Rinai kecil lembut menitik jatuh di atas kepala mereka. Satu di antaranya bertanya, “Apa ini?”
Dengan wajah sedikit mengejek kemudian disertai senyum manis lelaki itu berkata. “Hey perempuan lucu, tampaknya kamu sudah lama tidak pulang ke sini. Kalau kamu ingin tahu, ada satu saja permintaanku.”
“Hmm kamu selalu saja begitu, kamu bilang ingin mencintai aku tanpa syarat, tapi mengapa saat aku bertanya apa yang aku tidak tahu kamu malah mengajukan syarat.” Perempuan itu membela diri.
Lelaki itu kembali tersenyum, hobi sekali tersenyum. “Adinda, kita ini sudah hidup bersama sekian lama. Kamu tahu bagaimana aku, dan aku juga tahu bagaimana kamu seutuhnya.”
“Heh, Adinda? Sudah lama juga ya aku tak dengar panggilan itu, jadi apa syaratmu?”
“Jujur saja, kamu rindu dengan panggilan itu, kan?”
“Tak penting bagimu, cepatlah.. apa syaratnya? Tetesan ini sejuk sekali rasanya, meneduhkan sampai ke hati.”
“Baiklah, syaratnya adalah jika kamu sudah mengetahui apa namanya, kamu mau berjanji kan tidak akan pergi lagi dari kehidupanku?” Lelaki itu meminta dengan sepenuh hati
“Aku? Pergi? Aku pergi ke mana? Bukankah aku hanya baru bangun tidur dari Rumah Hening dengan dominasi ruangan putih itu?
Lelaki yang biasa tersenyum itu tiba-tiba menunduk, suaranya berat. Ada hal yang sepertinya tak kuasa ia sampaikan. “Dinda... benar sekali kalau kamu hanya baru bangun tidur, dan aku... aku baru saja menjemputmu pulang dari Rumah Hening itu.. Aku hanya.. aku ..”
Suara lelaki itu makin berat, ia tak mampu meneruskan.
Dinda.. aku hanya merindukanmu. Manis sekali mendengar bahwa kamu bilang kamu baru bangun tidur. Ia itu memang benar. Tidur. Tidurmu yang lama. Sangat lama. Sehingga jenuh tak lagi pandai menjeraku. Sudah sewindu kamu tertidur dindaku.
Lelaki itu hanya mampu berkata dalam hati. Ia takut jika harus menyampaikan perihal yang ia rasa berat untuk dipikirkan oleh perempuan itu.
“Kamu ... Kenapa?” Perempuan itu berkedut kening menunggu kelanjutan pembicaraan dengan lelaki itu
Lelaki itu berusaha kembali tersenyum. “Ahh tidak Adinda.. Aku hanya terlalu bahagia melihatmu pada hari ini. Baiklah, akan kuceritakan rinai kecil yang tadi menitik di atas kepalamu adalah “Hujan”. Namanya “Hujan”. Rinai itu memang menyejukkan sampai ke hati, aku juga kadang merindukannya. Apalagi jika menikmati hujan bersama denganmu, Dinda. Dulu kamu sangat suka hujan."
“Huu—Jaan.. Hujan .. ooh Hujaan,” perempuan itu sumringah dan menadahkan tangannya sedikit untuk merasakan basahnya.
“Iya, hujan, Dinda.. kamu ingat, kan?”
“Hmm entahlah.. tapi aku masih betah melihat mereka terjatuh di sini. Aku tidak ingin pulang.”
“Baiklah, aku temani ya.”
Perempuan itu masih asyik dengan rintik hujan. Ia seolah belajar kembali berteman dengan hujan. Lelaki itu kalah menarik dengan hujan. Ia lebih asyik bermain dengan hujan daripada memulai berbincang kembali dengan lelaki itu.
Kala itu jalanan sepi. Sejak tadi mereka bercengkrama di halte perhentian bus ibukota. Lagi sepi karena sedang hujan. Tempat itu berseberangan dengan Rumah Hening tempat Lelaki itu menjemput si Perempuan.
Tiba-tiba pemandangan dari ujung halte tampak sebuah kendaraan roda empat dengan empat orang didalamnya melaju. Jalanan memang lagi tak seramai biasanya. Entah apa yang membuat kendaraan itu melaju seperti hilang kendali.
Kendaraan itu bermaksud memotong jalan yang didepannya tapi naas karena saking lajunya kendaraan itu hilang kendali dan menabrak keras area halte bus ibukota. Entah bagaimana kejadiannya. Kendaraan itu sudah terbalik.
Seorang anak dalam pelukan seorang perempuan menangis. Perempuan itu antara sadar dan tidak berlumuran darah. Disertai rintik hujan tercium amisnya darah segar kecelakaan kala itu.
Warna merah menyala yang bercampur dengan rinai hujan. Dua orang lagi, satu lelaki dewasa dan balita, masih berada di dalam mobil dan tampak tidak bergerak dengan darah yang mengalir deras.
Suasana itu terjadi persis di depan perempuan yang tadi menikmati hujan. Ia yang tadinya bahagia bermain hujan tiba-tiba terkejut bukan main. Mencari-cari di mana Lelaki yang tadi mengingatkannya pada hujan. Perempuan itu berputar-putar di area halte bus ibukota. Anehnya lelaki pengingat hujan hilang. Seperti meninggalkannya.
Kerumunan mendekati empat korban kecelakaan. Perempuan itu mengawasi dari jauh. Ia berpikir betapa sedihnya keluarga itu karena mengalami kecelakaan hebat. Kagetnya pemandangan yang ia dapatkan, perempuan korban yang menggendong seorang anak sangat persis dengan dirinya. Dan lelaki yang berdarah hebat wajahnya sama persis dengan lelaki pengingat hujan.
“Huu—jan .. hujann.. “ perempuan itu terisak sendiri. Ia menghentikan permainannya dengan hujan.
Suara sirine ambulans menambah kepiluan hatinya. Apa yang disaksikan perempuan yang lupa hujan itu adalah kisah terakhir dirinya bersama hujan. Juga kisah terakhir bersama lelaki pengingat hujan, lelaki yang suka tersenyum, lelaki yang memanggilnya “Adinda”. Lelaki yang sudah hidup lama bersamanya dengan dua buah hati.
“Kanda.... hujan... iya aku memang sangat suka hujan. Tapi kenapa kamu ingatkan aku lagi tentang hujan. Hujan itu menyakitkan Kanda. Hujan memisahkan kita dan juga anak-anak kita.”
Delapan tahun lalu di Ibukota.
Kecelakaan hebat terjadi di Ibukota merenggut nyawa seorang lelaki dengan kedua anaknya sedangkan Sang Ibu selamat walaupun tidak tahu kapan ia akan pulih karena kondisi kritis yang menyebabkan ia koma.
“Dinda, aku mohon jangan membenci hujan. Kita bertemu dan jatuh cinta di kala hujan, juga dipisahkan karena hujan. Tidak ada yang perlu dibenci. Sudah suratan yang maha kuasa, Dinda. Tuhan telah mengizinkan kamu untuk kembali membuka mata.
Aku mohon jalani kehidupanmu dengan bahagia Dinda. Tenanglah, Tuhan yang paling tahu bahwa esok, jika ia mengizinkan, kita akan kembali berkumpul di Surganya, Dinda. Sebab aku mencintaimu karena Tuhan. Bertahanlah Dinda. ”
Pesan terakhir dari Kanda, Pengingat Hujan