Tak terasa wabah korona sudah setahun telah menemani kita. Banyak pelajaran yang bisa dipetik. Salah satunya dalam hal memilih. Pilihan-pilihan kita menjadi lebih berarti. Misalnya, ketika kita ingin memilih untuk keluar, kita menimbang-menimbang terlebih dahulu. Menimbang seberapa penting pilihan tersebut.

Lockdown, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), social distancing mau pun physical distancing bahkan sudah menjadi lumrah di telinga kita. Aturan-aturan tersebut menjadikan pilihan kita justru semakin terasa. Entah dengan mengabaikannya atau mengikutinya.

Mungkin inilah yang dimaksud Sartre bahwa kita dikutuk untuk bebas. Satu pilihan tak akan mampu menahan kebebasan absolut yang kita miliki. Konflik internal dalam diri atas pilihan-pilihan dan kebebasan absolut begitu terasa pada perbandingan yang kita akan buat, apa lagi dalam situasi yang sulit.

Perbandingan akan tampil secara tidak logis sekaligus tidak setara karena keputusan atau pilihan yang kita buat berhadapan dengan kebebasan absolut yang kita miliki. Kebebasan absolut inilah yang menandai mengapa kita tidak bisa membandingkannya secara logis dan utuh. Itu disebabkan karena kebebasan yang kita miliki tidak memiliki ujung atau batasan yang pasti, misalnya saja, kita membandingkan kumpulan di tempat ibadah dengan tempat hiburan, yang jelas-jelas kedua hal itu berbeda. 

Kedua hal itu mungkin setara jika kita membandingkannya dalam hal berapa jumlah orang yang akan berkumpul, tapi pada dasarnya tujuan kedua tempat itu berbeda. Yang satu untuk ibadah dan yang satunya lagi untuk berbisnis.
Sebagai muslim yang taat, mungkin kita tahu bahwa kita tidak boleh melakukan proses jual beli di dalam masjid. karenanya jika kita ke masjid, pedagang kaki lima biasanya berada dan berjualan di luar masjid. Ini jelas sangat berlawanan jika kita membandingkannya dengan ruang hiburan, apalagi terkhusus yang mengutamakan untuk sebuah bisnis. Ibadah tak bisa disamakan dengan berbisnis.

Namun, jika kita menggunakan alasan mendesak, perbandingan itu bisa saja setara. Akan tetapi tidaklah cukup. Kita membutuhkan sesuatu yang lebih mendasar. Terlepas setara atau pun mendasarnya suatu alasan, perbandingan itu akan tetap terjadi. Alasan utamanya terkait dengan dorongan diri kita untuk tetap eksis. 

Kita lihat beberapa tempat ibadah juga masih melakukan hal yang sama, dan lebih parahnya lagi, pasar-pasar pun bahkan mengabaikan peraturan social distancing. Jadi alasan yang lebih masuk akal itu ternyata dorongan agar tetap eksis. Keberadaan kita begitu lebih penting dari pada keberadaan orang lain.

Perbandingan yang tak setara juga menampakkan diri pada betapa rasisnya kita terhadap korban penyakit ini. Memang tak bisa dipungkiri penyakit virus korona ini begitu membahaya. Namun, apakah sikap kita terhadap korban atau mayat harus diwujudkan dengan rasa jijik dengan penolakan? 

Dalam dictionary.com, Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya. Penyakit korona mungkin mempengaruhi kondisi biologis tubuh, tapi bukan berarti untuk dijauhi.

Lagi-lagi, penolakan seperti itu sangatlah wajar. Ini bukan persoalan sejarah penyakit yang mematikan dan menular maupun tentang pengetahuan kita miliki. Jika kita membandingkannya dengan penyakit lainnya, mungkin reaksi awal kita juga begitu. Tentunya, pengetahuan sangat berkontribusi besar bagi eksistensi kita. Akan tetapi, apa yang paling mendasar tentang persoalan eksistensi itu adalah hal yang subjektif. Ini persoalan penderitaan.

Kita menjadi rasis karena kita tidak ingin ikut bertanggungjawab. Ini disebabkan oleh beban penderitaan yang ditanggung. Beberapa orang mungkin bakalan mengubah mindset yang mereka miliki, apalagi jika diisi dengan pengetahuan yang benar. Tapi saya yakin tidak semua orang akan seperti itu.

Beban penderitaan menunjukkan subjektivitas, fakta yang ada di dalam pikiran manusia sebagai persepsi, keyakinan dan perasaan. Kita tak akan tahu penderitaan orang lain jika kita tidak merasakannya sendiri. Kalimat tersebut seperti undangan ke arah subjektivitas. Jika kita membandingkan penderitaan antara korban (baik keluarga korban maupun korban korona itu sendiri) dan yang bukan korban secara objektif, jelaslah korban yang lebih menderita. Bahkan tak sebanding. Namun, ketika kita memasuki wilayah subjektivitas, maka semuanya bisa jadi korban.

Dan yang terakhir, kita tahu dengan adanya bandingan yang tak setara ini begitu memicu keberadaan kita, dan juga menyadarkan kita bahwa kita tak mau menderita lagi dengan adanya penyakit virus korona ini. Kedua hal ini akan berdampak tragis. Ini akan menghasilkan rasa keputusasaan kita. Sekarang, tidak sedikit wacana putus asa disebarkan melalui sosial media. Kita sebagai masyarakat telah melakukan yang terbaik dalam menghadapi wabah ini, begitu juga pemerintah.

Namun, kita akan selalu menemukan titik di mana kita tidak bisa mengerti dan hanya menghasilkan keputusasaan yang tak ada habisnya. Kita mungkin biasa mengartikan keputusasaan adalah sesuatu yang buruk, tapi dalam tulisan ini, keputusasaan adalah justru sebaliknya. Keputusasaan mengisyaratkan ketiadaan sebuah harapan. Dan tanpa harapan, kita akan bertemu sebuah keterbatasan yang kita miliki. Kita tak bisa mengetahui isi hati orang bahkan sebuah kelompok, yang kita tahu hanyalah diri kita dan tindakan apa yang akan kita lakukan nantinya.

Perbandingan yang tak setara membuktikan bahwa kita akan selalu bebas dalam memilih. Ini seperti kutukan yang harus kita tanggung, tapi bukan berarti tidak mengerti batasan yang kita miliki.