidak baik tersebut. Tidaklah heran bahwa komentar-komentar negatif bermunculan di media sosial, di media konvensional, serta dalam kehidupan berbagai elemen masyarakat.
Sebuah dilema tentunya ada dalam memilih kembali Presiden Indonesia yang baru. Memilih Jokowi yang telah berpengalaman dalam memimpin dengan prestasi yang telah ditorehkan atau memilih Prabowo yang bersuara dengan gagasan-gagasan perubahan atas permasalahan yang tidak terselesaikan berdasarkan representasi kinerja pemerintahan sebelumnya.
Sepak terjang kepemimpinan Jokowi-JK dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur bersumber pada pembiayaan utang negara. Pengelolaan utang negara yang dilakukan cukup transparan sehingga pengelolaan utang dapat diatur dengan baik.
Prabowo Subianto dalam berkampanye memfokuskan diri dalam perbaikan tata kelola ekonomi yang lebih baik. Maka dari itu, gaungan prabowo tidak jauh dari permasalahan ekonomi.
Pada kesempatan pilpres tahun 2019 ini, kontestan berfokus pada adu gagasan, ide dan kecakapan dalam memberikan solusi bagi permasalahan negeri. Jokowi yang memiliki pengalaman dalam menjalankan pemerintahan RI sedangkan Prabowo yang tidak memiliki pengalaman, tentunya adu gagasan yang dipertaruhkan agar seimbang.
Akan tetapi, keberhasilan Jokowi dalam berdebat memiliki keuntungan tersendiri, sehingga bisa memaparkan keberhasilan dalam pemerintahannya serta menawarkan solusi yang lain bagi permasalahan baru bagi bangsa.
Alangkah sangat baik bagi rakyat Indonesia untuk berpartisipasi memilih dan menentukan pemimpin yang sesuai dengan kapasitas masing-masing calon presiden dan wakil presiden.
Rakyat adalah penentu ganti atau lanjut. Pilihan rakyat adalah tempat menaruh harapan demi sebuah kebaikan dan kesejahteraan bersama. Maka kita perlu jeli dalam memilih pemimpin negara kita untuk 5 tahun ke depan.