Dulu perempuan itu sangat menawan. Ia tak kenal takut menantang para lelaki berdebat dalam forum diskusi yang sangat maskulin. Satu waktu ia pernah marah besar saat kekasihnya menyarankan ia mendalami feminisme saja, bukan filsafat atau ilmu-ilmu sosial lainnya.

Katanya, “Karena aku perempuan maka aku hanya pantas belajar feminisme saja?”

Sang kekasih masih keras kepala, “Lho, apa salahnya? Mempelajari feminisme bagus buat kamu, bisa membuka berbagai kesempatan. Apalagi kalau kamu mau lanjut studi atau berkarir di kampus.”

Ia semakin berang mendengar jawaban itu.

“Aku hanya setuju satu hal sama ucapan kamu, belajar feminsime itu bagus. Sisanya, sampah.”

Ia lalu kabur dari kosan kekasihnya dan tak pernah kembali lagi.

******

Tara nama perempuan itu. Aku harus menyebut namanya agar mudah menandai siapa yang sedang kuceritakan. Tara tidak pernah bisa menjadi primadona kampus meski ia secantik aku dan, tentu saja, jauh lebih cerdas daripada aku.

Ketegasannya hampir melukiskan arogansi. Ia sangat kuat berpegangan pada prinsip hidupnya. So determined. Kalau sudah punya satu maksud, ia tak akan berhenti mewujudkannya.

Tak ada lelaki yang berani mendekatinya. Atau, tak ada lelaki yang cukup percaya bisa menyejajarkan diri dengannya. Mungkin karena itu aku jauh lebih popular di kalangan para pria, muda ataupun tua. Aku lebih fleksibel, cenderung pushover. Bisa jadi, aku lebih mudah dimanipulasi.

Aku dan Tara tak pernah benar-benar akrab meski sering jalan bareng. Ada persaingan yang diam-diam kurawat dan menciptakan jarak di antara kita. Persaingan dua perempuan yang sering menjadi perbincangan.

Dulu aku tak pernah berani menyadari, betapa aku ingin pesona Tara terus berkurang. Atas nama adab dan kemanusiaan aku harus mengenyahkan segala kedengkianku terhadapnya. Jadilah aku mendekat padanya, demi menyembunyikan perasaanku yang sebenar-benarnya terhadap sang perempuan.

Aku rasa Tara punya kedengkian serupa terhadapku. Meski ia membaca banyak buku, kendati kesan sang eksistensialis teramat kental dalam tulisannya, tetap saja aku bisa membaca binar-binar kedengkian dari matanya setiap kali para lelaki mengerumuniku.

Mungkin Tara tak pernah menduga, seringkali mereka mengerumuniku hanya untuk membuka perbincangan tentang dirinya. Ah... Tara, aku dan para lelaki di sekeliling kami waktu itu benar-benar norak!

*****

Perempuan yang terlalu kuat dan mandiri harus didampingi oleh lelaki yang punya sensitivitas tinggi. Itu hanya keyakinanku saja. Aku menemukan kesimpulan ini setelah membandingkan kehidupanku dengan Tara.

Aku tak seperti Tara. Aku terbuka terhadap sikap melindungi para lelaki. Aku suka diobjektivikasi. Aku tak keberatan jika para lelaki mau menghamburkan pujian atas tubuhku. Aku juga senang-senang saja jika para lelaki memboroskan uang mereka untuk memanjakanku. Aku tak pernah membatasi kesenangan diriku agar dipandang sebagai perempuan mandiri dan modern.

Tapi Tara tentu berbeda. Ia tak mau jika para lelaki mengatur apa pun tentang dirinya. Ia akan marah besar jika seorang lelaki menatap tubuhnya terlalu lama. Ia selalu menolak hadiah-hadiah yang tak relevan. Ia akan berada di barisan paling depan saat demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap perempuan.

Tentu aku masih selalu iri terhadap Tara. Bahkan setelah kami sama-sama lulus dari universitas. Tara melanjutkan studi ke luar negeri dan aku mulai merintis usaha sendiri dengan bantuan dana dari para pria yang baik hati.

Jika aku selalu mendekat pada lelaki, tidak dengan Tara. Ia cenderung menjauh atau dijauhi laki-laki. Hanya dua lelaki yang pernah dekat dengannya. Keduanya menorehkan luka yang mendalam bagi Tara.

Aku tahu karena kedua lelaki itu enteng saja bercerita kepadaku tentang bagaimana mereka mencampakkan Tara. Kedua lelaki itu tentu pernah tidur denganku. Entah saat mereka masih bersama Tara atau setelah keduanya menjauh dari ia.

Keduanya sama-sama mengaku masih mencintai Tara. Tapi Tara terlalu keras kepala, egois, tak punya banyak waktu untuk menjadi kekasih yang baik.

Mereka sama-sama menyatakan, “Kamu berbeda dengan Tara. Kamu mampu membuatku rileks. Bersama kamu aku benar-benar bisa menikmati hidup.”

Aku senang mendengarnya. Bukan karena aku menyukai dua lelaki itu, tapi karena diam-diam aku bisa mengalahkan Tara. Setidaknya dalam soal hubungan dengan laki-laki.

Tara dan kegagalan cintanya sering menjadi hiburan tersendiri setiap teman-teman satu angkatan di kampus menggelar reuni. Letupan cemburu tercium melalui berbagai ungkapan simpati atas kekurangan Tara pada sisi ini.

Rupanya bukan hanya aku yang mencemburui Tara, para perempuan yang rata-rata telah melahirkan dua anak juga memendam kecemburuan terhadapnya. Well, ironis, justru dalam reuni-reuni itulah terungkap bagaimana Tara telah menjadi primadona sedari mula.

Sampai saat kudengar ia telah menyelesaikan sekolahnya di luar negeri, kehidupan cintanya semakin redup hingga lambat laun tak lagi menjadi bahan perbincangan kami setiap kali reuni. Ia sendiri tak pernah menghadiri reuni. Tara semakin terlihat tak membutuhkan siapa pun. Ia seakan bisa menggenggam dunia sendirian.

Kabar terakhir yang kudengar, Tara mengajar di sebuah universitas paling bergengsi di negeri ini. Ah, aku sudah tahu dari dulu, ia akan mewujud bintang paling gemilang di antara kami, teman-teman satu kampusnya.

Kecemburuanku telah padam. Bukan karena Tara semakin jauh dari jangkauan, tetapi usia telah merapuhkan kesadaranku akan hal-hal di luar diriku. Aku lebih banyak mengurusi diriku, bukan orang lain.

*****

Seseorang yang wajah dan seluruh tubuhnya ditutupi kain hitam, mendekatiku. Aku tengah mencari furnitur untuk mengisi rumah baru hadiah dari seorang pria baik hati. Dari suaranya saat menyapaku, tahulah aku dia itu Tara. Kuperhatikan kedua matanya, aku semakin yakin kalau dia Tara.

Kami bertukar kabar, saling memberi tahu ringkasan perjalanan hidup masing-masing.

“Wow, Tara... aku tak menduga!" akhirnya kata-kataku sampai pada ketakjuban yang kutahan kuat-kuat melihat penampilan Tara yang jauh dari bayanganku selama ini.

Kukira Tara tengah tersenyum, dua matanya sedikit mengecil dan setiap sudutnya membentuk dua garis yang sedikit melengkung.

“Ya, insyaallah..” jawabnya.

Keheningan sementara menguasai kami. Aku sebenarnya ingin mengobrol banyak dengan dia, tapi aku khawatir akan mengeluarkan kata-kata yang mungkin bisa menyinggungnya.

Sepertinya Tara punya pandangan yang sama, beberapa detik setelah keheningan itu ia pamit karena harus menjemput anak-anaknya.

Aku menyambut pamitnya dengan ekspresi lega yang gagal ditutupi. Aku bahkan lupa tanya, berapa anak yang telah dilahirkannya, apalagi nama-nama mereka.

******

Setelah pertemuan itu, keusilanku kembali kumat. Aku membuka Facebook dan mengunjungi beranda Tara. Hal pertama yang menarik perhatianku adalah profile picture Tara yang hanya menampilkan sketsa wajah bercadar.

Aku mulai menelusuri album miliknya. Tak satu pun kutemui foto Tara. Hanya foto dua anaknya dan seorang lelaki kurus berjanggut tipis panjang. Mereka nampak sering berkunjung ke banyak tempat tapi Tara hanya menggambarkan kehadirannya di belakang lensa, dengan memberi caption pada foto-foto itu.

"Ia telah menjadi juru foto rupanya," gumamku. Aku tertawa geli setelah mengeluarkan gumam itu. Aku memang tidak pintar, tapi cukup well informed untuk tahu mengapa Tara tak lagi berfoto.

Kuperiksa juga riwayat pekerjaannya. Dulu aku sempat membaca: "Dosen Universitas I" pada kolom pekerjaannya. Kini kolom itu ia kosongkan.

Aku mulai membaca status-status Tara. Di sana ia banyak berdoa juga mengumpat. Sering ia mengajak ini itu kepada para perempuan. Terkadang ia membagikan video-video ceramah tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan perempuan. 

Ia juga sering terlibat dalam perang opini tentang isu-isu agama yang memanas di media sosial. Ia keras menyatakan argumentasinya tentang siapa yang boleh dan tak boleh dijadikan pemimpin menurut keyakinan yang kini dianutnya. Semuanya selalu berlandaskan pada teks-teks agama yang dulu sering ia lawan.

Aku tergoda untuk memeriksa status-status lamanya yang kerap mengkritisi banyak hal tentang agama yang kini sangat dipujanya. Rupanya status-status itu telah menghilang, mungkin sekadar disembunyikan.

Aktivitas Tara di Facebook sering diapresiasi oleh puluhan orang lewat komentar-komentar yang memuji dan mendukung. Ia sudah punya banyak teman yang sering mengamini setiap statusnya. Kebanyakan adalah teman-teman yang tak pernah satu kampus dengannya.

Tara yang kini sedang kubaca terasa asing bagiku. Ia tak menyisakan pesona yang membuat gadis-gadis kampusku dimabuk cemburu. Hanya satu yang tersisa darinya, kesan arogan yang selalu nampak setiap kali ia memercayai sebuah kebenaran.

Aku merenungi perubahan Tara. Masihkah aku menyimpan cemburu itu? Sebentar, aku lupa menaruhnya di mana.