Membaca ihwal asal-muasal perempuan dan kesadaran gender tidak akan pernah selesai karena kondisi sosial yang terus bergerak dan sangat dinamis. Perempuan mempunyai ciri khas komparatif tersendiri yang akan memantik kesadaran kaum perempuan terhadap sistem yang kadang mengucilkan perempuan.

Objektifikasi terhadap perempuan sering terjadi oleh pemikiran tradisional yang menganggap perempuan sebagai (barang) yang laik untuk dinikmati. Patriarki yang mencanangkan diri mereka sebagai golongan yang superior dan kuat adalah bukti konkrit mengapa objektifikasi tidak bisa dihindarkan. Segala produk atau kepentingan selalu dikaitkan dengan elok lekuk perempuan sebagai amunisi.

Stigma perempuan di bawah laki-laki, kondisi biologis yang sering dipermasalahkan dan didukung oleh kurang progresif perempuan untuk mengamati hal ini, menambah pelak dan keruh permasalahan. Seharusnya perempuan sebagai insan merupakan subjek yang berhak dan berwenang menampakkan eksistensinya tanpa ada intervensi dari golongan lain.

Salah satu penulis ulung dan pejuang perempuan Amerika Serikat bahkan sempat menjadi penasihat politik untuk All Gore dan Bill Clinton tatkala salah satu karya pentingnya yang bernama The Myth Of Beauty menjelaskan secara gamblang yang di dalamnya disipkan beberapa data terkait dengan kekerasan dan pelecahan terhadap perempuan yang secara sadar maupun tidak.

Menyoal buku The Myth Of Beauty disajikan pelbagai permasalahan yang dihadapi oleh perempuan di abad ke-21 dengan runtutan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang sangat kompleks.

Perempuan dihadang oleh pilihan yang kadang begitu paradoks. Namun bila kita amati lagi, ada garis merah yang bisa kita akar kembali dengan mendapatkan solusi yang bijak.

Abad 21 yang baru berjalan beberapa periode tahun menciptakan stigma baru yang bergerak dan memaksa untuk merubah beberapa subsektor dengan cepat. Halangan dan benturan menjadi sebuah spektrum tersendiri bagi individu untuk menikmati proses ini dengan memanfaatkan momentum dengan baik dan layak dengan tidak melakukan pencederaan golongan tertentu.

Sedikit menyimpang dari paragraf sebelumnya, mengenai kredo liberal yang muncul di sekrup kehidupan, membawa perubahan yang amat kentara dengan munculnya berbagai merek luar dan style luar yang menghegemoni secara kontinu terhadap kebudayaan pribumi karena alasan tidak lagi relevan. Jean Baudrillard membahas perihal ini dengan mulai munculnya penyampaian empirisme yang memunculkan istilah simulakra.

Mengambil istilah simulakra secara aksiologi bisa kita kontemplasikan dengan pengaruh media sebagai pemuas empirisme, berakibat pada pengaruh gairah psikologi manusia untuk (menjadi) di luar dari kemampuan yang subjek miliki. Kredo liberal mengarah untuk pemuasan laba bagi golongan tertentu secara bebas dan sering memakai media untuk mem-branding dan menarik konsumen.

Hidung mancung, tubuh tegak nan wangi sering dijadikan simbol oleh pemilik modal agar masyarakat terjerumus dalam simulakra bahwasanya tubuh tegap, harum dan molek itu (mutlak) dibutuhkan oleh pasar. Laki-laki juga menjadi korban secara langsung karena dijejali informasi yang mengarah kepada generalisasi dalam menakar sebuah kecantikan yang dimiliki perempuan.

Ketika mindset tersebut sudah dijejalkan secara masif kepada masyarakat, akan memengaruhi ranah pasar untuk membuat kriteria syarat kerja yang wajib untuk dipenuhi oleh pencari kerja. Mulai dari siniliah objektifikasi terhadap perempuan terbentuk yang terus bergerak menembus normalitas. Problematika ini harus diperhatikan dan dipahami dengan taktis dan seksama perihal perempuan.

Kondisi psikologis akan terpengaruh dengan regulasi yang berambisi dari berbagai runtutaun kredo liberal. Meminjam istilah oleh Sigmund Freud –Superego akan terpengaruh oleh pasokan informasi yang diberikan oleh pihak luar. 

Kondisi psikologis sesorang akan terpengaruh untuk mencapai kesempurnaan hidup dengan cara menyesuaikan pribadi agar tidak terlihat kuno karena kontruk sosial yang dibentuk oleh kredo liberal misalnya kecantikan yang telah ditakar dengan pasar.

Sigmund Freud membagi perilaku dan kepribadian perempuan dan laki-laki dibagi menjadi tiga bagian. Id merupakan bawaan dari sifat biologis yang memengaruhi sifat fisik seseorang, Ego memengaruhi untuk berpikir secara rasional untuk menghambat perilaku agresif dari id. Sedangkan Superego dipengaruhi oleh faktor eksternal yang dimana subjek harus menempatkan diri dengan sebijak mungkin agar tidak menyiksa kepribadian mereka.

Insecurity menjangkit beberapa kaum muda khususnya perempuan yang diakibatkan oleh perasaan diri yang tidak bisa memuaskan diri sesuai dengan kebutuhan pasar seperti –kecantikan, elok, wangi tubuh dan tubuh presisi yang terkonstruk demi kepentingan pasar. Anxiety akan memperparah kondisi ini dan membuat penat manusia yang sejatinya insan yang bijaksana.

Ketidakpercayaan diri akan terus menghantui kaum perempuan demi sebuah penghargaan rawan terjadi. Pasar menggunakan kecantikan yang dimiliki perempuan sebagai sebuah komoditas strategis untuk menarik konsumen. Perempuan Good looking akan diutamakan dibanding dengan perempuan yang cerdas secara IQ dan EQ demi kepentingan pasar yang memandang secara empiris.

Usut punya usut, kredo liberallah yang memengaruhi dan mengekplotasi perempuan secara objektif dan masif maka akan menimbulkan stigma negatif yang berkepanjangan di mana makna kecantikan perempuan tidak lagi murni dan dinodai oleh kepentingan pasar yang lebih mengarah kepada pemuasan nafsu empiris semata.

Secara epistemologi, kredo liberal didapatkan melalui pemahaman Laissez-faire yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan komoditas sebesar mungkin tanpa ada regulasi yang mengikat karena akan menghambat jalannya sirkulasi perekonomian.

Karl Polanyi seorang antropolog berkebangsaan Austria dalam bukunya The Great Transformation menggencar habis-habisan prespektif ekonomi arus utama karena kesalahan tafsir masyarakat dalam memahami sirkulasi perkonomian. Bila kita tarik kembali secara simultan akan berpengaruh kepada perubahan sosial yang mengarah kepada eksistensi perempuan yang dipengaruhi oleh sistem.

Di era disrupsi yang sangat kompleks mempengaruhi pelbagai regulasi yang di mana sebelumnya dipandang kurang bijak dan beralih kepada pemahaman yang begitu kompleks. Hal ini didukung dengan munculnya layanan media yang memberikan ruang secara bebas dan mempunyai efek boomerang bagi esensi perempuan.

Memperbanyak wawasan literasi, dan memperkuat jaringan untuk pendiskusian perihal permasalahan perempuan harus dilakukan untuk membentengi runtutan problematika baru yang dapat menciptakan permaslahan baru bagi eksistensi perempuan yang lebih madani.