Dua belas hari sejak tragedi berdarah pada tanggal 26-27 September 2019—yang beberapa hari lalu telah ditetapkan sebagai hari Sedarah: September Berdarah oleh KBM (Keluarga Besar Mahasiswa) Teknik se-Sulawesi Tenggara (se-Sultra) di mana dua nyawa, Randi dan M. Yusuf, direnggut oleh kerja aparat negara, hari Senin, 7 Oktober 2019, hingga menjelang asar, mahasiswa yang terhimpun dalam KBM Teknik se-Sultra kembali turun ke jalan, tentu saja menuntut penuntasan kasus terkait peristiwa “sedarah” tersebut.

“Wajah aksi demonstrasi kita ini cenderung maskulin.” Ini yang saya katakan kepada beberapa kawan yang kebetulan terlibat dalam aksi demonstrasi oleh KBM Teknik se-Sultra. Mereka menyambut pernyataan itu dengan manggut-manggut saja. Saya kira mereka tampak setuju, kalau bukan tak begitu ingin terlibat ke dalam percakapan, selain berfokus pada tuntutan aksi.

Hari sesudah kabar pilu itu—kepergian Randi dan M. Yusuf—aksi demonstrasi dari KBM Teknik se-Sultra tak lagi terbendung, memang. Bukan dalam artian tak ada jeda. Tapi paling banter waktu lengang yang digunakan hanya satu atau dua hari belaka, sebelum aksi demonstrasi kembali dilanjutkan. Itu pun diisi dengan konsolidasi dan hal lainnya; yang menyangkut kebutuhan aksi berikutnya.

Sepanjang aksi-aksi demonstrasi inilah, dan aksi demonstrasi 7 Oktober baru-baru ini, saya menangkap realitas lain: demonstrasi yang maskulin. Atau paling tidak, katakanlah, tidak terjadi di daerah lain. Tapi sebelum jauh, apa yang saya definisikan terkait demonstrasi yang maskulin?

***

Pada Februari silam, rumah produksi Pixar merilis film animasi pendek. Sebuah animasi yang, katakanlah, bukan passion Pixar belakangan ini. Animasi pendek itu—yang berdurasi sembilan menit—merupakan singgungan terhadap sikap misoginis dalam lingkungan kantor.

Film pendek itu berjudul Purl. Berangkat dari perspektif surealisme, menceritakan tentang sebuah gulungan benang wol yang dapat berbicara dan berjalan serta hidup. Ia berwarna pink menyala, ceria dan banyak tertawa serta penuh semangat. Dan tak sabar untuk segera memulai kehidupan barunya di perusahaan B.R.O. Capital.

Tapi justru ia mengalami satu kemalangan. Di perusahan tersebut, ia ditentang satu kenyataan bahwa semua rekan kerjanya adalah pria. Dan mereka bertindak negatif terhadapnya. Mau tak mau, ia “mengubah” dirinya sebagaimana rekan kerjanya demi dapat menyesuaikan diri.

Pixar Kristen Lester, seorang seniman perempuan, yang sekaligus menyutradarai animasi Purl itu, mengatakan bahwa film tersebut diinspirasi oleh pengalamannya sendiri dalam industri animasi. Sebab ketika ia baru mulai bekerja, ialah satu-satunya karyawan perempuan. Dan merasa perlu untuk “mengubah” diri serupa rekan prianya. 

“Saya tak ingin ditolak, jadi saya mesti menghilangkan risiko itu,” katanya dalam sebuah wawancara.

Dari film pendek berjudul Purl itu, setidaknya, kita dapat mengurainya menjadi satu jawaban terkait gambaran demonstrasi yang maskulin. Dalam panggung-panggung orasi di demonstrasi mahasiswa, misalnya, nyaris tak pernah kita temukan satu perempuan berdiri dan lantang merapalkan kalimat-kalimat agitasi, atau minimal orasi yang substansial, atau kontekstual. Kalaupun ada, saya berani katakan, tak akan sebanding dengan jumlah laki-laki yang melakukannya.

Tapi bahkan bukan tak pernah, justru pernah terjadi; tentang pergerakan perempuan Indonesia. Barangkali, ingatan kita akan pergi pada tahun 1953, di mana Lapangan Merdeka bagian utara dijejali perempuan. Mereka berangkat dari berbagai macam latar belakang. Partai Wanita Rakyat, Ikatan Bidan Indonesia, Pemuda Putri Indonesia, Wanita Katolik dan Gerwani, serta masih banyak lagi.

Hanya saja, memang, tampaknya sejarah mengenai pergerakan atau perjuangan perempuan Indonesia sengaja dikaburkan. Entah oleh siapa. Contoh terkait dapat dilihat atas apa yang belum lama ini digelar oleh Komnas Perempuan.

Pada Minggu, 20 Mei 2018, Komnas Perempuan mengadakan sebuah konferensi pers. Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, menyatakan, “Kegiatan reformasi sering kali dianggap sebagai gerakan mahasiswa maupun lengsernya Presiden Soeharto. Akan tetapi, ingatan tentang narasi perempuan sebagai penggerak massa pada aksi Suara Ibu Peduli tidak pernah benar-benar masuk dalam perjalanan reformasi.”

Pernyataan dari Komnas Perempuan ini memang tak pernah hadir dalam narasi reformasi. Kecenderungan narasi sejarah terkait reformasi, katakanlah, benar hanya tentang lengsernya Presiden Soeharto. Saya, bagaimanapun, tak menyebut ini sebagai kemunduran, seandainya Anda menanggapinya demikian, melainkan, sebuah realitas yang seolah dimaklumkan.

Kita, bagaimanapun, tentu tak sepakat jika pola “penghilangan” sejarah pergerakan perempuan, mewabah sampai pada aksi-aksi demonstrasi—yang menghilangkan peran perempuan dalam, paling tidak panggung orasi ilmiah, seandainya sulit untuk hal yang lebih jauh.

***

Berkisar satu jam sejak saya membikin satu pernyataan kepada beberapa kawan, bahwa “Wajah aksi demonstrasi kita ini cenderung maskulin”, sebagaimana di muka saya singgung, tetiba suara lantang dari toa terdengar, “Tega kalian, Bu? Tega kalian?”

Saya tahu suara itu tengah membikin soal kepada para polwan (polisi wanita) yang berjaga tepat di seberang kawat duri penghalang massa aksi. Itu datang dari moncong seorang mahasiswi. Ia angkatan 2019. Masih belia. Baru. Sedang berorasi. 

Saya bersyukur, percayalah, sebab tak ada gulungan benang wol berwarna pink menyala di aksi demonstrasi kali ini.