Tulisan ini akan membahas salah satu perang yang meskipun dinamakan dengan Great War, atau dengan nama lain Perang Dunia Pertama. 

Dibandingkan dengan Perang Dunia Kedua yang sudah berulang kali masuk layar lebar dan kita bisa mengamati berbagai versi Perang Dunia, baik dari negara yang sebelumnya tergabung dalam Allies atau Axis, Perang Dunia Pertama dengan jumlah korban jiwa yang bisa mencapai puluhan ribu dalam satu hari, yang memang disebabkan penggunaan metode Perang Parit, kurang mendapatkan perhatian.

Walaupun sepanjang tahun 1930-1950 banyak film Perang Dunia Pertama seperti All Quiet on Western Front dan Sergeant York, tapi sepertinya tidak terlalu banyak orang yang melakukan reka ulang berbagai peristiwa penting di Perang Dunia Pertama atau setidaknya itulah yang saya temukan di Indonesia.

Asal-Usul Perang Parit

Asal-usul dari Perang Parit bisa kita tilik dari meluasnya penggunaan bubuk mesiu sebagai senjata di Eropa, tepatnya pada abad ke-15. Siege warfareatau peperangan yang berbasis pengepungan mendorong pengembangan senjata seperti musket dan artileri. 

Peperangan pada abad tersebut kebanyakan berpusat pada penguasaan lokasi-lokasi penting seperti kastil dan benteng, seperti yang terlihat pada Perang Sipil Inggris yang terjadi pada tahun 1642 - 1652 dan Perang Suksesi Spanyol yang berlangsung pada 1701- 1714.

Peperangan mulai bergeser dari model siege menjadi mode annihilation, yang mana dimulai ketika Napoleon berkuasa di Prancis pada akhir abad ke-18. Mode annihilation tidak hanya melibatkan penguasaan benteng atau kastil musuh, namun jika perlu penghancuran tidak hanya instalasi militer namun juga sipil, dan kalah menang dalam suatu perang ditentukan oleh siapa yang paling destruktif. 

Perang model annihilation ini semakin mencolok setelah muncul apa yang dinamakan industrialisasi senjata, tepatnya pada Perang Sipil Amerika. Yang dimaksud dengan industrialisasi senjata adalah industri memungkinkan angkatan bersenjata untuk memperoleh senjata dan munisi dengan jenis yang sama dengan jumlah yang lebih banyak.

Walaupun baik musket hingga senapan digunakan secara luas oleh negara-negara di Eropa, justru kemunculan Perang Parit tidak dicetuskan oleh negara-negara Eropa, namun oleh Jepang tepatnya pada Perang Russo-Jepang tahun 1908. 

Kemenangan Jepang atas Rusia yang mengejutkan tersebut tidak lepas dari pengunaan metode parit, yang memungkinkan Jepang mendekati Port Arthur, salah satu benteng Rusia yang penguasaannya menentukan kemenangan Jepang, dengan jumlah korban yang lebih sedikit karena ketika meriam dari Port Athur ditembakkan, pasukan Jepang bisa bersembunyi dalam parit sembari mendekat ke benteng tersebut. 

Berdasarkan pengalaman dan pelajaran yang dapat diperoleh dari Jepang dalam perang tersebut seperti penggunaan granat, negara-negara yang berperang dalam perang tersebut baik yang tergabung dalam Sekutu maupun Poros ikut menggunakan parit dengan berbagai variasi,semisal kawat berduri, memasang senjata mesin seperti Maxim untuk menghalau serangan infanteri, penggunaan meriam lapangan atau field gun seperti 18 pound milik Inggris dan 7,5 cm FK milik Jerman, bahkan penggunaan senjata yang lebih mematikan dari jarak dekat seperti penggunaan gas mustar dan klorin dan penyembur api (flamethrowers).

Parit dalam Perang Dunia Pertama dapat ditemukan pada dua tempat, yakni Front Barat dan Front Timur. Front Barat dan Front Timur mulai dibuka oleh Jerman dengan sebuah gagasan yang dinamakan dengan Schlieffen Plan. Dicetuskan oleh Count Alfred von Schlieffen, Jerman akan membuka front perang dengan Belgia dan Perancis untuk mencegah negara-negara seperti Inggris untuk langsung menyerang Jerman, dan membuka parit di tengah Belgia-Perancis, mulai dari kota Ostend sampai dengan Basel.

Menggali Parit

Baik Sekutu seperti Inggris dan Perancis, dan Poros seperti Jerman, mulai menggali parit masing-masing di sepanjang Perbatasan Belgia dan Perancis dalam waktu September sampai Desember 1914. Penggalian parit ini seringkali disebut pengamat dengan terminologi Race to the Sea karena parit yang dibangun oleh kedua pihak dimulai dari Laut Utara, melewati sungai-sungai seperti Sommedan Aisne, sampai dataran rendah Belgia dan Nieuport.

Pada dasarnya, masing-masing aliansi memiliki standarnya sendiri ketika menggali parit. Angkatan bersenjata Perancis dan Inggris dalam panduannya diharuskan menggali sedalam 8 kaki, lebar 3 kaki dan parit diharuskan dilengkapi gundukan batu setinggi 30 cm untuk menghalau laju peluru ke dalam parit. 

Setiap parit harus ditopang dengan fondasi dari kayu pohon, kantung pasir atau besi yang sudah berkarat untuk mencegah parit agar tidak ambruk. Situasi ideal menurut British Field Note adalah di setiap 4 yard, harus ada parapet atau sandaran bagi penembak senapan, dan karena mengutamakan keamanan bagi prajurit dibanding kemampuan melihat musuh, parit harus digali secara dalam.

Situasi ini tidak bisa dicapai bagi parit yang digali di dekat sungai, semisal parit yang terdapat di Flanders (Belgia). Keberadaan air yang dibawah permukaan air membuat prajurit Inggris tidak bisa menggali parit secara dalam karena air akan membanjiri parit. Akibatnya, prajurit Inggris dipusingkan dengan air yang membanjiri parit tiap malam.

Parit biasanya tidak hanya terdiri dari satu garis, tapi beberapa garis namun tidak paralel satu sama lain. Parit terdiri dari command trench dimana komando dan bunker anti ledakan atau pillbox ada disini dan offensive linedimana infanteri dan persenjataan lain untuk mempertahankan parit semisal mortir dan senjata mesin ada disini. Jarak kedua parit ini berada di antara 150-200 m.

Perbedaan antara parit Jerman dan parit Inggris-Perancis adalah banyaknya jumlah pillbox yang dilapisi semen dan bahan-bahan lain yang lebih permanen di segi Jerman, sedangkan Inggris dan Perancis yang menekankan mobilitas melihat sikap diam satu tempat sebagai wujud kekalahan,hanya membangun pillbox mereka dari kayu, sehingga ketika Jerman menguasai parit,Inggris dapat menguasainya kembali dengan artileri.

Parit di Perang Dunia Pertama mematikan karena dua hal, upaya untuk menguasainya dan situasi parit yang seringkali sulit ditinggali oleh para prajurit. Menurut hitungan pihak Perancis pada Januari 1915, infanteri bersenjatakan senapan perlu menyerbu parit musuh sebanyak 12 kali sebelum ada jaminan bahwa jumlah pasukan yang mempertahankan parit akan sama dengan jumlah pasukan yang menyerang parit tersebut. 

Walaupun serangan itu sukses, akan mengorbankan jumlah pasukan 11 kali dari jumlah pasukan yang mempertahankan parit. Jika parit tersebut dipersenjatai dengan senjata mesin, serangan untuk parit akan meningkat menjadi 14 kali. Belum lagi seringkali peluru artileri yang meledak sebelum ditembakkan, dan di Inggris ini disebut dengan shell scandal.

Ini membuat prajurit tidak hanya terancam oleh peluru musuh, namun juga ketidaksiapan dan juga kecerobohan. Yang kedua, kondisi parit sangat tidak higienis karena mayat prajurit yang gugur akan dibiarkan di dalam parit,membuat penyakit menular mudah tersebar. Banyak prajurit yang mati karena penyakit menular dan infeksi.