Naskah Serat Centhini
Keberadaan naskah kuno sebagai salah satu sumber sejarah tidak hanya menandakan beragamnya kebudayaan bangsa Indonesia, melainkan sekaligus medium yang merekam realitas masyarakat Indonesia berabad-abad lalu.
Misalnya seperti naskah Serat Centhini yang disebut sebagai naskah yang berisi sebagian besar pengetahuan orang Jawa yang mendeskripsikan komposisi Islam dan budaya Jawa. Serat Centhini sebagai buku kesusastraan Jawa terdiri atas dua belas jilid dengan total keseluruhan berjumlah 3500 halaman.
Serat Centhini layaknya ensiklopedia kebudayaan Jawa sebab hampir seluruhnya menyoal tentang kebiasaan, adat istiadat, cerita, legenda, dan ilmu-ilmu lain yang bereda di kalangan masyarakat Jawa pada abad ke 16-17 yang masih tetap hidup dan relevan hingga saat ini.
Pada masa Pakubuwana V Serat Centhini digubah dengan dipimpin oleh Adipati Anom dibantu oleh; R. Ngabehi Sutrasna, R. Ngabehi Yasadipura, R. Ngabehi Sastradipura. Jilid 1-4 dikerjakan oleh pujangga tersebut, sedangkan jilid 5-10 dikerjakan oleh Adipati Anom.
Sedangkan jilid 11-12 diserahkan kembali pada ketiga pujangga tersebut. Secara garis besar, naskah ini menceritakan tentang kisah pelarian dari dua putra dan satu putri dari Sunan Giri III (Giri Parapen) saat ditaklukan oleh Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1936.
Dua putra tersebut adalah Jayengresmi, Jayengraga, dan seorang putri bernama Rancangkapti. Dalam perjalanan tersebut Jayengresmi bertemu dengan guru, tokoh-tokoh gaib, dan juru kunci makan-makam keramat.
Sehingga perjalanan tersebut agaknya seperti merupakan pendewasaan spiritual bagi Jayengresmi sebab dengan pertemuan tersebut ia memperoleh pengetahuan tentang kebudayaan Jawa. Serat Centhini juga mengisahkan perjalanan Mas Cebolang.
Serat Centhini sebetulnya merupakan bukti akulturasi antara agama Islam dan Jawa, di mana Islam dan kebudayaan Jawa hidup dengan berdampingan.
Dengan kata lain, Serat Centhini mengadopsi kultur Jawa dan ajaran Islam. Dengan begitu kita dapat melihat bagaimana dua entitas yang berbeda dapat saling mengisi dan menjadi sumber sejarah yang dapat dibaca hingga kini.
Perempuan dan Perkawinan
Perjalanan yang membuahkan pengetahuan terhadap kebudayaan Jawa tersebut salah satunya adalah pengetahuan adat istiadat mengenai perkawinan dan yang di dalamnya terdapat persoalan mengenai perempuan.
Misalnya pada jilid dua yang secara garis besar menggambarkan adat istiadat yang berkenaan dengan enam perilaku asmara yakni nikah, cerai, idah, rujuk, khuluk, dan maskawin, keterangan tentang delapan belas wanita yang tidak boleh diperistri.
Atau pada jilid tiga yang juga menyinggung persoalan pemilihan jodoh berdasarkan bibit, bebet, bobot maupun tanda-tanda baik-buruknya sifat wanita serta ihwal asmara lain. Pada jilid lima juga sedikit menceritakan soal keutamaan wanita dalam pernikahan.
Representasi adat istiadat yang berkaitan dengan perempuan dalam naskah Serat Centhini memiliki korelasi pada bagaimana perempuan terbalut oleh nilai-nilai budaya yang melekat dalam masyarakat tradisional. Khususnya perempuan Jawa yang erat dengan berbagai macam tata krama yang ada.
Sebut saja sifat-sifat seperti penurut dan lemah lembut yang telah tertanam dalam budaya masyarakat Jawa. Kepatuhan perempuan tersebut salah satunya diperuntukkan kepada kaum laki-laki yakni sang suami.
Seperti yang terdapat dalam Serat Centhini bahwasannya dasar yang paling utama dalam hal perkawinan adalah memilih jodoh atau perempuan yang pantas untuk dijadikan istri dengan mempertimbangkan bibit, bebet, bobot.
Serat Centhini menyebut bibit sebagai penampilan fisik perempuan itu sendiri, di mana perempuan adalah cantik, memiliki kepandaian, kepribadian, kemampuan, dan keturunan. Sementara bebet adalah harta atau kekayaan orang tua dan bobot adalah siapa dan dari mana asal usul atau silsilah orang tua.
Dalam Serat Centhini perempuan digambarkan pada posisi subordinat sebagaimana kultur masyarakat Jawa adanya. Di mana dalam konteks dan konsepsi ini perempuan dianggap sebagai pelengkap laki-laki dan tidak melihat perempuan sebagai subjek individu yang utuh.
Perempuan seolah menjadi "sesuatu" yang dapat diatur sedemikian rupa oleh laki-laki. Berdasarkan apa yang digambarkan dalam Serat Centhini utamanya soal perempuan dan perkawinan, kita harus juga sekaligus memahami tradisi Jawa dan hal-hal yang mengikat perempuan dalam sistemnya.
Sebab dengan memahami secara komprehensif tersebut, kita dapat melihat akar-akar budaya patriarki yang kental terbentuk sejak dulu serta bagaimana hingga kini perempuan masih terus berupaya mempertahankan aktualisasi dirinya.
Sebagai salah satu warisan kekayaan budaya Indonesia, naskah kuno umumnya dan naskah Serat Centhini khususnya merupakan perjalanan hidup masyarakat Indonesia di masa lalu dalam bentuk tulisan.
Artinya, apa-apa yang terjadi di dalam naskah tersebut merupakan refleksi atas kehidupan sosial masyarakat Indonesia saat itu. Maka upaya-upaya pembacaan dan pemahaman naskah kuno menjadi hal yang urgensial dilakukan.
Sebab selain sebagai upaya pelestarian naskah itu sendiri, dapat pula menjadi khazanah pengetahuan dan intelektual kita dalam memahami fenomena-fenomena sosial hari ini. Sekaligus merupakan salah satu usaha memperkenalkan naskah Serat Centhini kepada masyarakat luas.