Pernikahan dan rumah tangga sesungguhnya menempati posisi yang sangat penting dan menentukan dari jati diri sebuah bangsa. Sebab di dalam sebuah rumah tangga itulah pada calon generasi penerus itu dilahirkan sekaligus dipersiapkan.
Biasanya, pernikahan yang baik akan diteruskan dengan kehidupan rumah tangga yang baik pula. Maka hasilnya adalah lahirnya generasi yang sehat jasmani rohani dan siap menjadi generasi penerus.
Sebaliknya, sering kali perkawinan yang kurang bermoral merusak sendi-sendi keharmonisan rumah tangga, di mana sedikit banyak pasti akan berpengaruh kepada kualitas dari generasi penerus.
Adapun perceraian adalah putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri, disertai dengan putusnya ikatan hubungan perkawinan antara suami dan istri. Cerai diikrarkan oleh suami di depan sidang Pengadilan Agama.
Jadi, cerai talak adalah pemutusan ikatan perkawinan (akad nikah) antara suami dan istri oleh suami yang mengumumkan cerai di depan sidang Pengadilan Agama.
Namun pada praktiknya masih banyak penyimpangan yang dilakukan masyarakat, misalnya lantaran sudah sah jatuh talak menurut agama ataupun sulit dalam administrasi dan alasan lainnya. Sehingga menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dan sangat berdampak negatif bagi suami istri, khususnya anak.
Perceraian adalah bagian dari perkawinan karena tidak ada perceraian tanpa menikah terlebih dahulu. perkawinan adalah permulaan hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita dan diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan adalah suatu kontrak yang didasarkan pada persetujuan sukarela dari pasangan untuk menjadi suami dan istri.
Perceraian adalah putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri, disertai dengan putusnya ikatan hubungan perkawinan antara suami dan istri.
Cerai diikrarkan oleh suami di depan sidang Pengadilan Agama.
Jadi, cerai talak adalah pemutusan ikatan perkawinan (akad nikah) antara suami dan istri oleh suami yang mengumumkan cerai di depan sidang Pengadilan Agama.
Menurut hukum positif, cerai di bawah tangan atau dengan kata lain cerai adalah perbuatan melawan hukum, karena dalam pandangan hukum positif cerai harus dilakukan di depan pengadilan.
Oleh karena itu, dari segi hukum dapat dikatakan bahwa perceraian di bawah tangan tidak sah dan harus dihapuskan, sedangkan istri tetap mengikat suami secara sah.
Padahal, perceraian yang dilakukan di muka sidang pengadilan lebih memberikan kepastian hukum kepada pelaku perceraian, karena perbuatan hukumnya dapat dibuktikan dalam bentuk akta asli yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yaitu akta cerai.
Selain itu, dari segi kepentingan, perceraian perlu dilakukan di pengadilan, agar tidak terjadi perceraian yang tidak tertib dan perkawinan kedua dimana suami menggunakan kewenangan suami untuk menceraikan istri tanpa alasan.
Atau sebaliknya, kalaupun istri tidak tahu, tetap tidak bisa dibenarkan karena secara hukum istri masih menikah dengan mantan suaminya, karena perceraiannya tidak sah.
Perceraian di bawah tangan atau perceraian di luar pengadilan istilahnya muncul menjadi fenomena di masyarakat akibat dari pelaksanaan hukum perceraian yang dilakukan oleh masyarakat tidak sesuai ketentuan hukum positif.
Dalam hukum Islam mensyariatkan perceraian yang bersumber dari Al Qur'an an dan Al Hadits, sehingga selama perceraian itu telah memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan, maka perceraian tersebut dianggap sah.
Perceraian dalam perspektif Hukum Islam dapat terjadi dengan segala cara yang menunjukkan berakhirnya hubungan suami istri diantaranya sebagai berikut:
a. Perceraian dengan kata-kata Adakalanya kata-kata yang digunakan itu terus terang, tetapi adakalanya dengan sindiran.
b. Perceraian dengan surat Perceraian dengan menggunakan surat dapat dijatuhkan sekalipun yang menulisnya mampu berkata-kata.
c. Isyarat orang bisu merupakan alat menjelaskan maksud hatinya kepada orang lain. Karena itu, isyarat seperti ini dipandang sama nilainya dengan kata-kata yang diucapkan dalam menjatuhkan talak apabila orang bisu memberikan isyarat yang maksudnya mengakhiri hubungan suami istri.
d. Mengirimkan seorang utusan Talak dianggap sah dengan mengirim seorang utusan untuk menyampaikan kepada istrinya yang berada di tempat lain bahwa ia telah ditolak.
Ulama fiqh mengemukakan rincian hukum talak jika dilihat dari kondisi rumah tanga yang menyebabkan talak itu terjadi antara lain sebagai berikut :
a. Talak dihukumkan wajib apabila antara suami isteri senantiasa terjadi percekcokan dan ternyata setelah dilakukan pendekatan melalui juru damai (hakam) dari kedua belah pihak, percekcokan tersebut tidak kunjung berakhir.
b. Talak dihukumkan sunah apabila isteri tidak mau patuh kepada hukum-hukum Allah, Subhanahu wa Ta'ala dan tidak mau melaksanakan kewajibannya, baik sebagai hamba Allah, Subhanahu wa Ta'ala (seperti shalat dan puasa) maupun sebagai isteri (tidak mau melayani suami).
c. Talak dihukumkan haram tatkala suami mengetahui bahwa isterinya akan melakukan perbuatan zina apabila ia menjatuhkan talak isterinya. Atau talak yang diharamkan ini adalah menjatuhkan talak isteri dalam keadaan haid dan nifas.
d. Talak dihukumkan makruh apabila talak tersebut dijatuhkan tanpa alasan sama sekali. Hal inilah yang dimaksudkan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, al-Hakim, dan Ibnu Majah dari Abdulah bin Umar.
e. Talak dihukumkan mubah (boleh) apabila talak itu dijatuhkan dengan alasan tertentu, seperti akhlak wanita yang diceraikan itu tidak baik, pelayanannya terhadap suami tidak baik, dan hubungan antara keduanya tidak sejalan, meskipun pertengkaran dapat dihindari.
Maka perceraian di bawah tangan jika di tinjau dari perspektif hukum Islam selama telah terpenuhi syarat dan rukun talak yang telah ditetapkan dalam fiqh, tetap dinyatakan sah.
Dengan demikian dalam hukum Islam sahnya talak atau cerai itu terletak pada dipenuhinya syarat dan rukun talak. Maka jika talak atau cerai telah sah dalam perspektif hukum Islam, maka pernikahan suami atau istri selanjutnya pun tetap sah secara hukum Islam selama syarat dan rukun nikahnya dipenuhi.
Namun perceraian semacam ini walau dianggap sah secara fiqh, namun tidak memberikan kepastian hukum, karena tidak adanya bukti akta otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sehingga rawan akan sengketa dan gugatan.
Hal ini terjadi karena perceraian tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum positif.