Musim kemarau bisa menjadi mimpi buruk. Rumput-rumput kering bisa menjadi celah munculnya titik api. Rumput yang kering adalah material yang mudah sekali terbakar.
Kesalahan manusia selalu menjadi penyebabnya. Entah puntung rokok atau nyala api yang disengaja. Saat terpantik, dia melahap apa pun, tidak terkecuali pohon ekaliptus dan akasia yang terhampar luas di dekatnya.
Pohon yang termasuk dalam genus semak-semak ini menjadi komoditas bahan baku pembuatan kertas. Salah satu perusahaan yang menggunakannya adalah PT Wirakarya Sakti.
Kebakaran menyebabkan kerusakan sangat parah.
Kebakaran juga bisa merambat ke perkebunan warga. Kebakaran meluas, asap pun makin pekat. Menuai protes dari Malaysia dan Singapura.
Penyebab bencana ini beragam, baik yang berunsur kesengajaan atau tidak. Tetapi terlepas dari kelalaian dan unsur kesengajaan, salah satu fenomena alam patut juga dicurigai sebagai dalangnya.
Fenomena itu adalah El Nino, terjadi ketika suhu permukaan air laut di wilayah Timur Samudra Pasifik menjadi lebih hangat dari biasanya (Geophysical Research Letters). Penelitian ini menjelaskan bahwa dampak El Nino makin memburuk di beberapa tahun terakhir akibat perubahan iklim.
Pergerakan alam yang tidak bisa diprediksi 100 persen oleh alat buatan manusia ini menuntut semua pihak harus mewaspadainya.
Sebagai bentuk keseriusan dalam mewaspadai dan menangani kebakaran hutan, PT WKS membentuk unit siaga kebakaran sebagai tindakan pencegahan. Uni siaga ini bernama Tim Reaksi Cepat (TRC).
TRC direkrut dari semua Regu Pengendali Kebarakan (RPK) di tiap distrik perusahaan. Dari semua RPK, diperolehlah 21 orang sebagai anggota.
Meskipun tiap distrik sudah mempunyai RPK, tetapi TRC berperan sebagai unit elite mengatasi kebakaran yang sulit dijangkau oleh RPK. Mereka berperan sebagai garda depan dalam reaksi tanggap cepat menyasar titik-titik api yang timbul, selain titik api yang berada di lokasi yang sulit dijangkau oleh darat.
Tim ini terdiri 3 grup, yakni Alfa, Bravo, dan Charlie, dengan leader tim Supriadi, Irwandi, dan Erwin. Mereka secara bergantian mengawasi kawasan perkebunan dan wilayah sekitarnya selama 24 jam.
“Saat jarum deteksi monitor menunjukkan perubahan dari hijau ke merah, tanda bahaya, kami langsung bergerak menyusuri titik tersebut untuk memastikannya. Lahkah pertama penanganannya adalah melakukan size-up untuk memastikan luas wilayah yang terbakar,” jelas Supriadi kepada kami.
Tidak seperti unit kebakaran yang biasa kami lihat di kota, untuk sampai di lokasi titik api tidaklah mudah. Medan perang mereka adalah lahan mineral dan gambut yang terletak di hutan dan sekitaran perkebunan warga desa.
Pencegahan di lahan mineral tidaklah terlalu sulit. Lain halnya dengan lahan gambut, mereka dipaksa bekerja ekstra untuk memadamkannya. Butuh waktu berhari-hari sampai titik api benar-benar padam hingga ke akar-akarnya.
Peralatan perbekalan selama 24 jam juga dipersiapkan. Dengan begitu, mereka bisa bekerja kerja siang dan malam. Dibantu dengan unit RPK, mereka bergantian berusaha memadamkan titik-titik api yang tersebar di seluruh lahan akasia dan perkebunan warga.
Menyambut musim kemarau pada Maret, persiapan adalah kunci memenangkan perang ini. Unit elite ini juga dibekali dengan pelatihan dari International Association of Fire Fighter (IAFF). Setiap harinya mereka melakukan simulasi dan latihan fisik untuk menghadapi bencana kebakaran hutan.
Mendapat dukungan dari operational management milik APP Sinar Mas, beberapa usaha dan alat dipersiapkan. Fire Operational Management (FOM) yang dipimpin oleh Eldi Ramadhanis menjadi komando TRC dalam menjalankan kerjanya.
Salah satu alat yang nantinya disediakan oleh FOM untuk mendukung kinerja tim penanggulangan kebakaran, baik RPK maupun TRC, adalah Automatic Weather Station (AWS) yang nantinya dipersiapkan di tahun 2019. Alat pengukur cuaca otomatis ini menggantikan versi tradisionalnya untuk pengukuran di daerah-daerah terpencil.
Dengan adanya data arah angin, kelembaban tanah, dan intensitas curah hujan, FOM menjadi mata yang menuntun TRC menyasar titik api yang mengancam. Helikopter sebagai kendaraan tempur juga dipersiapkan mendukung unit TRC.
Beberapa embung sebagai amunisi mereka menghadapi perang ini dipersiapkan di tiap distriknya, seperti kolam penampungan air berbentuk persegi. Embung ini akan menjadi penyuplai air mereka di lapangan.
Petugas juga memelihara berbagai cadangan air alami di kawasan kanal perusahaan. Tiap tahunnya dilakukan pengerukan untuk memperlebar luas kolam.
Masyarakat juga diajak ikut berperan dalam pencegahaan kebakaran. Masyarakat Peduli Api (MPA) menjadi unit pendukung pencegahan kebakaran terluar perkebunan. Masyarakat diedukasi pentingnya mencegah kebakaran hutan sehingga tidak ada lagi pembakaran lahan yang terjadi.
Peralatan yang canggih dan berbagai persiapan tidaklah cukup untuk bertempur di medan perang yang luas. TRC yang berjumlah 21 personel bukan unit super yang bisa bekerja mandiri. Akan tetapi, perang api ini hanya bisa dimenangkan jika ada usaha kerja sama dari semua tingkatan masyarakat.