Meski baru berbentuk draft poligini, namun Raqan Poligini sudah menuai polemik di tengah-tengah masyarakat Aceh bahkan Indonesia. Raqan (Rancangan Qanun) Hukum Keluarga yang sedang digodok oleh Komisi VII DPRA nantinya akan mengatur mekanisme poligini di Aceh.

Regulasi itu didasari atas fenomena maraknya pernikahan siri yang merugikan perempuan. Melalui regulasi itu, nantinya suami yang ingin menikah lagi harus memiliki kualifikasi kemampuan ekonomi dan memenuhi syarat administrasi lainnya.

Sekilas, tujuan Raqan tersebut memiliki tujuan baik. Sayangnya, Raqan tersebut memiliki kekeliruan istilah sehingga aturan yang disusun berpotensi merugikan perempuan. 

Kesalahan istilah yang saya maksud ialah "poligami". Jika benar pemerintah Aceh menggunakan istilah "poligami", maka aturan yang akan disahkan pada September nanti tidak hanya memuat mekanisme laki-laki dapat memiliki istri lebih dari satu. Harusnya perempuan yang ingin memiliki suami lebih dari satu juga di atur. 

Sebabnya, poligami tidak merujuk pada jenis kelamin. Kecuali yang dimaksud DPR Aceh ialah poligini. 

Baiklah, barangkali media massa yang salah menuliskan istilah tersebut. Sudah lazim di masyarakat yang dipahami bahwa bila seseorang memiliki lebih dari satu istri disebut poligami.

Padahal, bila yang dimaksud seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri, istilah yang mesti digunakan adalah "poligini". Sementara bila perempuan memiliki suami lebih dari satu disebut "poliandri".

Berdasarkan KBBI, istilah "poligami" berarti sistem yang membolehkan seseorang memiliki istri atau suami lebih dari satu. Hal ini perlu diluruskan agar generasi selanjutnya tidak mewarisi kesalahan yang dianggap benar.

Saya anggap saja istilah ini sudah diralat. Lalu bagaimana dengan argumen dasar pembuatan qanun (perda) tentang hukum keluarga yang membolehkan seseorang memiliki istri lebih dari satu?

Argumen Qanun Hukum Keluarga nantinya bertujuan mencegah praktik nikah siri adalah alasan yang salah sasaran. Harusnya yang dibasmi adalah mafia pernikahan yang ikut mengembangkan pernikahan siri tanpa peduli dampak pernikahan tersebut.

Meski secara hukum agama nikah siri dibolehkan, tetapi secara hukum negara tidak diakui, termasuk hak waris bagi anak-anak dalam pernikahan tersebut.

Nikah siri sangat berpotensi merugikan istri dan anak. Apakah nantinya Qanun tersebut mengatur sanksi kepada pelaku nikah siri? Jika tidak, maka Qanun poligini tidak berfaedah karena anak dan istri hasil pernikahan itu tetap berpotensi terlantar.

Saya melihat ada kegamangan bahkan kedangkalan berpikir di sana. Bagaimana mencegah praktik nikah siri dengan Qanun poligini sementara nikah siri bukan hanya soal poligini? Seolah-olah pelaku nikah siri hanya berpoligini, padahal tidak.

Bukankah ada yang menikah siri pada pernikahan pertamanya? Jadi alasan mencegah maraknya nikah siri dengan Qanun poligini tidak nyambung. Mau ketawa takut dosa, senyumin saja deh bila Raqan nantinya disahkan menjadi Qanun.

Argumen mencegah maraknya nikah siri dengan poligini bukanlah solusi. Menurut saya, lebih urgen disusun regulasi kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran anak, dan kejahatan-kejahatan rumah tangga lainnya. 

Raqan itu lebih berguna ketimbang mengurusi syahwat menikah dua sampai empat. Poin dari nikah siri adalah seringnya anak-anak dan istri dirugikan meski itu pernikahan pertama.

Bahkan kasus kejahatan dalam rumah tangga bukan hanya terjadi pada nikah siri. Pernikahan tercatat secara resmi juga terjadi kekerasan berbasis psikis, fisik, maupun ekonomi.

Data dari simfoni KPPPA mengatakan 400 lebih kasus KDRT sepanjang tahun 2018. Per April 2019 telah terjadi kasus KDRT sebanyak 95 kasus kekerasan rumah tangga telah terjadi di Aceh. 

Kasus-kasus KDRT di atas yang dilaporkan, bagaimana dengan kasus-kasus yang tidak dilaporkan korban karena ancaman dan sebab lainnya? Harusnya Raqan Hukum Keluarga lebih fokus pada persoalan ini. 

Sanksi tegas bukan hanya mencegah praktik yang merugikan perempuan dan anak. Dengan sendirinya, kasus poligini dengan mekanisme nikah siri akan berkurang. Setiap pernikahan, tercatat atau siri, yang melakukan KDRT harus diberikan sanksi tegas.

Bagi yang berpoligini dan melakukan KDRT, hukuman digandakan atau lebih berat dari yang monogami. Dengan demikian, Qanun menjadi landasan hukum bagi pelaku kejahatan dalam rumah tangga.

Qanun rumah tangga juga nantinya mengatur sanksi bagi para orang tua yang menelantarkan anaknya. Apakah itu terkait stunting, pendidikan, maupun kasus pemaksaan pernikahan terhadap anak.

Apabila sanksi atau hukuman bagi pelaku kejahatan dalam rumah tangga dilaksanakan dengan tegas, maka ketika istri menyuruh poligini sekalipun, suami akan berpikir panjang malah menolak.

Sekali lagi, harus jelas tujuan Raqan Poligini yang akan disahkan September nanti. Demi kepuasaan seksual laki-laki, menjaga perempuan, atau menjaga anak-anak dari penelantaran?

Harus diingat bahwa secara nasional, Aceh menduduki peringkat 3 kasus stunting. Itu artinya masih sangat banyak anak-anak yang belum mendapatkan haknya. Urusan stunting bukan hanya urusan negara, namun tanggung jawab para orang tua.

Raqan Hukum Keluarga harusnya tidak hanya mengurusi kebutuhan laki-laki dewasa. Anak-anak pantas dilindungi dari perilaku manusia dewasa yang menelantarkan mereka dari sebuah perkawinan tercatat maupun siri.