Megawati adalah salah seorang politisi yang paling legendaris di antara para politisi lelaki yang sering menunjukkan tindakan mereka yang justru tidak sejatinya laki-laki. Orang ini adalah ibu bagi bangsa ini.

Orang yang dibesarkan dalam keluarga presiden pertama Republik Indonesia pada abad 20, hidup untuk mengelola dan menuntun abad 21.

Megawati adalah King Maker yang benar-benar berpengaruh. Gerakannya dalam senyap terkadang membuat kita tidak sadar bahwa ada dirinya dalam segala pergerakan politiknya.

Megawati jarang bergerak. Tapi sekalinya beliau bergerak, pasti itu disebabkan karena dia bisa melihat pergerakan politik ke depannya yang begitu genting. Ketika dia bergerak, kita bisa tahu bahwa ada hal-hal yang penting terjadi.

Ketua umum PDI-P menjadi sosok yang begitu mahir membaca gerakan politik di Indonesia. Beliau memiliki penerawangan yang cukup jitu. Apa yang dia kerjakan tentu tidak pernah lepas dari gerakan politik dan suasana alias keadaan politik yang penting, terkadang genting.

Ibu Megawati, anak kandung dari Soekarno, bapak pendiri bangsa ini, mungkin adalah satu dari puluhan bahkan ratusan juta orang yang bisa menatap arah politik ke depan. Beliau menjadi sosok inspiratif, yang memiliki pandangan yang sangat jauh.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, Megawati terlihat agak khawatir dengan kondisi bangsa Indonesia.

Kita melihat sekitar 5 tahun yang lalu, kekhawatirannya terhadap politik di Indonesia, sehingga membuat dirinya harus memajukan Joko Widodo ke pilpres 2014. Akhirnya apa yang menjadi strategi Megawati berjalan dengan baik. Joko Widodo berhasil memenangkan pilpres 2014.

10 tahun menjadi oposisi sebelumnya, PDI-P tidak banyak bergerak. Memang PDI-P kurang terlalu memperlihatkan taringnya selama menjadi oposisi di era Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi sekarang, sebagai partai yang mengusung Joko Widodo, Megawati lebih terlihat lebih aktif. Memang secara natur, ini adalah hal yang lumrah.

Megawati adalah orang yang selesai dengan dirinya. Dia adalah orang yang tidak pendendam. Setiap tindakan yang ia terima dari kawan ataupun lawan politiknya, dijadikan bahan refleksi dan kalau perlu koreksi internal.

PDI-P memang menjadi partai yang lahir dari rahim demokrasi. Rahim rakyat melahirkan politisi-politisi seperti Djarot Saiful Hidayat, Adian Napitupulu, Budiman Sudjatmiko, Eva Sundari, dan berbagai politisi lainnya. PDI-P adalah partai yang merangkul.

Dari kesempatannya kemarin, kita melihat bagaimana Megawati mengundang Prabowo untuk bertemu. Publik menyambut baik dan kami melihat bahwa pertemuan mereka ini memberikan dampak positif bagi bangsa ini. Saya gembira.

Akan tetapi, di hari yang sama, kita juga melihat bagaimana Surya Paloh ditemui Anies. Reaksi publik malah miris, sedih, antitesis, dan tidak se-membahagiakan dibanding pertemuan Megawati dan Prabowo. Mengapa bisa demikian? Berikut analisisnya.

Penulis melihat dengan sangat jelas bahwa memang pertemuan Megawati dan Prabowo adalah pertemuan yang memang mendinginkan suasana. Kita lihat secara kronologi, pertemuan kedua orang ini hanya sebatas pertemuan yang sudah direncanakan.

Pertemuan Megawati dan Prabowo ini sudah diprediksi. Pertemuan Jokowi dan Prabowo di MRT menjadi sebuah pertemuan perdana, tonggak untuk menandakan adanya penerimaan akan kekalahan dan pengakuan dari Prabowo kepada kemenangan Joko Widodo. Pilpres sudah usai, begitulah opini yang terbangun.

Pasca MRT, para pendukung Prabowo mulai mengamuk dan mencak-mencak di media sosial, mencabut dukungan mereka. Loyalitas para pendukung militan Prabowo sudah benar-benar habis tergerus. Ramai-ramai unfollow Om. Alihkan ke siapa? Pasti kalian tahu.

Dalam waktu yang singkat, nama gubernur DKI pun mencuat. Mencuat muncul menjadi calon presiden di tahun 2024. Apa-apaan ini? Jokowi belum dilantik, sudah usung Anies?

Jadi penulis melihat bahwa pertemuan antara Megawati dan Prabowo memang menjadi sebuah bentuk follow up lanjutan yang menjadi upaya penyeimbang dan bisa dianggap sebagai bentuk kelanjutan saja. Sesederhana itu. Kepentingan politik Prabowo sudah diluruskan oleh Jokowi di MRT.

Megawati paham cara bersahabat. Memang pasti ada pembicaraan politik di balik pertemuan mereka, selain nasi goreng yang tersaji. Akan tetapi, bagi Megawati, persahabatan jauh lebih penting. Mungkin mereka sedang nostalgia 15 tahun silam, ketika jargon MegaPro muncul di tahun 2004.

Tapi apa agenda pertemuan Surya dan Anies? Nah, silakan para pembaca lihat perbedaannya, dan nilai sendiri. Penulis tidak perduli apakah Surya dukung doi jadi capres 2024 atau tidak. Masalahnya sebenarnya ini…

Undang produk demokrasi yang tidak demokratis, untuk berbicara mengenai masa depan, adalah blunder terbesar. Sudah paham, kan, perbedaan antara Megawati Prabowo dengan yang satu lagi, sayang?

Lagi pula dalam hal ini kita bicara bahwa Megawati dan Prabowo adalah partner. Sedangkan pertemuan Surya dan Anies bisa dianggap sebagai Anies yang menguasai NasDem. 

Apakah berlebihan? Rasanya tidak. Jangan samakan antara Ibu Megawati dengan Surya Paloh. Mereka adalah dua orang yang berbeda.