Ketika kehidupan pribadi Simone de Beauvoir terungkap setelah kematiannya (1986), masyarakat Prancis sempat dilanda syok, kecewa, dan marah. Bukan karena akhirnya terungkap bahwa ia tidak jujur atas biseksualitasnya yang ia sangkal saat masih hidup. Kebohongan semacam ini tidak mereka anggap sebagai persoalan besar.
Yang mengejutkan orang Prancis adalah filsuf feminis yang menyatakan perang terhadap patriarki dan berjuang untuk kebebasan dan eksistensi perempuan, ternyata telah menjadi objek bagi laki-laki (Sartre) sepanjang hidupnya. Bersama laki-laki ini pula, ia "mengobjekkan" perempuan-perempuan muda.
Harus saya akui, saya sempat kehilangan kekaguman pada tokoh ini. Tetapi kemudian saya balik bertanya pada diri sendiri, siapa saya dapat menilai hidup orang lain? Setelah membaca lebih seksama otobiografinya, saya dapat berempati kepada Beauvoir dan melihat benang merah antara karya-karyanya.
Seperti kalimatnya yang terkenal: Kita tidak lahir sebagai perempuan, tetapi kita (berproses) menjadi perempuan. Itulah yang ia alami : ia tidak lahir sebagai perempuan tetapi berproses menjadi perempuan. Kehidupan yang Beauvoir jalani adalah bagian dari prosesnya untuk menjadi perempuan.
Jika dalam prosesnya menjadi perempuan, ia mengalami jadi objek dan penindas. Tulisan-tulisannya hendak mengingatkan perempuan agar tidak menempuh jalan yang sama yang telah ia lalui.
Melalui karya-karyanya, ia hendak menyampaikan apa yang telah ia pelajari dari perjalanan hidupnya sebagai perempuan. Karya-karyanya adalah wujud kemampuannya bernalar dan mengambil hikmah dari apa yang ia alami.
Beauvoir terlibat hubungan percintaan yang rumit dengan Sartre. Tak akan ada pernikahan, tak akan ada anak, tetapi ada kebebasan, demikian ucap Sartre di awal hubungan mereka.
Beauvoir, yang sangat mengagumi Sartre, menyetujui kontrak ini. Sartre adalah pria pertama dalam hidupnya.
Sartre adalah pencinta perempuan, tetapi ia sendiri tidak punya cinta untuk diberikan kepada perempuan-perempuan ini. Bercinta tidak ada dalam kamusnya, yang adalah melakukan hubungan seksual.
Sartre mengaku “maniak” tetapi ia tidak mampu “menyerahkan diri” seutuhnya dalam sebuah relasi seksual. Ia menolak untuk “dikuasai”. Ia tidak mampu “menikmati” karena tidak ingin kehilangan kontrol atas dirinya.
Kurang lebih sepuluh tahun kemudian, hubungan Beauvoir dan Sartre tidak lagi mencakup aspek seksual.
Tetapi Beauvoir tidak ingin berpisah dari Sartre. Ia pun melakukan hubungan seksual dengan “perantara”. Maksudnya adalah Beauvoir "menyediakan" gadis-gadis belia untuk memuaskan kebutuhan seksual Sartre.
Beauvoir mengajak siswi-siswinya (ia mengajar di sekolah menengah atas) untuk tinggal bersama dengannya. Ia menjalin hubungan asmara dengan siswi-siswi ini, sebelum akhirnya Sartre juga menjalin hubungan dengan mereka.
Sartre mengaku bahwa menjadi yang pertama bagi gadis-gadis muda ini memang membawa kepuasan baginya. Meski secara umum, ia tidak hanya tertarik dengan yang lebih muda.
Bianca Bienenfeld, salah satu gadis belia ini, yang dengan tulus mengagumi dan mencintai Sartre dan Beauvoir pada saat itu, sangat terluka ketika mendapati puluhan tahun kemudian bahwa Beauvoir dan Sartre menganggap mereka sebagai “mainan” seks.
Pada tahun 1943, ibu dari seorang siswi menggugat Beauvoir. Beauvoir dianggap telah memanfaatkan relasi kuasa (sebagai pengajar) untuk memanipulasi gadis-gadis ini. Ia dikeluarkan dari Badan Pendidikan Nasional. Sartre sendiri tidak tersentuh.
Dari surat-surat yang dikirim Beauvoir untuk Sartre, diketahui bahwa Beauvoir sangat mencintai Sartre. Sering kali ia cemburu kepada perempuan-perempuan lain yang hadir silih berganti dalam hidup Sartre. Khususnya ia sangat cemburu kepada Olga Kosakiewicz. Kisah hidup mereka bertiga dituliskan Beauvoir dalam novelnya, L’invitée.
Sartre mengingatkannya untuk tidak cemburu karena seharusnya sebagai subjek, Beauvoir harus mengontrol rasa cemburu, dan bukan sebaliknya. Sartre sendiri, menempatkan Beauvoir selalu sebagai yang pertama dan utama, meski ada perempuan-perempuan lain dalam hidupnya.
Ia mengaku membutuhkan Beauvoir, sebagai cinta yang perlu ada, demikian katanya. Cinta mereka, untuk Sartre setidaknya, didasarkan pada asas saling ketergantungan, cinta yang rasional, meski selalu ada kasih sayang dan kepedulian di antara mereka.
Bagi Beauvoir sendiri, cintanya bukan semata karena bersifat “perlu”.
Selain dengan beberapa siswinya, ia memang terlibat hubungan asmara dengan beberapa pria lain. Salah satunya adalah Jacques-Laurent Bost, mantan siswa Sartre, yang kemudian menikah dengan Olga.
Ia sempat menjalin hubungan serius selama 15 tahun dengan Nelson Andren, penulis dari Chicago, yang ia panggil dengan sebutan buaya lembutku. Kisahnya bersama Andren ia tuangkan dalam Les Mandarins.
Novel ini meraih penghargaan Goncourt dan menjadikannya sebagai salah satu penulis yang bukunya paling banyak dibaca di dunia.
Ada pula Claude Lanzmann, pria yang 14 tahun lebih muda dibandingkan Beauvoir, yang sangat mencintai dan mengagumi Beauvoir. Saat itu Beauvoir berusia 44 tahun, merasa terharu menemukan dan merasakan cinta Lanzmann.
Ia mengaku juga mencintai pemuda ini dan menemukan kebahagiaan dalam "ketersiksaan"-nya mencintai Sartre.
Tetapi Beauvoir tidak pernah bisa meninggalkan Sartre. Ia lebih memilih untuk memutuskan hubungannya dengan Andren ataupun Lanzmann asal tidak kehilangan Sartre.
Enam tahun setelah kematian Sartre, Beauvoir menutup mata. Ia dikuburkan tepat di sisi Sartre, dalam satu makam, dengan cincin perak hadiah dari Nelson Andren sejak pagi pertama kebersamaan mereka masih melingkar di jarinya.
Kisah di atas adalah benar tentang Simone de Beauvoir. Ia yang memperingatkan kita untuk tidak menjadi perempuan mistis yang mendewakan laki-laki, yang mengabdikan diri, mengorbankan kepentingan diri, untuk laki-laki.
Apa yang ia tuliskan dalam karya-karyanya bukan bentuk kemunafikannya, tetapi karena ia sendiri telah mengalami jadi perempuan mistis ini dalam prosesnya menjadi perempuan.
Kematiannya (: Sartre) memisahkan kami, dan kematianku tak akan mempersatukan kami kembali. Tetapi bahwa kami dapat menjalani hidup bersama sekian waktu lamanya sudah merupakan hal yang sangat indah. (Beauvoir, 1980, dalam La ceremonie des adieux, buku mengenai kehidupannya bersama Sartre 10 tahun terakhir sebelum Sartre meninggal dunia).