Dulu sekali, ketika umur saya masih menginjak sekitar enam tahunan, saya pernah diajak oleh ibu saya untuk reuni di pesantren tempat ia menghabiskan waktu masa mudanya.
Saya ingat betul pada saat itu, di sudut aula pesantren terdapat salah satu santriwati yang menyanyi keras sekali. Tidak hanya bernyanyi, sesekali ia juga mengaji, sholawatan, wiridan. Begitu terus, tanpa seorang pun yang menggubrisnya.
Saya pun yang saat itu menyaksikannya merasa takut. Tangan ibu saya genggam erat, membayangkan jika santriwati itu tiba-tiba mendekat ke arah saya.
Sesampai di rumah, saya langsung bertanya pada ibu tentang santriwati itu. Kenapa kok ada santriwati gila yang boleh nyantri di sana? Ataukah memang sudah gila sebelum masuk pesantren?
Ibu saya kemudian menjawab, “Dia sudah ada sejak ibu masih mondok dulu. Namanya Ira, adik kelas tiga tahun di bawah ibu. Sebenarnya anaknya normal, cantik, cuma dia sering menyendiri dan melamun, sehingga ada salah satu Jin pondok yang masuk di dalam tubuhnya."
"Jadi besok kalau kamu sudah mondok jangan sampai sering melamun sendirian, pondok itu banyak jinnya,” lanjut ibu. Perkataan itu seakan melekat di selaput otak saya hingga bertahun-tahun. Terngiang. Terbayang-bayang.
Setelah saya lulus dari MI (Madrasah Ibtida’iyah), saya memutuskan untuk mondok di salah satu pesantren daerah Gresik Jawa Timur. Dengan sisa bayang-bayang santriwati yang pernah saya temui, saya tetap memercayai perkataan ibu saya itu. Saya pegang sebagai salah satu pesan-pesan penting ketika berada di pondok. “Jangan sering ngelamun ketika sendirian.”
Hingga di suatu hari pada 2014, ketika saya duduk di akhir kelas tiga Tsanawiyah, sebuah peristiwa mengerikan yang tidak pernah saya bayangkan terjadi.
Cerita bermula ketika salah satu kawan sekamar saya habis mendapat kiriman dari orang tuanya berupa beberapa kardus tape. Mengetahui hal tersebut, sontak semua anggota kamar langsung menyerbu tanpa ampun makanan itu.
Sialnya, setelah makan tape tersebut, malam harinya perut saya terasa panas sekali. Padahal tape-tape itu sudah dibagi ke beberapa kamar sebelah. Hitungannya saya dan kawan sekamar saya makan dengan porsi yang normal. Tidak berlebihan. Tapi tetap aja sih, yang merasa sakit perut cuma saya. Emang nasib.
Karena saya nggak ingin kawan saya tadi tahu kalau perut saya sakit gara-gara habis makan tapenya. Akhirnya malam itu saya memutuskan untuk tidur di kamar sebelah, kamar 40. Di tengah nyenyaknya tidur, tiba-tiba perut saya kerucukan. Seperti ada yang harus dikeluarkan saat itu juga. Saya pun langsung berangkat ke kamar mandi untuk membuangnya.
Seusai dari kamar mandi, saya melanjutkan tidur saya. Belum sampai setengah jam. Telinga masih dengar suara sekitar. Perut saya kembali kerucukan. Nggak perlu pikir panjang, saya langsung was wes berangkat ke kamar mandi lagi. Sebab hajat yang saya tahan saat itu bentuknya sudah nggak baku lagi, tapi encer. Jadi telat sedetik saja, bisa ambyar nggak karuan.
Parahnya, hal menjengkelkan itu berulang hingga empat kali. Sampai pada akhirnya, tepat pukul tiga dini hari, saya baru benar-benar bisa tidur. Meski tetap menahan rasa panas di perut.
Tak berselang lama, suara azan subuh menggema. Gedoran pintu terdengar tanda para pengurus sedang keliling membangunkan para santri untuk jemaah salat subuh di masjid.
“Din, bangun, ayo salat subuh. Tinggal kamu lho yang masih tidur. Anak-anak sudah pada berangkat ke masjid semua,” ucap seorang kawan. “Lho badanmu panas sekali. Lebih baik kamu salat subuh dulu terus izin ke pengurus untuk tidak ikut kegiatan,” lanjutnya sambil memegang pergelangan tangan saya.
Dengan kepala terasa berat, badan dan perut terasa panas, saya memaksa bangun untuk wudu kemudian salat subuh di kamar. Seusai salat subuh, saya langsung menuju kantor untuk meminta izin tidak ikut kegiatan pada hari itu.
Biasanya, kalau ada santri yang sedang sakit, mereka akan disuruh untuk sementara waktu menetap di satu kamar yang namanya UKP (Unit Kesehatan Pondok). Namun pada saat itu, UKP sedang penuh, banyak santri yang sedang sakit. Jadi mau nggak mau saya harus tidur di kamar sebelah tadi. Kamar 40.
Jam dinding menunjukan pukul 04:45. Langit masih tampak gelap. Sebenarnya perasaan saya saat itu sangat menolak untuk tidur di kamar sendirian. Sebab biasanya kalau saya sakit ya berangkatnya ke UKP.
Setelah membalut tubuh dengan jaket dan kaos kaki. Saya memilih posisi tidur di pojok dekat pintu. Pikiran saya saat itu memang kurang sreg, sehingga pintu kamar saya buka lebar, agar jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu aneh, saya bisa lari dan keluar dengan mudah.
Apalagi salah satu guru saya pernah bilang; bahwa Jin hanya bisa menampakkan dirinya di hadapan orang yang sedang berpikiran kosong dan daya tahan tubuh sedang lemah. Modyar.
Waktu terasa berjalan sangat lambat. Meski mata sudah merem, tapi telinga dan pikiran masih aktif terjaga. Nggak ada hujan, nggak ada angin, tiba-tiba terdengar suara pintu lemari terbuka. Jantung saya langsung jedag-jedug kaget. Saya pun membuka sedikit mata saya dan melirik ke arah lemari tersebut. Ternyata kawan saya sedang ngambil kitab yang ketinggalan. Hadeh, bikin kaget aja.
Setelah kawan saya itu mengambil kitabnya, ia kemudian keluar dan menutup pintu kamar. Saya pun langsung batin ‘Asem, kenapa pintunya pakai ditutup segala’. Saat itulah batin saya semakin campur aduk. Pengin rasanya bangun sebentar untuk membuka pintu, tapi tubuh menolaknya.
Beberapa menit kemudian, saya mendengar suara lagi. Kini suaranya seperti suara kunci lemari yang diputar. Ceklek…Ceklek. Jelas sekali. Perasaan saya tambah nggak karuan. Perlahan saya membuka kelopak mata, melirik ke seluruh lemari yang ada di kamar. Tidak ada apa-apa.
Sampai pada satu tititk di mana lirikan saya tertuju tepat di pojok kamar bagian kanan tubuh saya. Tampak seorang perempuan tua yang merangkak pelan menuju arah saya. Rupa wajahnya jelek sekali, rambutnya putih, panjang, berantakan. Kukunya juga hitam panjang-panjang.
Leher saya yang sempat menengok ke titik tersebut, tak bisa saya palingkan. Terasa berat sekali. Kelopak mata langsung saya pejamkan. Hati terus mengucap doa. Tetap saja, perempuan tua itu semakin mendekat. Sangat dekat.
Hingga berada tepat di samping saya. Salah satu tangannya mencengkram lengan saya. Tangannya yang lain, mengelus-elus rambut saya. Geli sekaligus merinding. Tubuh saya seakan mati setengah, nggak bisa bergerak.
Saya hanya bisa memaksa diri saya untuk tidur. Tidur yang benar-benar tidur. Tidak mendengar juga tidak merasakan apa-apa. Dan berharap sosok perempuan tua itu hanya imajinasi yang keluar dari pikiran negatif saya.
Hingga tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan keras. Terdengar suara kawan-kawan telah pulang dari masjid. Saya terbangun dengan bercucuran keringat dingin. Saya lihat jam dinding menunjukan pukul 06:00. Saat itu pula saya merasakan seperti ada yang lengket di bagian selangkangan saya. Dasar Jin asem.